"Akhirnya lo pulang juga." Aldi menyeringai menatapku yang muncul di depan pintu. Dari sudut matanya, aku bisa melihat jika ia sudah tahu aku datang, makanya pria itu kini sudah duduk manis di sofa dengan menyilangkan kaki.
"Dari mana lo tau kalau gue datang?" tanyaku.
"Suara mobil lo." Jawab Aldi enteng.
"Terus ngapain lo di sini?" Aku meletakkan sebuah plastik hitam di atas meja. Se-plastik molen goreng yang aku beli di pinggir jalan tadi untuk mama. "Mama udah tidur?" aku memutar pandanganku ke sana kemari ketika kulihat rumah begitu sepi dan hanya ada ponakanku ini yang sedang—entah apa yang dilakukannya di ruang tamu sendirian.
"Mungkin." Aldi mengedikkan bahu. "Gue denger lo udah pulang dari Singapura kemarin, tapi kenapa baru nyampe rumah sekarang? Habis ketemuan dulu ya sama pacar?" dia mengerling jahil. "Udah diporotin apa aja sama dia Ga?"
Aku mendengkus, lantas menjatuhkan tubuh penatku di atas sofa. Aku tidak suka dengan kalimat Aldi yang terakhir. Karena selama ini Naya tidak pernah sekalipun mengambil apapun dariku. Makanya kalimat keponakanku itu sedikit membuatku tersinggung.
"Andai dia mau morotin apapun dari gue, pasti udah gue kasih semua." Gue bergumam hambar. Mataku terpejam, merasa penat karena sehari ini hidupku penuh kejutan. Mulai dari Naya yang menangis di telepon karena Rara yang babak belur dihajar pasangan cinta satu malamnya, sampai kolega yang memutuskan untuk tidak meneruskan kontrak karena aku perg begitu saja padahal acara ramah tamah di lapangan golf baru saja di mulai. Menyisakan kecewa yang sangat dari klien ku yang bernama pak Andi.
"Pacar lo aneh ya Ga."
Aku membuka mata, kulihat dia sudah membuka plastic molen itu dan mengunyah isinya.
"Itu buat mama!" desisku.
"Sogokan? Karena enggak pulang-pulang?" bukannya berhenti, Aldi malah mengambil satu lagi dan kembali mengunyahnya. "Enak nich."
Aku tak menjawab. Kembali menutup mataku dan meletakkan lenganku di dahi.
"Emang selama ini dia enggak pernah minta sesuatu sama lo Ga?"
"Enggak….." erangku.
"Sama sekali?"
"Sama sekali."
Aku pernah membelikan Naya sebuah tas yang memang hrganya cukup mahal. Bukannya berterimakasih, dia lantas marah padaku karena harganya yang bahkan dia bilang tak sanggup membelinya dengan gajinya sepuluh tahun dan memintaku untuk mengembalikannya. Aku juga sering mengajaknya jalan-jalan ke mall, masuk ke butik dan counter barang-barang branded dan kusuruh untuk memilih, namun dia menolak.
"Apa cewek lo itu emang sama sekali enggak ada bibit-bibit cewek matre gitu ya Ga? Padahal biasanya kalau punya cowok tajir melintir kayak lo, pasti udah minta kapal pesiar."kekah Aldi. "Atau helicopter atau ya…Porsche, Mercedes atau…apalah…."
Aku tak menjawab, males meladeni.
"Ajak nikah aja Ga. Pacaran udah hampir delapan tahun. Mau cari apa sih? Inget bang, keluarga kita masih memegang budaya timur yang kuat, bahwa hubungan itu harus berdasar pernikahan. Enggak kumpul kebo."
Aku melirik Aldi dengan kesal. Tanganku meraba-raba saku celana dan mengeluarkan sebuah cincin dari dalam sana.
"Lo tau sudah berapa lama cincin ini ada di saku celana gue?" aku menimang-nimang cincin bermata berlian itu di depan mataku. Cincin yang selalu mengisi saku celanaku beberapa tahun terakhir ini.
Aldi mendongakkan wajah. "Busyet, lo udah ngelamar dia?"
"Sering." Jawabku. "Tapi dia tidak pernah menjawab lamaran gue." Aku selalu membawa cincin itu setiap bertemu dengan Naya, berharap jika aku bisa menemukan moment yang tepat dan memakaikan cincin ini di jari manisnya. Namun sebelum cincin itu berhasil kutunjukkan, dia selalu menjawab kalimatku 'ayo kita menikah' dengan jawaban 'nanti dulu'.
"Kalau begitu mungkin dia memang tidak niat menikah."
Aku tahu kalimat Aldi hanya sebuah gurauan, namun berhasil menyentil hatiku. Benarkan jika Naya memang tidak siap untuk menikah sehingga ia terus-menerus berkelit ketika aku melamarnya?
******
Pagi ini aku sudah siap dengan pakaian formalku. Menyambut hari senin dengan sesuatu yang ruwet karena aku harus mencari klien baru menggantikan pak Andi yang marah-marah padaku kemarin. Setelah memantaskan diri di depan cermin, aku bergegas menuju meja makan. Di sana sudah ada mama dan papa yang sedang menikmati sarapan mereka.
"Morning mom…" aku mencium pipi mama kemudian mengambil tempat duduk di seberangnya. Sedangkan papa duduk di tengah-tengah kami.
"Mau kemana nich kok pada rapi?" Aku melihat papa dan mama sudah berpakain rapi.
"Nganter papamu check-up." Mama mengambil setangkup roti dan mengolesinya dengan selai, lalu meletakkannya di piringku. "Oh ya, kapan kamu pulang?"
"Semalem. Tapi mama udah tidur." Aku menggigit rotiku. Mama tahu jika aku sangat menyukai selai coklat dan selalu menghadirkannya di meja makan setiap pagi.
"Udah ketemu sama Naya?" papa menyuapkan sesendok oatmel ke dalam mulutnya. Semenjak kesehatan jantungnya terganggu, papa sangat mengontrol makanannya dan sering juga check-up ke dokter. Maka dari itu sebisa mungkin, urusan kantor yang membuat pening tak kuceritakan ke papa. Apalagi tentang masalah pak Andi kemarin, bisa-bisa papa langsung masuk rumah sakit kalau mendengar itu.
"Udah kemarin." Jawabku.
"Diam mau nerima tawaran kamu untuk kerja perusahaan?" memang papa yang merekomendasikan Naya untuk bekerja sebagai accounting, namun Naya menolaknya.
"Dia enggak mau pah." Decakku.
"Enggak mau?" mama menggeleng-gelengkan kepala. "Maunya apa sih itu anak."
Aku tidak menyahut. Keluargaku dan Naya sudah saling mengenal, karena aku sering mengajaknya datang kemari. Namun mama dan papaku bukan tipikal orangtua yang sangat mendukung dengan hubungan kami. Mereka biasa saja. jika Naya tidak datang, mereka tidak akan bertanya 'kemana Naya tidak pernah kesini' tapi jika Naya datang mereka juga akan menerimanya dengan baik. Seolah kedua orangtuaku berfikir bahwa aku masih dalam tahap bermain-main dengan dia, dan akan menemukan gadis yang lebih baik dari Naya.
"Biarinlah ma. Dia masih mau cari pengalaman banyak kayaknya." Aku menyesap susu coklatku.
"Ya kalau gitu, buka lowongan saja. Atau mau rekomendasi dari papa?"
"Ya kita lihat nanti sikonnya aja pa." Aku menyudahi sarapanku. Ku geser kursi lantas beranjak. "Aku pergi dulu ya ma…pa…. nanti aku pesenin restoran sehabis check-up. Have a nice day…"
"Oh ya Ga." Mama mencekalku sebelum aku benar-benar beranjak pergi.
"Tante Rina, teman arisan mama mau ngenalin anak perempuannya sama kamu." Mama menggigit rotinya. "Gimana, ada waktu minggu ini?"
Aku belum menyahut, pura-pura sibuk mengecek barang-barang di dalam tas kerjaku.
"Ma, bilang kalau Raga udah punya pacar." Sahutku kemudian sambil menutup resleting. Kupandang mama yang kini menatapku. "Raga enggak mau kenalan sama siapapun lagi." Kulirik papa yang sedang menikmati sarapannya.
"Ya kalau gitu ajak nikah Naya. Kalian udah lama pacaran, nunggu apa?"
Ya kalau Naya mau sih Raga sudah siap ma. Masalahnya Naya yang kelihatannya belum mau nikah.
"Naya masih sibuk dengan pekerjaan ma. Nantilah, setahun dua tahun lagi. Tenang….Raga masih muda." Aku menaik-turunkan alis, berusaha mengurai ketegangan di wajah mama. "Ntar kalau Naya siap, mama sapa papa bakalan Raga ajak ke rumah dia. Ngelamar!"
Mama hanya mendengus pasrah.
Aku segera mencium keningnya lalu langsung beranjak pergi. Pagi-pagi begini ditagih untuk segera menikah. Akh rasanya malas sekali.
*****