Chereads / Ambiguous Love / Chapter 2 - Rindu itu Berat

Chapter 2 - Rindu itu Berat

Aku meng-klik tulisan 'beli' di sebuah platform belanja online di ponselku. Beberapa baju sudah masuk ke keranjang belanja dan siap untuk aku bayar.

"Yaelah, ngapain susah-susah belanja online sih Nay. Ajak aja pacar kamu belanja di mall, di toko resminya." Aku tidak tahu kapan Rara datang dan mengintip apa yang aku lakukan sekarang.

Aku tidak menjawab, menyelesaikan pembayaranku lantas menaruh ponselku di atas meja.

"Enggaklah, aku punya duit sendiri kok." Jawabku sambil meregangkan tubuhku.

Rara menatapku dengan pandangan tidak mengerti. "Hari gini, punya cowok tajir melintir kayak begitu dianggurin aja Nay?" decaknya tak percaya. "Masih ada ya wanita berhati malaikat kayak lo?!"

Aku kembali tidak menyahut, dan kini justru mengayunkan langkah ke kamar mandi, menghidupkan shower dan mematung beberapa saat di sana.

Hidupku memang tidak bisa dikatakan baik. Aku memang punya pacar, tapi bukan berarti aku bisa menerima dengan mudah apa yang dia berikan padaku. Hidupku memang tak seberuntung teman-temanku, bahkan tak seberuntung Rara meskipun kami bekerja di tempat yang sama. Di saat sosial media menjadi penghubung manusia untuk pamer pada orang lain tanpa ngomong apapun, aku masih jalan di tempat dengan kemajuan finansialku.

Di saat mereka sibuk update status tentang mobil mewah yang baru mereka beli, aku masih setia naik MRT, bus kota bahkan ojek ketika berangkat kerja. Ketika teman-temanku sibuk memotret tempat makan lagi hits dan terkenal, aku lebih memilih untuk makan di warteg karena bisa mengenyangkan lebih lama dan tentu saja menghemat pengeluaranku, dan ketika semua orang sibuk belanja baju di sebuah store terkenal dengan harga selangit, aku lebih memilih untuk membeli baju sisa eksport dengan harga jauh di bawah harga toko. Dan bahkan, saat teman-temanku sibuk memamerkan cincin pertunangan atau gaun pesta pernikahan mereka, aku sama sekali belum pernah berfikir untuk berani maju meskipun Raga sering memintaku untuk menjadi istrinya.

Hidupku memang tak sama dengan mereka. Namun aku bersyukur masih bisa mendapatkan pekerjaan meskipun aku tahu hidupku akan stuck begini terus sampai aku pensiun. Ibuku sering memintaku untuk segera menikah dengan Raga agar kehidupanku terjamin dan tidak terus-terusan tinggal di apartement milik perusahaan. Namun sekali lagi, aku menolak itu dengan beberapa alasan. Diantaranya, aku belum siap menikah.

*****

"Nanti malam jadi kan ngerayain anniversary kita yang ke tujuh?" suara Raga bergema di telingaku siang ini. "Aku baru saja turun dari pesawat."

Aku tersenyum lebar, lantas menghadiahinya sebuah kecupan jarak jauh di depan ponsel. Beberapa rekan kerjaku yang juga tengah makan siang hanya mengulas senyum ketika melihat tingkah lakuku. Mereka tahu, aku memang terkadang lebay jika sedang bertelfonan dengan pacarku.

"Ya jadilah…."

"Aku jemput gimana?"

"Enggak usah." Aku memasukkan sesendok nasi makan siangku ke dalam mulut. " aku bisa naik angkot nanti."

Kalimat 'naik-angkot' berhasil membuat Rara dan Kevin yang sedang sibuk memisahkan duri di nila bakar langsung mengangkat dagu dan menatapku penuh keheranan.

Aku memelototi mereka agar tidak nimbrung dan menimpali dengan suatu kalimat. Cukup untuk kalimat-kalimat menohok yang mereka lontarkan kepadaku setiap kali aku menolak apapun yang ditawarkan Raga untukku.

"Naik angkot? Kamu yakin bisa sampai tepat waktu Nay? Jalanan macet lho." Suara Raga kembali bergema.

"Yakin." Sahutku sambil mengunyah makanan. "Kalau nanti macet, aku tinggal jalan kaki saja ke apartement kamu. Kan enggak jauh-jauh amat."

Kudengar Raga menghela nafas, dia pasti tidak habis pikir dengan jalan pikiranku. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya dia kembali membuka suara.

"Baiklah, aku tunggu." Katanya yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan. Kami mengobrol beberapa hal sebelum akhirnya Raga memintaku untuk menutup telepon karena sopir yang menjemputnya sudah datang.

"Siapa Nay? Raga?" Tanya Rara ketika aku kembali meletakkan ponselku di atas meja.

"Ya jelas lah siapa lagi kalau bukan prince charming yang ngehubungin dia!" timpal Kevin, yang kini juga sedang menghadapi makan siang Bersamaku dan Rara.

"Mau ketemuan ya ntar sore?" Rara tidak memperdulikan kalimat Kevin. "Yah enggak jadi nongkrong deh….."

Aku hanya tertawa kecil dan kembali menekuni sisa makan siangku. Kevin dan Rara memang punya hobi nongkrong di club sampai pagi. Rara bahkan sering membawa pulang pria yang baru di kenalnya ke apartement dan berlanjut ke hubungan cinta satu malam, sedangkan Kevin yang tidak begitu menyukai seks, hanya menghabiskan waktunya untuk sekedar nongkrong dan ngobrol dengan beberapa rekannya. Sedangkan aku, tidak akan mungkin sampai menghabiskan waktu lebih dari satu jam di tempat berisik itu, jika Rara sudah mulai turun ke lantai dansa dan mencari mangsa, lalu Kevin bertemu dengan beberapa kenalannya, aku tidak butuh waktu lama untuk segera beranjak pergi. Lagipula, tempat itu bukan duniaku. Aku seperti masuk ke planet lain jika sudah masuk tempat itu.

Kevin menoel lengan Rara. "Eh, lo tau kan kalau mereka udah enggak ketemu seminggu. Ya jelaslah si Naya lebih memprioritaskan cowoknya daripada lo. Emang lo pikir si Naya enggak kangen sama belaian hangat dari si prince charming apa? Lengannya yang kokoh sama—"

"Kamu bisa diem enggak sih Vin!" Aku menjejalkan sepotong nugget di mulut pria itu.

Rara tertawa, dia mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Kenapa enggak minta jemput aja sih Nay? Yakin deh kalau nanti bakalan macet banget!" ia seolah sedang mengulangi kalimat Raga tadi.

Aku mendengus, lantas menyesap es jerukku.

"Aku enggak mau ngerepotin dia." Sahutku kemudian yang mendapatkan kerutan aneh di alis kedua orang yang duduk di depanku ini.

"Eh..." Kevin menghadap ke arah Rara dan menyangga kepalanya dengan salah satu tangannya. "Emang kalau jemput pacar itu ngerepotin ya Ra? Kok gue baru ngerti sekarang. Terus apa dong gunanya pacar? Cuma diliatin doing?!"

Rara membalas. "Ho'oh, gue ya baru ngerti ada orang kek begini. Idup lagi."

"Berisik." Aku melemparkan tissue ke dua orang yang sedang menyindirku tersebut. Daripada terus menerus diejek oleh mereka, aku lebih memilih beranjak dari tempat dudukku untuk kembali bekerja.

"Nay, ntar malem lo pulang enggak?" tanya Rara ketika aku sudah bersiap mengayunkan langkah.

Aku menoleh, lantas tersenyum lebar. "Kayaknya enggak." sahutku.

"Emang kenapa?" Kevin menatap Rara.

"Em…..kalau dia enggak pulang, gue mau bawa kenalan gue nginep nanti."

"Lah bukannya udah sering kayak begitu?"

"Kalau enggak ada Naya beda." Rara menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Gue bisa bebas bereksplorasi. Soalnya gue agak enggak enak gitu sama Naya, takut kedengeran."

Aku dan Kevin saling pandang lalu menggeleng bersamaan.

"Udah…parah nich otak. Bener-bener butuh di bawa ke psikiater!" kevin beranjak dadi duduknya lantas menarik lenganku. "Ayo Nay pergi. Bisa hilang kewarasan gue kalau sama dia."

Dan aku hanya tertawa. Untuk hal satu itu, Rara memang luar biasa berani.

******

"Hai..." Aku mengulas senyum ketika Raga baru saja membuka pintu apartemennya. "Happy anniversary….." Aku meninggikan sebuah paper bag kecil yang kubawa, berisi sebuah dasi yang beberapa hari lalu sempat aku beli sebagai hadiah untuk kekasihku.

Raga melebarkan senyumannya, menarik tanganku untuk masuk ke dalam apartement dan langsung mencecarku dengan ciumannya. Bahkan ia menutup pintu menggunakan kakinya dengan begitu dramatis.

"Aku merindukanmu." Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di pipiku, dan kembali mengulum bibirku dengan lembut. Ia sama sekali tak memberiku kesempatan untuk sekedar mengambil nafas sedikit untuk paru-paruku.

"Come on honey…."Aku mendorong dadanya perlahan ketika nafasku sudah benar-benar habis. Namun Raga benar-benar tak ingin memberiku waktu berlama-lama untuk bernafas, dan kembali menyerangku dengan brutal. Bahkan kini ia sudah berhasil menanggalkan blazerku, meninggalkan sebuah dress tanpa lengan selututku berwarna merah. Aku yakin jika sebentar lagi, dress kerjaku ini juga akan teronggok di sembarang tempat.

Aku mengalungkan lenganku di lehernya, kini kami benar-benar saling memagut dengan posesif. Dengan perlahan, Raga membimbingku masuk ke dalam kamar, menjatuhkan helaian demi helaian pakain yang kami gunakan di atas lantai begitu saja.

"Aku belum mandi." Aku kembali mendorong tubuhnya yang berada di atasku. Kutatap bibirnya yang memerah dan tebal karena gigitanku.

"Apa perlu?" Dia menjawabku dengan nafas terengah.

Aku mengangguk.

Dia tertawa, lalu menarik tubuhku ke dalam kamar mandi.

*****