"Hai Nay….ternyata kamu sama Raga masih pacaran…."
Aku belum benar-benar menguasai diriku dari rasa terkejut Ketika Kania sudah menyapaku dan memberikan sederetan pertanyaannya. Aku rasa dunia memang sempit, atau jika bukan itu aku rasa takdir tengah bermain-main denganku. Bagaimana bisa seseorang yang selalu ingin aku hindari sewaktu kuliah kini justru begitu dekat denganku dengan menjadi seorang akuntan di perusahaan pacarku—untuk menggantikanku. Ada sekelumit sesal dihatiku Ketika aku menolak tawaran Raga waktu itu. Jika akhirnya jusstru Kania yang menggantikan posisiku, seharusnya aku menerima saja pekerjaan itu terlepas apakah aku masuk karena koneksi dari Raga atau bukan.
Setelah pak Hermawan memperkenalkan akuntan baru di perusahaan, akhirnya Kania merapat dengan pak Hermawan beserta keluarganya juga Raga. Entah apa basa-basi yang mereka katakan, namun sejak tadi aku menangkap tawa dari bibir mereka. Raga terlihat akrab, dan itu membuatku sedikit 'cemburu'. Karena aku tahu, sejak kuliah Kania memiliki perasaan lain pada kekasihku. Harapanku, semoga sekarang, perasaan itu sudah tidak ada lagi.
Kania gadis yang supel dan tentu saja baik. Hanya aku yang memang tidak begitu menyukainya. Entahlah, mungkin karena dia pintar, berwawasan luas, dan tentu saja seorang gadis dari keluarga yang cukup terpandang. Tidak heran jika sekarang ia begitu pandai menguasai keadaan dengan memikat hati orangtua Raga. Suatu hal yang bahkan sulit kulakukan meski usia pacaran kami sudah lebih dari tujuh tahun.
"Kenapa enggak gabung sama mereka?" Aldi sudah berdiri di sampingku sambil mengulurkan segelas minuman.
Aku hanya mengulas senyum, menerima gelasnya lantas menggeser dudukku agar pria berlesung pipi ini bisa duduk di sampingku.
"Sepertinya mereka sedang sibuk membicarakan perusahaan." Aku menenggak minumanku yang ternyata berisi soda. Rasa yang meletup-letup pecah di mulutku. "Aku tidak mau dianggap sebagai mata-mata dari perusahaan lain." Kilahku yang diiringi tawa dari Aldi.
"Aku kira kamu hanya minder saja." sahutnya kemudian tanpa menatapku.
Aku menoleh. Meskipun aku tahu jika Aldi sedang bercanda, nyatanya itu sangat mengena di hatiku.
"Sebut saja begitu."jawabku pada akhirnya.
Aldi tersenyum. ia menenggak minumannya lalu menatap ke atas, ke langit yang penuh oleh cahaya bintang.
"Aku dengar dulu sebenarnya posisi akuntan itu buatmu Nay." Katanya kemudian. "Apa sekarang kamu merasa sedih karena ternyata posisi itu sudah dimiliki orang lain?"
Aku tak menyahut. Menunduk sambil memainkan tas tanganku. "Tidak. Aku rasa ini adalah keputusan yang baik." Jawabku bohong. Meskipun ada sedikit rasa menyesal di hatiku, bukan lantas aku ingin merengek pada Raga dan meminta posisi itu Kembali. Karena aku tahu jika Kania sangat berkompeten dengan pekerjaan ini.
"Nay, tidak semua hal yang terjadi pada hatimu harus kamu simpan untuk dirimu sendiri. kamu bisa bilang tidak suka jika kamu memang tidak suka, kami bisa menangis jika perasaanmu sedang sedih dan kamu bisa menuruti kata hatimu meskipun itu menyimpang dari logikamu sendiri." Aldi menatapku. Wajahnya tampak serius, seakan dia bisa membaca apa yang hatiku rasakan.
"Akh….." Aku membuang pandang ke arah langit. "Kamu berlebihan Al. perasaanku baik-baik saja, seperti yang kamu lihat sekarang."
Kudengar Aldi menggumam, tapi tidak begitu jelas di telingaku. Ku abaikan saja. lagipula aku juga tak perlu memasukkan ke hati apa yang baru saja Aldi katakan.
"Tumben ya, kita bisa melihat bintang di Jakarta?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aldi mengikuti arah pandangaku ke atas langit.
"Itu planet Mars…" aku menunjuk sebuah kelip bintang di atas langit. "Yang terang itu Venus…."
"Dan yang paling terang itu bulan." Sahut Aldi kemudian.
Aku tertawa. Bahkan sampai terbahak. "Al, anak kelas satu SD juga tahu kalau itu bulan!" kulepas tubuhku yang duduk dengan tegang untuk bersandar pada badan kursi. Rupanya candaan dari Aldi berhasil membuat mood-ku lebih baik.
"Oh ya?" Aldi mengikutiku. Kami sama-sama duduk bersandar di kursi sambil menatap bintang. "Aku kira kamu enggak tau Nay. Makanya aku kasih tau."
Aku berdecih lirih. "Kamu kira aku alien dari planet lain sampai tidak tahu kalau bumi itu punya satelit yang namanya bulan?"
"Kalau gitu aku tanya, planet pertama di tata surya apa?"
"Merkurius!"
"Kalau yang ada cincinnya?"
"Saturnus!"
"Planet terluar?"
"Neptunus!"
"Horeeee….." Aldi bertepuk tangan dengan bersuka cita. Seolah ia adalah seorang guru dan aku adalah muridnya. "Adik Naya bisa menjawab pertanyaan!"
Aku terbahak. Aldi pun juga sama. Kami sama-sama tergelak di tengah pesta ulangtahun atau ralat, di tengah pesta relasi ini. ketegangan dan pedih yang sempat menguasai hatiku tadi, sedikit berangsur lebih baik.
Ketika tawa kami belum benar-benar lepas dari bibir, tiba-tiba Raga datang menghampiri kami. Tampaknya ia sudah selesai dengan obrolannya bersama Kania dan keluarganya.
"Kalian ngomongin apa kok kelihatannya seneng banget?" ia berjalan mendekat kearah kami.
"Udah selesai?"
Raga mengangguk.
"Lo enggak lagi nyeritain keburukan gue sama Naya kan?!" dia mengedik pada Aldi.
"Kita lagi ngomongin pelajaran geografi Ga!" Aldi tertawa. "Ogah banget gue ngomongin lo. Secara Naya lebih tau lo daripada gue!"
"Gue kira lo lagi ngomongin keburukan gue." Raga merangkulku. "Kalau enggak, berarti lo saudara yang baik."
Aldi mencibir.
"Ga, malem ini gue nginep di tempat lo ya. Gue gabut ni—"
"No!" tolak Raga cepat. "Malem ini enggak ada yang boleh ganggu gue sama Naya. Apalgi lo!"
Aldi berdecak sebal. "Emang Naya mau nginep di rumah lo?" dia menoleh padaku.
"Iya dong!" Raga mengeratkan pelukannya. "Namanya juga suami-istri."
"Semprul banget sih lo!" Aldi bersungut kesal.
*****
"Kania…gimana ceritanya bisa kerja jadi akuntan kamu Ga?" tanyaku Ketika kami dalam perjalanan pulang. Sebenarnya aku tahu jika Kania bisa bekerja di sana karena koneksinya dengan keluarga Hermawan. Namun aku ingin tahu dengan jelas hubungan antar keluarga tersebut.
"Papa sama orangtuaanya Kania temen deket Nay…" jawab Raga tanpa menoleh ke arahku. "Beberapa hari lalu, papa enggak sengaja ketemu Kania dan papanya di arena golf, dan rupanya papa tertarik sewaktu Kania bilang butuh kerjaan selepas pulang dari Aussie."
Aku mengangguk pelan. Tatapanku lurus ke depan, pada jalanan malam kota Jakarta yang ramai lancar.
"Jadi kamu udah tahu kalau Kania yang bakalan kerja jdi akuntan kamu?" sumpah demi apapun, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan was-wasku.
"Aku juga Taunya hari ini Nay…" Aldi mengulurkan tangannya membelai pucuk rambutku. "Ya lumayanlah, setidaknya aku sudah kenal Kania. Jadi tidak perlu beradaptasi dengan dia."
Aku tak menjawab. Sebal dengan kalimat yang baru saja dikatakan Raga. Andai saja kekasihku ini lebih peka jika dulu Kania tertarik padanya, mungkin ia bisa menjaga sedikit perasaanku dengan tidak mengatakan hal seperti itu. Aku tahu jika Kania tidak pernah menyakitiku dengan mencoba merebut Raga dariku, dia juga baik padaku. Namun bukankah orang-orang hanya akan mengingat keburukan orang lain daripada kebaikannya. Mungkin begitulah yang kurasakan sekarang. Aku terlampau tidak menyukai Kania karena dia pernah suka dengan kekasihku, sehingga kebaikan apapun di diri gadis itu sama sekali tidak bisa membuatku merasa baik-baik saja.
"Oh ya, tadi Kania nitip salam sama kamu Nay. Katanya kapan-kapan dia pengen ngajakin kita makan malam bareng." Kalimat Raga membuyarkan monolog di kepalaku.
Aku menoleh.
"Makan malam?" cukup terkejut aku dengan kabar ini. "Dalam hal apa?"
Raga menginjak rem dengan perlahan karena di depan kami traffic light berubah warna menjadi merah . "Kamu enggak pengen reunian sama mantan temen sekelas kamu waktu kuliah?" dia menoleh ke arahku.
Tidak!
"Engg….emang makan malam dimana?"
Raga tersenyum tipis, ia mengecup punggung tanganku dengan lembut sebelum akhirnya Kembali menginjak kopling karena lampu di depan berubah hijau.
"Belum tau Nay, masih wacana."
Aku menghembuskan nafas pelan. Ingin mengatakan pada Raga bahwa aku sama sekali tidak setuju dengan Kania bekerja di perusahaannya. Namun, aku tak punya hak untuk itu. Salahku sendiri kenapa dulu aku menolak permintaannya.
Perlahan, aku menggeser dudukku dan merebahkan kepalaku di Pundak Raga. Aroma tubuh Raga yang bercampur parfum membuatku merasa nyaman.
"Bagaimana kalau kita liburan Nay?" Suaranya berdengung di telingaku.
"Liburan?" tanyaku tanpa bergeming. "Kemana?"
"Jepang." Jawab Raga. "Bukannya kamu pengen banget ke sana?"
Aku memang ingin sekali bisa menginjakkan kakiku di Jepang. Entah kenapa aku selalu merasa jika Jepang adalah tempat yang nyaman sekali untuk aku tinggali. Andai saja hidupku dan keluargaku tak seperti ini, dan andai saja aku dan Raga bisa menikah, mungkin aku akan memilih untuk mengajaknya tinggal di sana. Bersama anak-anak kami, menikmati musim-demi musim dengan bahagia.
"Akh, pekerjaanku masih banyak Ga." tolakku kemudian. "Nanti, jika semuanya sudah selesai."
Raga tak menyahut. Kudengar ia hanya menghela nafas berat. Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang. Kami berdua sama-sama terdiam, bahkan sampai mobil ini berbelok masuk apartement.
*****