Semalam aku tidak bisa tidur dengan baik karena harus mempersiapkan semua hal untuk pemotretan di Bandung hari ini. alhasil, alih-alih membawa kendaraan sendiri, aku memutuskan naik kereta agar bisa memejamkan mata untuk mengurai kantuk yang sewaktu-waktu muncul.
Namun ternyata aku bertemu dengan Naya dan terlibat pembicaraan mengasyikkan di dalam kereta. Bahkan aku lupa tujuanku naik kereta untuk tidur, lagipula kantuk yang biasa menyerang di jam-jam antara pukul sembilan sampai sebelas siang itu sama sekali tidak mengusikku.
Kami berpisah di stasiun, Ketika team-ku yang ada di Bandung sudah menjemput di depan stasiun. Awalnya aku menawarinya untuk memberi tumpangan, namun ia menolak dan lebih memilih naik angkutan umum karena tidak ingin merepotkanku. Sejujurnya memang jika mengantar Naya, aku harus berputar arah dan memakan waktu cukup lama.
Klien-ku ini adalah anak dari seorang yang berpengaruh di kota Bandung. Entah kenapa, Ketika banyak sekali fotografer handal dan bagus yang bertebaran di Bandung, Nina—sang mempelai wanita lebih memilih menggunakan jasa-ku untuk mengabadikan moment prewedding-nya.
Saat ia menghubungiku lewat whatsapp beberapa minggu lalu, ia bilang begitu terpukau melihat hasil jepretanku di salah satu sudut kota Jepang. Waktu itu musim semi, Ketika bunga sakura memenuhi kota dan kelopaknya yang jatuh berterbangan di langit. Bukan hanya Nina, bahkan aku sendiri saja yang memotret pemandangan itu juga begitu terpukau. Maka Nina menginginkan konsep yang sama seperti di Jepang, namun melakukan sesi foto di Indonesia karena ia benar-benar tidak bisa pergi ke Jepang karena terlampau sibuk.
Akhirnya setelah banyak berfikir, kami memutuskan untuk melakukan pemotretan di sebuah hotel di kota Bandung. Bukan bunga sakura memang, namun taman di hotel itu berkonsep jepang. Ya lumayanlah, jika aku bisa mengambil foto dengan benar, aku yakin hasilnya pun juga tak kalah bagus dengan hasil fotoku di Jepang.
"Mas Aldi!" Kana berlari-lari kecil ke arahku.
Aku yang sibuk menge-set alat menoleh. Dari wajahnya gadis bertubuh tambun itu tidak sedang baik-baik saja.
"Apa Na?" tanyaku Ketika ia sampai di depanku.
"Mbak Santinya mendadak gak bisa dateng. Anaknya sakit." Ia terlihat mengatur nafasnya. "Mana calon pengantinnya udah datang lagi."
Aku mendadak panik. Santi adalah salah satu kru perias kami yang ada di Bandung. Jika ada pekerjaan di Bandung, aku pasti menggunakan jasa Santi untuk merias pelangganku karena hasil riasannya cukup bagus.
"Gimana mas?" Kana mengetuk-ketuk ujung ponselnya di dagu. "Mana mbak Nina ini orangnya super sibuk lagi. Dia enggak suka nunggu-nunggu lama."
Aku memutar otak, berfikir cara paling mudah untuk mendapatkan perias dengan cepat. Tiba-tiba senyumku mengembang. Bagaimana aku bisa melupakan percakapanku dengan Naya tadi pagi? Bukankah gadis itu bilang padaku kalau ia pernah belajar make-up. Meskipun aku belum tahu hasil riasan Naya, tapi untuk keadaan daruruat seperti ini, sepertinya patut untuk di coba. Semoga saja pekerjaannya sudah selesai.
"Aku punya ide." Aku mengeluarkan ponsel dari celana jeansku dan dengan cepat men-dial nama Naya di sana.
"Halo….Nay….." teleponku di angkat setelah bunyi tut yang ketiga.
"Kenapa Al?"
"Kamu udah selesai?"
"Emm….udah, ini baru aja keluar dari ruangan."
"Syukurlah…." Aku menghembuskan nafas lega. Menoleh ke Kana yang menatapku dengan senyum.
"Kenapa emangnya?"
"Bisa minta tolong? Perias aku berhalangan datang, dan kami tidak punya kenalan lain. Kalau kamu enggak sibuk, bisa bantu aku make-upin klien aku?"
"Aku? Kamu yakin Al? aku enggak bisa-bisa amat lho."
"Alah Nay….penting kamu udah pernah punya sertifikat. Penting poles aja lah. Masa baju yang mau dipakai cetar maksimal, wajahnya pucet. Kan enggak sip."
Kudengar Naya tergelak.
"Oke…oke….aku kesana sekarang. Kirim alamatnya via whatsapp ya? Biar aku naik ojek online aja."
"Biar dijemput sama temenku."
"Enggak usah. Memakan waktu. Cepet kok. Tenang aja."
"Oke deh kalau gitu. Makasih Nay…" aku menutup telepon kemudian Kembali menoleh pada Kana yang masih belum bisa memperlihatkan wajah santai.
"Gimana mas? Setuju kan?"
Aku mengangkat jempol.
"Beres!" jawabku. "Bilang sama Nina, sepuluh menit lagi tukang riasnya dateng."
Kana mengelus dadanya. Kini wajahnya tampak lebih rileks dan berseri.
"Mas Aldi memang hebat. Pinter ah cari solusi."
******
Ada untungnya juga rupanya hari ini aku naik kereta dan bertemu Naya. Jika tadi pagi aku naik mobil, bisa dipastikan aku tidak akan bertemu Naya, dan insiden make-up ini pasti belum ada penyelesaian.
"Al…..udah selesai." Naya keluar dari ruang make-up dan tersenyum padaku. Dibelakangnya Nina mengikutinya. Wanita bertubuh tinggi itu tampak cantik dengan gaun putih berbentuk kemben. Make-upnya pun terlihat pas sekali dengan gadis itu. Kulit Nina yang putih sampai terkesan pucat, begitu terlihat lebih hidup dengan polesan bold di wajahnya.
"Makasih ya Naya. Make-up kamu bagus." Nina menepuk Pundak Naya sebelum akhirnya menyambut tangan Bimo—kekasihnya untuk berjalan berdua menuju tempat foto.
Aku mengayunkan Langkah mendekati Naya.
"Sorry ya Nay, seharusnya kamu udah pulang sekarang." Aku merasa tidak enak sudah menggangu waktunya.
"Enggak masalah Al. tadi niatnya aku juga masih pengen jalan-jalan dulu aja. Belum pengen balik Jakarta." jawabnya.
"Yaudah kamu tunggu disitu ya." Aku menunjuk sebuah kursi kosong di bawah sebuah pohon. "Kamu masih bisa kan pulang nanti bareng aku aja. Soalnya nanti Nina pasti butuh touch up."
Naya mengangguk. "Iya bisa." Senyumnya.
"Makasih banyak ya Nay…" aku mempersilakannya duduk sebelum akhirnya berjalan cepat menuju Nina dan Bimo yang sudah menunggu. Aku ingin pemotretan hari ini segera berakhir.
******
"Makasih ya Nay, udah bikin acara hari ini lancar." Aku menoleh pada Naya yang berjalan di sampingku. Kami sekarang sedang berada di jalan Braga, menuju sebuah tempat makan di daerah tersebut. Kru sudah berangkat duluan untuk mencari tempat, Ketika aku masih sibuk mengemasi kameraku dan perintilannya dengan hati-hati masuk ke dalam tas.
Naya tersenyum. pandangannya bergeser ke sembarang arah, pada lalu lintas kendaraan yang melintas di samping kami.
"Enggaklah, aku seneng juga bisa bntuin kamu. Ternyata ilmu yang aku pelajari beberapa tahun lalu bisa berguna."
kami berhenti di depan sebuah garden resto. Restoran itu berkonsep tradisional berbentuk gazebo yang disusun dari bambu. Jalanan batu menghubungkan gazebo satu dengan gazebo lain. Yang menambah suasana semakin nyaman adalah bunyi music angklung, suara gemericik air serta ikan-ikan mas yang bertebaran di kolam-kolam yang mengelilingi gazebo tersebut.
Aku melongok ke dalam dan mendapati teman-teman kerjaku tadi sudah mendapatkan tempat di bagian paling ujung. Melihatku, salah satu tampak melambai dan menyuruhku untuk masuk.
"Tuh, kamu sudah disambut Nay." Aku mengedik ke dalam dan mengajak gadis itu untuk melangkah lebih dulu di depanku sedang aku berjalan di belakangnya.
Suasana makan kali ini terasa semakin menyenangkan. Aku pikir Naya tidak begitu pandai berbaur dengan orang asing karena akau sering melihatnya tak banyak bicara Ketika bertemu dengan keluarga Raga. Namun ternyata selain supel, gadis yang kini duduk dikelilingi teman-temanku ini begitu asyik. Ada saja hal lucu dan menarik yang keluar dari bibirnya. Bahkan dia sempat membuat beberapa permainan yang tentu saja diikuti oleh teman-temanku ini dengan antusias.
Aku yang duduk beda meja dengan Naya hanya menatapnya tanpa berkomentar. Dia pandai membuat orang lain nyaman berada di sisinya, mungkin inilah hal yang selama ini Raga rasakan sampai ia tak bisa meninggalkan Naya meskipun gadis itu tak pernah menerima lamarannya.
"Mbak Nay, kalau ada acara pemotretan lagi ikut ya! Biar suasana anyep kayak begini, soalnya kalau sama mas Aldi bawaannya serius melulu." Kana berkomentar Ketika kami sudah berada di depan restorant untuk bersiap pulang.
"Setuju! Mana hasil make-up mbak nay itu….beuuuh….." Joice salah satu kru ikut berkomentar. Ia mengangkat jempolnya tinggi. "Top Markotop!"
Naya hanya tertawa mendengar pujian itu.
"Heh, Naya itu punya kerjaan sendiri di Jakarta. Ini tadi kebetulan!" aku yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara setelah beberapa kali mendengar beberapa orang meminta Naya untuk ikut serta dalam acara potret memotret nanti.
"Resign mbak!" celetuk Kana.
"Masa resign sih?" Naya tersenyum. "Kalau sekali-kali main lagi bolehlah….."
"Noh mas…ajak ya!" Joice mengerling kearahku.
Aku berdecak. Percuma mengatakan tidak pada anak-anak ini. Dan mengangguk adalah jurus ampuh untuk memberikan jawaban meskipun pada akhirnya Naya juga tidak akan mungkin bisa datang.