"Jadi sampai kapan di Bandung?" tanya Raga dari balik telepon.
"Kalau pekerjaan cepat selesai, nanti sore bisa balik. Tapi kalau selesainya malem, mungkin baru besok pagi." Sahutku sambil membuka pintu taxi.
Pagi ini aku sedang bersiap menuju Bandung karena atasanku memberi tugas untuk menemui seorang klien. Sebenarnya ini adalah tugas Rara, namun karena ia baru saja sembuh dari sakit—ngomong-ngomong Rara mengambil cuti sakit demam berdarah Ketika beberapa hari tidak masuk kerja—jadilah tugas ini dilimpahkan padaku. Sebenarnya aku cukup antusias dengan perjalanan ini, sebab sudah lama aku tidak menghirup udara kota Bandung sekalian jalan-jalan.
Suasana stasiun tak begitu ramai ketika aku sampai. Kereta masih akan berangkat sekitar lima belas menit lagi. Dan mungkin karena jam berangkat karyawan sudah lewat satu jam yang lalu, suasana stasiun memang benar-benar sangat lengang.
Sambil menunggu kereta yang akan membawaku ke Bandung, aku sibuk menge-cek emailku kalau-kalau ada notifikasi atau apa yang berhubungan dengan pekerjaan. Daripada lewat SMS, bosku sering sekali mengirim sesuatu yang penting melalui e-mail. Jadi aku harus sering-sering membuka email-ku agar tidak kelewatan.
Sedang asyik menaik-turunkan layar ponsel, tiba-tiba seseorang menepuk punggungku dari belakang. Reflek aku menoleh. Membulatkan mata untuk beberapa saat sebelum akhirnya senyumku mengembang.
"Aldi?!" pekikku tidak percaya. Dari seluruh tempat di Jakarta, kenapa kami akhirnya dipertemukan juga di stasiun?
Aldi tersenyum. "Ngapain di sini Nay?" ia membenarkan letak tas selempang hitam besar yang dibawanya. Pria itu tampak segar dengan kemeja warna biru yang lengannya di gulung sampai siku.
"Mau ke Bandung. Ada urusan pekerjaan." Aku memasukkan ponselku ke dalam saku celana. "Kamu?"
"Sama. Aku juga mau ke Bandung nih. Ada pemotretan." Aldi mensejajariku. Kini kami berdiri bersisian menunggu kereta.
"Oh….." anggukku paham.
"Nggak nyangka ya bisa ketemu di sini Nay?" pria itu menoleh padaku.
Aku hanya mengangguk karena kereta yang akan membawa kami ke Bandung sudah bersiap hendak berangkat. aku segera masuk ke dalam gerbong, diikuti Aldi yang berjalan di belakangku. Suasana yang tidak begitu ramai membuatku merasa nyaman di dalam kereta ini. Tidak perlu berdesakan dan berjubel-jubel.
"Tumben enggak bawa mobil Al?" tanyaku Ketika ia duduk tepat di sampingku.
"Mau nyantai Nay." Jawabnya. "Biar bisa tidur."
Aku mengamini kalimat Aldi. Naik kereta memang lebih santai daripada membawa kendaraan sendiri. Selain bisa tidur sambil menikmati pemandangan, naik kereta juga bisa membuat kita lebih rileks. Bayangkan jika mengemudi sendiri, selain ngantuk tentu saja bosan jika tidak ada teman ngobrol.
"Emang pemotretan dalam rangka apa Al?" aku membuka bekal sarapanku dari dalam tas. Sebuah sandwich yang sengaja aku buat tadi pagi karena belum sempat sarapan. Aku mengulurkan kotak bekal itu pada Aldi. "Mau Al? ini aku sendiri lho yang buat." Entah apa aku perlu menjelaskan pada pria yang duduk di sampingku ini bahwa sandwich yang ku bawa adalah makanan homemade asli buatan chef Naya.
"Beneran kamu yang buat?" tanyanya, tapi tidak menyiratkan ketidak percayaan. Mungkin Aldi hanya basa-basi karena beberapa waktu yang lalu aku sempat membuatkannya nasi goreng dan sepertinya tidak buruk karena ia menghabiskan porsinya tanpa sisa.
Aku berdecak lirih. "Percaya deeeh sama aku."
Aldi tersenyum, lantas mengambil satu.
"Pas nich. Aku tadi juga belum sempet sarapan." Ia menggigit ujung sandwich tersebut lalu bergumam. "Enak banget Nay…"
Aku tertawa kecil mendengar pujiannya. Meskipun hampir semua orang memuji masakanku, namun aku tetap selalu merasa bahagia mendengar kalimat itu. Pernah terfikir untuk membuat warung makan ketika aku sudah malas bekerja. Namun sepertinya itu jauh dari angan-anganku. Meskipun terkadang sering merasa capek, namun menurutku bekerja itu menyenangkan. Kita bisa bertemu dengan orang-orang baru setiap waktu, mengenal karakter mereka dan tentu saja mendapatkan banyak pengalaman.
"Ada pemotretan buat pre-wedding Nay. Udah pesen jauh-jauh hari. Dan enggak enak kalau ngebatalin." Kata Aldi lagi membalas pertanyaanku tadi.
"Jam terbang kamu tinggi ya?" aku memang begitu tertarik dengan dunia fotografi, namun sayang aku tidak berbakat.
"Akh, aku hanya menyalurkan hobi. Kalau kita suka, semuanya akan mengalir begitu saja."
"Aku juga suka dengan fotografi. Tapi aku tidak berbakat. Jadi semuanya menguap begitu saja."
Aldi menoleh ke arahku.
"Oh ya? Seharusnya dulu kamu asah keinginan kamu itu biar jadi bakat?"
Aku berdecak kecil lantas membuang pandang ke luar jendela. Bagaimana aku bisa mencoba belajar fotografi jika semenjak sekolah aku sudah berharap bisa lulus dan bekerja. Lagipula dulu aku berfikir, jika tidak benar-benar berbakat, pasti tidak akan ada yang bisa aku harapkan menjadi seorang fotografer. Dan di lain sisi, ada keluarga yang sangat membutuhkan aku untuk membantu keuangan keluarga. Alih-alih membeli kamera dan belajar memotret, aku lebih memilih ikut kursus make-up setelah lulus kuliah karena tak juga mendapatkan panggilan kerja.
"Aku malah belajar make-up waktu itu." Kataku kemudian.
"Make-up?" Aldi menatapku penasaran.
"Waktu itu aku baru lulus kuliah. Sudah berpuluh-puluh lamaran kerja ku sebar tapi belum ada panggilan. Saat aku mulai insecure, tiba-tiba terbersit keinginanku belajar make-up. Aku pikir, jika ijazahku tidak berguna, aku masih punya keterampilan yang bisa aku gunakan untuk berwiraswasta." Aku tertawa kcecil mengingat kejadian waktu itu. Aku benar-benar belajar make-up dari nol, karena aku memang tidak suka dan tidak hobi bersolak. Namun karena tuntutan, akhirnya aku menguasainya, meskipun sekarang keahilan itu hanya lewat begitu saja karena aku juga tidak pernah berdandan.
"Jadi, gimana keahlianmu itu sekarang?"
"Ya begitulah…." Aku mengedikkan bahu. "Aku punya set peralatan make-up yang lengkap dan kini hanya ada di gudang."
Aldi terkekah. Ia menyelesaikan sisa sandwichnya kemudian menyeka bibirnya dengan tissue.
"Bagaimana Raga Ketika kamu tiba-tiba ingin belajar make up?"
"Awalnya dia terkejut. Dia memintaku untuk bekerja di perusahaan papanya, tapi aku menolak."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak suka bekerja dengan mengandalkan koneksi. Aku hanya takut tidak bisa membuktikan pada seseorang yang telah menolongku bahwa aku mampu bekerja dengan baik. Bukankah Ketika kita bisa bekerja di suatu tempat karena sebuah koneksi, kita harus bekerja dua kali lipat lebih keras agar tidak malu-maluin?"
Aldi mengangguk.
"Aku setuju." Jawabnya kemudian. "Setidaknya Ketika kita bisa bekerja dengan usaha kita sendiri, kita akan merasa bangga dengan pencapaian kita, meskipun hanya pekerjaan kecil sekalipun."
"Ternyata kita satu frekuensi ya untuk masalah kerjaan?"
"Iya. Enggak nyangka kalau kita sepemahaman."
Aku mengangguk setuju.
Baru kali ini aku merasa jika perjalanan ke Bandung begitu menyenangkan tanpa ada sedikitpun rasa bosan. Biasanya jika aku bepergian sendirian, aku hanya menggunakan waktuku di kereta untuk tidur karena waktu berjalan begitu lama dan kosong.
*****