Semua manusia di dunia pasti memiliki kisah cinta mereka masing-masing. Tak terkecuali aku. Meskipun tak serumit kisah cinta Romeo-Juliet, namun aku sempat terpuruk hancur dengan realita yang tak sesuai ekspektasiku.
Aku mengenalnya ketika kami sama-sama kuliah di Jerman. Namanya—Naira. Gadis berdarah Indonesia-Hongaria yang meluluhkan hatiku yang kesepian jauh dari Indonesia. Gadis yang setiap hari menghiburku, memberiku semangat dan harapan hidup untuk aku seorang yatim-piatu.
Sejak kecil, aku diasuh oleh nenekku, meskipun secara finansial, semua hal telah dicukupi oleh paman dan bibiku yang tak lain adalah orangtua Raga. Mulai dari sekolah, kebutuhanku sehari-hari, bahkan mereka membelikanku rumah serta mobil ketika aku sekolah di Jerman. meskipun yatim-piatu, aku merasa menjadi orang paling beruntung di dunia ini karena masih mendapatkan limpahan kasih sayang yang cukup dari kerabat-kerabatku.
Pertemuanku dengan Naira aku anggap bukan hanya kebetulan. Karena seperti rahasia umum, bahwa semakin sering kamu Bersama seseorang, maka kamu akan mudah untuk jatuh cinta padanya. Begitulah, akhirnya kami saling jatuh cinta, kemudian pacaran. Hari yang ku lewati Bersama Naira cukup membahagiakan. Aku hobi fotografi, dan dia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Kami hidup Bersama, saling menyapa di pagi hari, saling menyemangati untuk hari ini dan menumpahkan perasaan ketika malam hari. Bercerita tentang hal hebat apa saja yang sudah kami kerjakan hari ini.
Aku pikir, kami akan terus melakukan hal ini sampai tua. Tanpa ikatan—no problem. Karena aku yakin jika Naira juga berpendapat demikian. Aku bisa tinggal di Jerman sampai kapanpun bersamanya, karena aku memang tak pernah terikat oleh apapun di Indonesia. Hingga pada suatu hari, nenek menelponku dan menyuruhku kembali ke Indonesia untuk menjaganya. Aku menyampaikan niatku untuk mengajak serta gadisku pulang ke tanah air. Namun, ia menolak. Ia tak mungkin datang ke Indonesia, bersamaku, tanpa ikatan apapun karena ia juga bekerja di Jerman dan memiliki orangtua di Hongaria.
Akhirnya, aku kembali ke Indonesia sendiri. dan berjanji akan datang menemuinya suatu saat nanti. Setahun setelah di Indonesia, nenek meninggal dan aku memutuskan untuk kembali ke Jerman dan menemuinya. Namun, apakah hal yang paling menyakitkan ketika sebuah hubungan tanpa ikatan dan hanya terucap lewat janji? Yaitu penghianatan. Nairaku memang masih berada di Jerman, Naira-ku memang masih cantik dan hangat seperti waktu itu. Namun Nairaku, sudah dimiliki oleh orang lain.
"Akh…..!" Aku menghempaskan tubuhku di sofa. Sudah tiga tahun berlalu dan aku masih merasa kejadian itu baru kemarin. Berkali-kali Raga mencoba menjodohkan aku dengan beberapa kenalannya, namun aku tetap merasa hampa. Ada rasa kagum dengan gadis-gadis itu, namun aku tidak tertarik. Bahkan pola pikirku tentang kesetiaan pun berubah sekarang. Lebih baik aku menghabiskan satu malam dengan wanita yang tak ku kenal lalu selesai, daripada harus terikat dengan sebuah hubungan namun akhirnya kembali tersakiti. Aku memang pengecut, namun aku lebih memilih menjadi orang seperti itu sekarang.
Dan keraguan Naya tadi berhasil membuatku tersadar akan sesuatu. Bahkan jika hubungan lama pun tak akan menjamin semua akan baik-baik saja jika kita tak pernah mengikatnya. Aku hanya tidak ingin baik Naya ataupun Raga saling menyakiti hanya karena keraguan di hati gadis itu. Namun sepertinya, Naya terlihat takut untuk melangkah. Untuk keluar dari zona-nya. Untuk membuka dunia baru, dan memulai sesuatu yang lebih baik bersama seseorang yang sangat mencintainya.
Jerit suara ponsel di atas meja memaksaku untuk bangkit dari posisiku. Kulirik jam dinding sebelum benar-benar mengangkat telepon yang ternyata dari Raga. Pukul sebelas malam.
"Gimana, lo udah pulang?" itulah kalimat yang langsung ia keluarkan ketika aku baru saja menggeser tanda hijau di ponselku.
"Hmm…." Aku kembali merebahkan kepalaku di badan sofa. Kepalaku mendongak ke atas, menatap langit-langit rumah besar peninggalan nenek.
"Hey….kenapa dengan suaramu?" Seakan Raga tahu apa yang sedang aku pikirkan.
"Nothing. Hanya sedikit ngantuk saja."
Terdengar kekahan di seberang sana. "Lo ngantuk jam segini? Kenapa? sakit?" tanya Raga tak percaya. "Seorang Aldi tak akan mungkin bukan tidur di jam segini, kecuali kalau dia kena penyakit malaria?"
Aku mendengus. Kesal dengan ke sok tahuan Raga tentang dirinya yang memang sepenuhnya tidak salah.
"Seorang Aldi juga manusia, ingat. Dia belum berubah jadi monster. Jadi, dia bisa tidur di jam segini!" sahutku sewot.
"Baiklah….baiklah…." Suara Raga terdengar renyah. "Gue yang kesana atau lo yang kesini?"
"Gue enggak mau kalau disuruh nemenim lo lembur."
"Lo mau nemenin gue lembur?!" ejek Raga.
"NO!" sahutku tegas. "Lo lembur karena hal yang lo lakuin sendiri. Andai saja waktu itu lo enggak ninggalin pak Andi, klien lo yang bener-bener penting itu, lo enggak bakalan bukan jam segini masih di kantor?"
"Ya….gue ngelakuin demi seseorang yang benar-benar gue sayang."
Aku mencibir.
"Gue enggak mau kesitu. Gue tunggu di tempat biasa saja, gimana?"
"Deal!"
*****
"Sorry…lo udah lama?" Raga menepuk pundakku pelan. Aku menoleh. Menatapnya yang kini mengambil duduk tepat di sampingku. Pakaian pria itu sedikit berantakan dengan kemeja tanpa dasi dan digulung sebatas siku. Namun wajahnya benar-benar kontras dengan pakaiannya. Ia masih terlihat segar dan rambutnya pun masih terlihat rapi. Aku mengulum senyum melihat penampilan keponakanku itu. Intinya tentang wajah, ia benar-benar tidak mau ada cela.
"Cukup untuk pulang-pergi ke rumah dua kali." Sahutku, lalu menenggak kembali vodka yang ada di hadapanku.
Raga tertawa, tangannya melambai memanggil waiters yang berada tak jauh dari kami. Ia memesan martini pada waiters itu.
"Apa rasanya menyenangkan?" tanyaku kemudian setelah beberapa lama kami terdiam.
"Apa?" tanya Raga tanpa menoleh. Segelas martini sudah mendarat di depannya.
"Memakai pakaian seperti itu." Kedikku. "Dulu, aku pernah punya keinginan untuk memakai stelan jas sepertimu. Dan sepertinya aku tak cocok."
Aku memang pernah mencoba untuk bekerja di kantor selepas putus dengan Meira, dengan tujuan merubah hidupku dan cara pandangku terhadap hidup. Kali saja jika aku sibuk, bayanag-bayang Meira bakalan terhapus dari ingatanku. Tapi nyatanya bukannya happy, aku justru stress sendiri. Nyatanya fotografi memang duniaku, dengan atau tanpa Meira.
"Andai saja gue bisa memilih." Dengus Raga menjentik-jentikkan jarinya di gela martininya.
"Hidup adalah pilihan."
"Ya untuk sebagian orang." Sahutnya dengan hembusan nafas berat. " Kalau gue bukan anak laki-laki satu-satunya di keluarga, mungkin gue bisa menjadi apa yang gue mau. Lo tau….." Raga menoleh ke arahku."Kadang gue pengen menjadi pekerja kantoran seperti orang biasa. Atau punya toko kelontong di rumah, atau menjadi tukang antar atau—"
"Stop!" potong gue cepat. "Enggak usah berkhayal."
Raga terkekah, kembali di sesapnya martini di depannya dengan penuh perasaan.
"Sepertinya lo stress berat." Ia menatapku. "Tentang apa? Wanita?"
"Akh, lo lupa kalau gue enggak bakalan menyusahkan diri gue sendiri karena wanita?"
"Ya….jika wanita itu bukan Meira."
Aku tak menjawab.
"Lupakan dia Al. Dia sudah berkeluarga, lagipula dia juga sudah memiliki seorang anak."
Aku kembali tak menjawab. Andai aku bisa melakukannya semudah yang Raga katakan. Melupakannya karena dia sudah berkeluarga dan memiliki anak.
"Ga…." Kataku beberapa saat kemudian.
"Hmmm…."
"Kalau ternyata Naya tidak akan pernah mau menikah dengan lo bagaimana?"
Raga terkekah. "Apa yang kalian bicarakan tadi?"
Aku menggeleng. "Tidak. Hanya saja gue lihat hubungan kalian yang lebih dari tujuh tahun hanya jalan di tempat."
"Gue bakalan terus nungguin dia."
"Tanpa kepastian?" tolehku.
Raga mengangguk. "Apa yang bisa gue lakuian selain itu? Gue cinta sama dia. Melebihi apapun."
"Andai lo kehilangan apa yang lo punya sekarang demi dia?"
Raga mengangguk. Mantap.
"Sayangnya dia tidak pernah mau kalau gue meninggalkan semua yang gue punya demi dia." Desahnya pelan. "Dan gue rasa apa yang Naya katakan masuk akal. Gue bisa meninggalkan semua yang gue punya, tapi gue enggak akan bisa hidup seperti dia. Gue mengerti. Makanya gue yang minta agar dia bisa hidup seperti gue, tapi sepertinya dia yang tidak bisa."
"Sebenarnya, sekali waktu gue pengen ngehamili dia, atau memaksanya menikah sama gue atau hal-hal absurd lainnya. Namun gue akui, dia adalah gadis paling rasional yang pernah gue temui. Dan kerasionalannya lah yang membuat gue makin jatuh hati sama dia."
Aku mengulas senyum. Mata Raga selalu berbinar setiap kali membicarakan tentang Naya. Aku akui, Naya memanag gadis yang luar biasa. Bahkan baru bertemu dengan intens dua kali saja berhasil membuat aku nyaman membicarakan banyak hal dengannya.
"Ga, kalau suatu saat Naya tiba-tiba ingin berpisah, apa yang bakalan lo lakuin?" entah kenapa aku menanyakan hal semacam itu.
*******