Tok…tok…tok….
Suara ketukan pintu membuatku bergegas meninggalkan kamar. Aku tahu siapa yang datang, karena aku sudah menunggunya sejak setengah jam yang lalu.
"Sorry….lama nunggu ya?" senyumnya ketika pintu baru saja aku buka.
"Biasanya kan cowok yang nungguin cewek. Lha ini malah kebalik." Aku pura-pura merajuk. "Kamu enggak asyik." Sungutku yang tentu saja mengundang gelak tawanya.
"Maaf sayang….hari ini aku haru nunggu klien di kantor. Jadi agak telat." Ia mengelus pipiku.
Aku pura-pura berfikir beberapa saat sebelum akhirnya berkata:
"Dimaafkan." Sahutku. "Karena kamu luar biasa malam ini?" aku mengedikkan mataku genit.
Raga memang terlihat begitu menawan dengan stelan tuxedo hitamnya. Tidak dipungkiri, pria-ku ini memang selalu terlihat luar biasa di setiap acara. Ia begitu pandai merubah penampilannya, sesuai konsep acara yang dihadirinya. Seperti sekarang, ia terlihat begitu gagah dan maskulin dengan pakaiannya, namun tentu saja karena wajah dan postur tubuhnya yang mendukung.
"Kamu cantik Nay…." Pujinya kemudian.
Aku mengulas senyum. Menunduk untuk memastikan midi dress putihku ini memang menutup sempurna tubuhku.
"Berangkat sekarang?" Aku sudah bersiap menggandeng tangannya ketika ia malah mendorongku perlahan masuk kembali ke dalam apartement dan menghimpit badanku di tembok.
"Rara enggak ada kan?" bisiknya pelan di depan telingaku. Suaranya terdengar berat, aku tahu apa yang sedang diinginkannya sekarang.
"Enggak ada sih..."
"Baiklah, aku bisa bermain sedikit." Raga semakin menghimpit tubuhku sedang lengannya sudah mengunci pinggangku dengan protektif. "Aku tidak tahan melihat penampilanmu sekarang Nay…." Ia mencium leherku yang bebas, dan membuatku langsung menggigit bibir karena geli tiba-tiba menyusup di leherku.
Aku mengerang lirih. Penampilanku sudah sangat maksimal sekarang, dan jika harus bercinta dulu sebelum berangkat, bisa dipastikan dandananku akan berantakan dan aku harus memulai berdandan lagi dari awal.
"Tapi aku udah dan—" kalimat penolakanku terhenti ketika Raga tiba-tiba mengangkat tubuhku dan menciumi leherku dengan kasar, dilanjutkan dengan melumat bibirku. Untuk hal seperti ini aku memang tidak pernah kuasa untuk menolak. Tujuh tahun menjalin cinta dengannya, entah kenapa dadaku selalu saja kalang-kabut setiap kali menerima ciumannya yang begitu memabukkan.
"Bibirmu manis Nay, apa karena lipstick?" ucapnya ketika menjeda ciuman. Tangannya sudah membuka resleting belakang dress-ku dan menariknya turun. Kini bibirnya berganti menjelajahi pundakku.
"Aaaah…."erangku lirih ketika ia menggigit dadaku dengan lembut. "Honey…..bisakan kita hentikan sekarang?" Aku harus menolaknya meskipun keinginan untuk bercinta dengannya juga sudah berada di ubun-ubun.
Ingat! Ini hari ulang tahun Diaz!
"Beri aku beberapa menit." Raga mengangkat dagu, lalu kembali melumat bibirku dan bermain-main dengan langit-langit mulutku. Tidak peduli lagi dengan polesan lipstikku yang kini sudah memudar karena bibirnya.
Tak ada yang bisa aku lakukan selain mengimbangi kebrutalannya malam ini. Ia mengerang lirih Ketika aku mengigit bibirnya. Kesadaranku yang sempat amblas membaik tiba-tiba. Kujauhkan tubuhnya yang menghimpit tubuhku dengan perlahan.
"Nanti malem aja ya?" Aku tersenyum, lalu menaikkan dressku yang tadi sudah berantakan. "Nanti kita malah enggak jadi datang ke ulang tahunnya Diaz."
Kulihat wajah Raga sedikit kecewa. Ia mengusap bibirku perlahan. "Gimana kalau enggak usah pergi aja. biar aku bilang kalau aku—"
"Sayang…." Aku mengaitkan resletingku susah payah. Dari ia yang tak mau membantuku mengenakan dress-ku lagi, aku tahu jika ia sedikit kesal karena kami jadi meneruskan pertempuran kami. Gairahnya yang memuncak harus padam ketika aku menolaknnya malam ini.
"Kalau nanti kamu dicari Diaz gimana?" aku menarik tangannya menuju kamar mandi untuk membersihkan sisa lipstick di bibirnya dan agar aku juga Kembali merapikan dandananku. "Aku udah janji loh mau datang. Ntar dia kecewa."
Raga mendengus. Meskipun terkesan ogah-ogahan ia menuruti permintaanku.
"It's ok!" ia Kembali melingkarkan tangannya di pinggangku Ketika kami sampai di depan kamar mandi. "Satu ciuman lagi, dan kita berangkat."
"Yakin satu ciuman lagi?" tanyaku sanksi sebab sorot matanya tidak memperlihatkan itu.
Raga mengangkat jarinya membentuk huruf 'V'
"Iya, aku janji."sahutnya. "Satu ciuman lagi, dan aku bakalan nurut apa yang kamu minta."
Aku mengangguk. Kami Kembali berciuman sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi dan merapikan diri.
*****
Meskipun Diaz bilang jika ia hanya ingin merayakan ulangtahun secara sederhana, namun nyatanya pesta ini jauh dari kesan tersebut. Ballroom hotel yang langsung merangkap kolam renang dan taman itu terlihat megah dan penuh keceriaan. Konsep glamour langsung terasa Ketika aku menjejakkan kakiku di depan pintu. Di ujung depan, sebuah kue tart bersusun tampak megah dengan sorot lampu yang terang. Di depannya berjejer rapi kursi dan meja yang dihiasi kain berwarna putih. Diaz, sang pemilik acara tampak tersenyum sumringah. Berkali-kali ia melempar senyum pada tamu yang datang dan menyalaminya.
"Ini pesta kawinan apa pesta ulang tahun?" Dengung Raga pelan yang sampai di telingaku.
Aku menyodok perutnya pelan. "Kenapa? Kamu ngiri ya sama ulangtahun adik kamu?"
Raga berdecak. "Ya enggaklah." Elaknya. "Daripada sebuah pesta ulangtahun, ini lebih ke acara bisnis. Tuh lihat…" Raga mengedik pada seorang lelaki separuh baya yang duduk bersama kedua orangtua Raga. Mereka tampak berbincang. "Apa kamu yakin kalau Diaz kenal orang itu? Mereka hanya teman bisnis papa. Diaz pasti juga enggak bakalan kenal."
Aku menggeser pandanganku pada pria yang ditunjuk oleh Raga. Sebenarnya aku sependapat dengannya, bahwa acara ulang tahun ini lebih terasa seperti ajang bisnis. Aku lihat hanya beberapa tamu yang seumuran dengan Diaz, sedang sisanya adalah orang-orang berdasi yang berumur empat puluh tahun ke atas.
"Ayo, kita kasih selamat sama Diaz. Daripada di sini terus nonton orang-orang" Aku menarik lengan Raga Ketika Diaz melambai ke arah kami.
Raga mengangguk mengikutiku.
"Mbak, kenapa telat banget?" Diaz bersungut ketika kami sampai di depannya. Mekipun begitu ia tetap memelukku dengan hangat. "Katanya mau datang paling cepet."
Aku melirik Raga yang sok tidak peduli dengan pertanyaan adiknya. Padahal tadi dia yang bikin kami telat. Aku tidak bisa membayangkan betapa marahnya Diaz jika tadi aku dan Raga sampai tidak datang.
"Jalan macet Yaz." Sahut Raga kemudian.
"Masa?" Dia memicing penuh kecurigaan. "Atau jangan-jangan mas Raga kan yang telat jemput mbak Naya?"
Raga mau membuka mulut, namun aku segera menyahut.
"Iya! Masmu telat lebih dari satu jam."
Raga membeliakkan mata lalu mencubit lenganku dengan gemas. "Enggak selama itu sayang." Bisiknya namun aku tidak peduli.
"Ini kado buat kamu!"" Aku buru-buru memberikan bungkusan kado yang ejak tadi ku bawa pada Diaz untuk mengalihkan pembicaraan. Karena jika pembahasan telat it uterus kami lanjutkan, bukan tidak mungkin Raga akan membongkar apa yang sudah kami lakukan tadi.
"Yee….kan aku udah bilang kalau acara hari ini no hadiah…hadiah. Ntar dikira gratifikasi." Kekah Diaz, namun tetap menerima kado yang aku berikan.
"Lagak lu, udah kayak bejabat aja Yaz." Ejek Raga.
"Biarin! Wek!" Diaz tampak kesal, sedang aku hanya tertawa kecil melihat interaksi kakak adik yang tidak pernah akur tersebut.
Kami meninggalkan Diaz Ketika antrean di belakang yang ingin mengucapkan selamat ulang tahun mulai mengular. Tidak ingin membuat acara terhambat, Raga akhirnya mengajakku untuk menemui kedua orangtuanya yang kini tengah duduk berdua, menikmati suasana ulangtahun Diaz.
Aku sedikit grogi tiap bertemu kedua orangtua Raga. Meskipun mereka menerimaku dengan cukup baik, namun rasanya ada tembok besar yang tetap menjadi penghalang kami. Mereka berpengetahuan dan berpengalaman luas. Mungkin sudah hampir berkeliling dunia dengan mengenal banyak orang dari berbagai negara dan berbagai tipe. Jadi Ketika ngobrol pun, aku hanya bisa menjawabnya dengan senyum Ketika mereka membicarakan betapa asyiknya ngopi di pinggir sungai Sein di Paris atau merasakan aroma musim dingin di Jepang. Istilahnya kami memang tidak satu frekuensi.
Setelah beberapa menit basa-basi akhirnya aku kembali bernafas lega Ketika Raga mengajakku untuk menuju meja prasmanan dengan dalih ia kelaparan. Aku tidak yakin apakah Raga benar-benar lapar atau mengerti dengan perasaanku sekarang, dan mengajakku pergi.
Ketika sedang asyik ngobrol, Aldi tiba-tiba datang dan menyapa kami.
"Kemana aja lo baru dateng?" tanya Raga sambil memasukkan sisa potongan kue ke dalam mulutnya.
"Macet." Aldi maju lalu mengambil segelas minuman berwarna merah dan menyesapnya. "Tadi sore ketiduran."
"Emang lo baru nyampe kapan sih?"
"Gue baru sampai jam dua tadi. Mana pesawatnya delay lagi. Padahal gue ngebut motretnya biar enggak absen ke ulangtahun Diaz. Eh, gini aja tadi udah di sembur sama dia." Aldi berdecak sebal.
Raga bilang, beberapa hari ini Aldi pergi ke Jepang untuk pemotretan. Sebuah perusahaan fashion memintanya untuk bergabung dan menjadi fotografernya selama beberapa bulan. Begitulah Aldi, karena hasil jepretannya memang begitu bagus, ia sering dikontrak oleh perusahaan-perusahaan fashion untuk menjadi fotografer model-model mereka.
Kami berbincang ngalor-ngidul Ketika sebuah pemberitahuan bahwa acara potong kue akan segera dimulai dan meminta kami untuk sedikit mendekat. Kami merapat ke depan untuk menyaksikan sekaligus ikut merayakan bertambahnya usia Diaz. Gadis beruntung itu begitu bahagia dengan pesta ulang tahunnya hari ini. Jelas terlihat dari rona mukanya yang sejak tadi berseri-seri.
Dari jauh aku melihat kenyataan ini dengan senyum. Jika Diaz ataupun Raga begitu berbahagia dengan pesta ulangtahun mereka yang megah dan kue ulangtahun yang begitu cantik, aku bahkan belum pernah merasakan yang Namanya merayakan pesta ulangtahun dengan sebuah kue dan lilin Bersama keluargaku. Ibu yang sibuk bekerja dan ayah yang jarang pulang bahkan membuatku lupa akan hari ulangtahunku sendiri. meskipun akhirnya selama tujuh tahun ini sudah ada perbedaan di hidupku. Pria yang sangat kucintai bahkan tidak pernah absen memberiku kejutan setiap malam ulangtahunku. Dengan sebuah kue sederhana dan lilin berbentuk angka. Meskipun begitu, aku begitu terharu dengan Raga yang tak pernah melupakan hari spesialku tersebut.
Selepas acara potong kue, kami Kembali mengikmati pesta. Music jazz yang mengalun merdu membuat para undangan begitu betah dengan suasana malam ini ditambah berbagai makanan yang tentu saja lezat karena dimasak oleh chef hotel yang berpengalaman.
"Raga." Sebuah suara menginterupsi percakapan antara aku, Raga, Aldi dan tentu saja Diaz.
Kami menoleh bersamaan. Papa Raga datang dengan seseorang di sampingnya. Seorang wanita yang berusia sama denganku, dan tentu saja sangat familiar di ingatanku. Wanita itu tersenyum, menampilkan senyumnya yang cantik dan menawan. Membuat nyaliku menciut seketika ketika berhadapan dengannya.
"Ini Kania….." pak Hermawan membuka suara.
"Akunting baru kamu." Belum selesai terkejutku karena sosok Kania yang tiba-tiba muncul setelah bertahun-tahun tidak berjumpa, kini aku kembali dikejutkan oleh kenyataan, bahwa wanita ini akan bekerja di tempat yang sama dengan Raga.
*****