Aldi baru saja keluar dari kamarnya ketika suara pintu apartement Raga dibuka dari luar. Ia terbengong sesaat ketika sosok yang tak ia sangka menyembul dari balik pintu tersebut. Tak jauh beda dari Aldi yang hanya berdiri dengan tangan masuk ke saku celananya, sosok yang juga membeku di depan pintu itu tampak terkejut.
"Masuk aja." Kata Aldi kemudian saat dilihatnya Naya masih mematung di depan pintu.
Naya tersenyum kaku. "Maaf…aku kira enggak ada orang." Sahutnya lalu bergegas masuk ke dalam.
Aldi hanya mengulas senyum. Ia lupa jika selain dirinya, ada orang lain lagi yang tahu kode kunci apartement Raga—yaitu Naya. Sebagai keponakan Raga yang menyandang predikat yatim piatu, Aldi memang selalu pindah-pindah untuk urusan tidur. Terkadang ia bisa tidur di rumahnya sendiri, di rumah orangtua Raga, atau bahkan seperti di apartement Raga seperti semalam.
"Raga baru keluar sebentar." Gumam Aldi sambil berlalu menuju dapur, lalu mengambil air minum. "Mau minum apa?" ia menoleh kearah Naya yang tengah meletakkan sesuatu di atas meja makan.
"Enggak…enggak usah." Jawab Naya canggung, karena baru kali ini ia dan Aldi benar-benar berdua di dalam satu ruangan. Naya selalu menilai pria bertubuh tinggi berkulit kuning langsat itu begitu dingin padanya, namun begitu hangat pada orang lain.
Aldi yang mendengar penjelasan Naya hanya mengangkat bahu, lantas diambilnya sebotol soda dari dalam kulkas. "Minum aja, diluar panas banget. Mustahil kalau kamu enggak haus." Ia meletakkan kaleng soda itu tepat di depan Naya.
Naya menerima kaleng itu dalam diam, dan membukanya perlahan lantas meminumnya. Aldi benar, ia sangat haus karena bus kota tadi begitu sumpek dan berdesak-desakan. Niatnya, ia tadi juga akan langsung mengambil air dingin di kulkas, namun urung dilakukannya ketika melihat Aldi juga berada di dalam rumah.
"Bawa apa?" Aldi menggeser kursi, lantas duduk di depan Naya yang sibuk membongkar tas plastic hitam yang tadi dibawanya. Awalnya ia berniat kembali masuk ke kamar dan meneruskan tidurnya, namun entah kenapa ia justru menepis keinginannya dan duduk di depan gadis bertubuh mungil ini.
"Cuma beberapa sayuran dan buah buat Raga." Sahuta Naya sambil memasukkan beberapa buah apel ke dalam kulkas. "Kalau enggak aku sediakan di sini, dia jarang makan buah."
"Oh….." Aldi hanya mengangguk saja. matanya terus mengekor Naya yang bolak-balik dari meja dapur ke kulkas untuk menyimpan barang-barang yang dibawanya sambil sesekali meneggak soda yang ada ditangannya. Diam-diam Aldi menilai penampilan Naya yang begitu sederhana. Gadis itu hanya mengenakan stelan jeans dengan kemeja yang Aldi rasa itu juga bukan pakaian mahal yang dijual di store-store terkenal, namun ia begitu menarik. Bahkan tas yang dipakainya juga bukan tas keluaran rumah mode dengan harga selangit.
Baru kali ini Aldi benar-benar berhadapan dengan Naya, karena ia juga baru beberapa kali bertemu dengan gadis itu. Itupun jika Naya Bersama Raga. Selama ini, Aldi tidak begitu menyukai Naya. Entahlah, ketika Raga menceritakan kehidupan Naya yang begitu kontras dengan kehidupan sepupunya, Aldi merasa jika Naya hanya mirip dengan perempuan kebanyakan. Yang hanya mengincar Raga karena hartanya, yang hanya menginginksn Raga karena pria itu kaya. Namun sepertinya, pikiran Aldi meleset. Sudah berapa kali Raga menceritakan jika Naya sama sekali tidak pernah meminta apapun dari Raga, dan sepertinya itu terbukti.
"Aldi….." Suara Naya menghancurkan monolog di pikiran Aldi.
"Iya Nay…." Aldi mengangkat dagu, dan dilihatnya Naya sudah berdiri di depannya dengan mengenakan apron.
"Kamu ngelamun ya?" Naya tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang menawan.
Aldi tertawa kecil. "Enggak, hanya mikirin kerjaan aja." Ia meneggak sodanya. "Ada apa?"
"Aku mau bikin nasi goreng ayam. Kamu mau?"
"Siang-siang bikin nasi goreng?" Aldi melongo.
"Iya, Raga yang minta." Naya beranjak menuju kulkas, lantas mengambil beberapa butir telur dari dalam sana. "Atau kamu mau makan sesuatu? Biar sekalian aku buatin."
Aldi belum menyahut, dipeganginya perutnya yang tiba-tiba lapar. Memang dia belum makan sejak pagi karena juga baru melek. Sepertinya nasi goreng di siang bolong juga tidak terlalu buruk, pikirnya.
"Sekalian aja deh nasi goreng Nay." Sahutnya kemudian.
Naya menoleh. "Doyan pedes enggak?"
"Aku doyan pedes kok."
"Yaudah, kamu pedes sama aku ya. Buat Raga yang enggak pedes."
Aldi mengangguk. Kembali ia terdiam. Melihat punggung Naya yang bergerak-gerak sedang menyiapkan bahan untuk membuat nasi goreng.
Tak berselang lama, Raga datang. Pria itu membawa bungkusan plastic juga yang berisi cemilan. Melihat Aldi yang duduk tenang di meja makan, mata pria itu membulat terkejut.
"Lo ngapain nungguin calon istri gue?" tanya Raga sambil meletakkan bawaannya di atas meja, sedangkan ia langsung mengayunkan langkah dan langsung mencium pipi Naya dengan lembut.
Melihat hal itu Aldi membuang pandangannya. "Eh, inget pak. Disini ada anak di bawah umur!"
Raga menoleh, di lemparkannya batang seledri dan hampir mengenai wajah keponakannya itu. "Kecil dari mana, umur lo juga udah duapuluh lima tahun!"
Naya yang sedang mengiris loncang terkikik.
"Kamu enggak diapa-apain sama dia kan sayang? Soalnya dia itu player. Cuma takut aja kalau kamu digombalin." Raga menangkupkan kedua tangannya di pipi Naya.
Naya kembali terkekah, diliriknya Aldi yang kelihatan sebal.
"Enggak….Aldi baik kok."
"Naaah…. Gue emang player pak, but gue enggak doyan sama bini ponakan sendiri." dengus Aldi sambil menegakkan tubuh. Tak berselang lama, terdengar derit kursi bergeser.
"Lho Al mau kemana? Ini nasi gorengnya udah hampir jadi lho." Naya menoleh ketika Aldi siap mengayunkan langkahnya.
"Ntar panggil aja Nay. Enggak asyik lihat mesra-mesraan di dapur." Ia berbalik. Namun sebelum benar-benar melangkah, Aldi menoleh.
"Eh by the way, kalian kalau making love di sembarang tempat ya?"
Naya dan Raga menoleh bersamaan.
"Kenapa emang?"
Aldi memutar bola matanya malas.
"Gue nemuin pengaman di lemari dapur, di lemari kamar mandi, di ruang tamu, di—" Aldi mendengus. "Akh sudahlah." Ia beranjak dengan tidak minat.
Raga terkekah, sedangkan Naya menunduk malu.
"Namanya juga variasi!" seru Raga kemudian yang hanya dijawab Aldi dengan gebrakan pintu kamar yang ditutup dengan keras.
*****
"Kenapa bawa buah sama sayuran sebanyak itu. Padahal kamu tahu aku belum tentu ingat?" Raga mengeratkan pelukannya pada Naya yang tidur di sampingnya.
Naya memutar tubuhnya agar berhadapan dengan Raga. Mereka kini berada di dalam kamar. Setelah makan, Aldi memutuskan untuk melanjutkan tidur, dan mempersilakan Raga dan Naya bermesraan di kamar agar tak menganggu tidurnya.
"Makanya biar kamu ingat, aku kasih pengingat di ponsel kamu tiap pagi."
Raga tertawa kecil, dicubitnya hidung Naya lembut. Ia begitu gemas dengan kekasihnya tersebut dalam memperlakukannya. Bahkan untuk hal kecil seperti sarapan ataupun minum vitamin Naya tak pernah lupa untuk mengabsen. Naya benar-benar istri ideal untuknya, dan Raga tidak bisa menggantinya dengan siapapun.
"Bagaimana kalau kita menikah?" Raga kembali mencium pucuk kepala Naya. Meskipun terdengar bercanda, ia benar-benar melakukan lamaran ini dengan sungguh-sungguh. Berharap Naya akan menerimanya kali ini.
Naya tersenyum, ia mengelus dagu Raga yang runcing. "Apa mamamu kembali menyuruhmu untuk menikah?" Kali ini Raga justru yang tampak terkejut.
Melihat ekspresi Raga, Naya terkekah. " Kenapa dengan wajahmu sayang?" tanyanya. "Terkejut karena aku tahu tentang ini?"
Raga mengangguk.
"Diaz yang cerita." Jawab Naya santai. "Beberapa hari yang lalu dia menelponku."
Raga mendengus kesal. "Dasar bocah itu!" geramnya. "Aku sudah menyuruhnya untuk tidak menceritakan apapun!"
Naya kembali terkekah. Diaz adalah adik kandung Raga. Karena sudah Bersama Raga begitu lama, Naya dan Diaz begitu akrab. Bahkan Naya sudah menganggap gadis itu seperti Ayu—adinya.
"Bagaimana, apa tidak lebih baik kita menikah saja?" Raga kembali bergumam. Ditariknya kepala Naya agar kepala gadis itu tenggelam di dadanya yang bidang.
"Tidak bisakan kita terus Bersama tanpa menikah?" Naya menghirup aroma tubuh Raga dalam-dalam. Aroma yang seakan menjadi candu baginya selama ini.
Raga menunduk, mengecup pucuk kepala Naya dengan perasaan yang bercampur aduk. Lagi-lagi gadis yang dipeluknya ini menolak lamarannya.
"Nay, aku harus bagaimana agar kamu mau menikah denganku?" Raga tahu jika saat ini hatinya begitu rapuh dengan penolakan Naya, tapi ia tak boleh terlihat terluka di depan gadis itu. Maka dari itu ia mencoba tertawa dengan kalimatnya.
"Emm…mungkin jika kamu menjadi sepertiku. Bisa makan di warteg sepertiku, naik MRT, bus kota atau bahkan angkot…."
Raga mendengus. "Bukankah sudah kulakukan? Naik angkot, dan makan di warteg?"
"Hei…." Naya menatap manik mata Raga dengan senyuman. "Tapi kamu sering mengeluh kan?"
"Ya namanya juga lagi latihan." Raga mengecup kening Naya. "Atau…..aku memang harus meninggalkan semua yang aku miliki sekarang untuk memiliku Nay?"
"Ssst….." Naya meletakkan jarinya di depan bibir Raga lantas mengecup bibir pria itu dengan lembut. "Ga, meskipun saat ini aku belum menerima lamaran kamu, bukan berarti aku tidak mencintaimua atau bahkan memintamu untuk hidup sepertiku. Kita nikmati saja sekarang, karena kamu tahu sendiri kan belum waktunya aku menikah. Aku masih punya tanggungan."
"Tapi aku bisa melunasi hutang—"
"Ga, aku tidak mau membawamu dalam masalah keluargaku."
Raga terdiam. Percuma meyakinkan Naya bahwa gadis itu akan Bahagia jika bersandar padanya, bahwa tidak apa-apa bergantung dengannya dalam hal apapun bahkan seluruh harta yang ia punya. Karena Raga tahu, bahagianya hanya ada pada genggaman Naya. Ia tak bisa dan tak akan pernah bisa membuka hatinya untuk wanita lain.
"Baiklah….mari kita lupakan perihal pernikahan!" Raga merapikan anak rambut Naya. "Tidak menikah tidak apa-apa asal aku bisa sama-sama kamu."
Naya tersenyum kecil. Sebenarnya hatinya juga sakit terus-menerus menolak lamaran dari orang yang dicintainya itu.
*****