Kevin muncul dengan senyum terkembang ketika Naya baru saja membuka pintu apartementnya. Pria itu tidak datang dengan tangan kosong, seperti beberapa hari ini ketika Rara sudah diijinkan pulang oleh dokter, Kevin selalu datang membawa buah tangan. Entah itu buah, entah itu cemilan bahkan makanan untuk Rara.
Naya tahu jika kepedulian Kevin lebih dari sekedar kepedulian terhadap sahabat, atau mungkin karena rasa bersalah. Lebih dari itu. Ada perasaan halus yang Naya lihat di mata pria itu untuk Rara. Walau Rara belum menyadari akan hal itu. Gadis itu masih terlihat cemas, meskipun akhirnya pria yang sudah melakukan hal buruk itu sudah tertangkap dan masuk penjara.
"Rara mana?" Kevin melangkah masuk. Diulurkannya kresek putih yang dibawanya dan ternyata berisi beberapa cemilan ringan.
"Ada tuh, lagi di kamar mandi." Naya menerima bungkusan itu lantas menaruhnya di atas meja depan TV. Seharian TV di apartement-nya menyala karena Rara sedang mendistraksi pikirannya dengan banyak drama korea.
"Udah makan Vin?" Naya beranjak ke dapur, membuka kulkas dan mengambil sebotol minuman kemasan untuk Kevin. Dari yang Naya lihat, pria itu pasti langsung datang dari kantor padahal hari ini ia lembur sampai malam. Kemeja putih pria itu tidak serapi pagi tadi. Dua kancing atasnya sudah tidak bertaut, dan lengannya sudah tergulung sampai siku. Meskipun raut wajah lelahnya juga jelas terlihat, Kevin masih tetap menyempatkan diri untuk datang menjenguk Rara.
"Udah tadi Nay. Take away." Jawab Kevin menerima botol minuman itu dari tangan Naya. Pria itu tampak merebahkan tubuhnya di badan sofa dan menenggak minumannya dengan tak begitu semangat.
Naya tersenyum, lantas duduk di single sofa samping Kevin.
"Kalau memang lagi capek enggak usah dipaksain Vin." Ujarnya kemudian. "Keadaan Rara udah membaik. Dia udah tidur nyenyak juga sekarang."
Kevin hanya mengangguk karena tiba-tiba Rara sudah muncul dari balik pintu kamar mandi. Melihat Kevin senyum tipisnya mengembang. Gadis itu lantas mendekat dan duduk di samping Kevin.
"Udah makan Ra?" Kevin menegakkan tubuhnya. Raut Lelah yang tadi tergantung di matanya tiba-tiba lenyap begitu saja. "Ini aku bawain cemilan sama coklat buat kamu."
Mendengar Kevin berceloteh Naya hanya tersenyum simpul sedang Rara hanya menatapnya heran.
"Vin, gue kan udah bilang kalau kesini nggak usah bawa apa-apa."
Kevin kembali menyandarkan tubuhnya yang terlihat Lelah di badan sofa.
"Udah biarin aja Ra. Tokonya searah sama apartement kalian." Ia menjawab dengan mata terpejam.
"Iya, tapi kan lo Cuma buang-buang uang kalau kayak begini Vin. Mana gue juga enggak habis kalau sebanyak ini." Rara mengalihkan pandangan pada plastic besar ynag masih teronggok di atas meja. "Mana yang kemarin lo bawain aja masih ada banyak."
"Makanya dimakan semuanya Ra."
"Iya tapi enggak usah bawa terus tiap hari!"
Naya mengusap tengkuknya, tiba-tiba dia hanya merasa sebagai penonton ketika dua orang di depannya terlibat diskuksi alot. Untung saja ketukan pintu berhasil membuat kedua orang di depannya ini berhenti bicara. Naya berdehem, dengan langkah perlahan ia berangsur menuju pintu.
"Lho….kok kamu?" Mata Naya membola. Aldi tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Sementara di depan TV, kembali suara beda argument itu bergaung di telinga Naya. Yang satu bersikeras ingin membawa oleh-oleh, yang satu bersikeras agar tak membawa apa-apa. Sebenarnya simple, jika Kevin membawanya dengan ikhlas, seharusnya Rara akan menerimanya dengan senang hati juga.
Aldi melongokkan kepalanya ke dalam pintu ketika mendengar suara Rara dan Kevin. Melihat dua orang yang tak dikenalnya, ia kembali ke posisi semulanya.
"Aku disuruh ngaterin ini Nay." Ia mengangkat plastic hitam yang dibawanya. Naya melipat tangannya di depan dada, lalu bersandar di kusen pintu. Menunggu Aldi menjelaskan barang yang dibawanya.
"Aku disini sebagai kurir Raga. Tadi di WA kamu bilang belum makan malam, dia cemas, tapi lagi lembur. So, aku yang kesini anter makanan." Senyum Aldi melebar.
Naya berdecak, namun tetap menerima bungkusan yang dibawa Aldi yang ternyata isinya adalah dua kotak pizza.
Awalnya Naya ingin mengajak Aldi masuk ke dalam. Namun ketika ia masih mendengar Rara dan Kevin masih membahas hal yang sama, niat itu diurungkannya. Aldi pasti tidak nyaman, apalagi ia belum mengenal Kevin dan Rara karena Aldi baru sekali datang ke apartementnya.
"Ngobrol di bawah aja yuk Al." Sepertinya Naya juga perlu memberi ruang pada Kevin dan Rara untuk saling ngobrol satu sama lain tanpa dirinya. "Kamu mau pizza-nya?"
Aldi menggeleng.
"Yadah tunggu sebentar."
Belum Aldi menjawab, Naya kembali ke depan TV dan menaruh dua kotak pizza itu di atas meja. Melihat Naya yang berdiri di depan mereka, Kevin dan Rara berhenti berdebat.
"Nih makan pizza-nya. Tapi jangan dihabisin ya, aku belum makan." Ia mengayun langkah meninggalkan kedua sahabatnya.
"Mau kemana Ra!" Seru Kevin ketika Naya hendak menutup pintu.
"Cari angin!"
*****
"Ngapain sih Nay, ngajakin aku kesini? Enggak ikhlas ya, aku mau minta kopi lho tadi padahal?"
Naya menoleh pada Aldi yang duduk di sampingnya. Mereka kini berada di taman depan apartement. Di depan mereka kolam renang terlihat berkilauan terkena cahaya lampu-lampu taman.
"Lho, kamu pengen kopi?"
"Ya jelaslah Nay. Jauh lho, jarak rumah aku ke apartement kamu." Aldi mendongakkan kepalanya lantas mengelus lehernya. "Mana disini anginnya kenceng lagi."
"Aduuuh….sorry Al. aku enggak maksud kayak begitu deh. Tadi Cuma pengen kasih kesempatan kedua temenku buat berdua'an aja." Wajah Naya tampak bersalah. "Di depan ada café. Apa kita ke sana aja? Kopinya lumayan enak kok." Naya beranjak dari duduknya tanpa menoleh pada Aldi. Ketika gadis itu hendak mengayunkan langkah, Aldi memanggilnya.
"Nay!"
Naya menoleh dan mendapati Aldi belum beranjak dari tempatnya.
"Iya?"
"Kamu emang enggak ada bakat bercanda gitu ya di hidup kamu?" Aldi menaikkan salah satu alisnya. "Aku Cuma bercanda Nay. Kamu duduk lagi aja deh."
Naya mendengus. Sebelum mendengar lanjutan kalimat Aldi, ia kembali duduk. Seperti posisinya tadi.
"Emang Raga enggak pernah ngajakin bercanda ya?" Aldi menoleh pada Naya yang tengah menatap lurus ke depan.
"Bercanda sih. Tapi enggak pernah bercanda masalah kopi."
Aldi terbahak. Ternyata pacar dari sepupunya ini lumayan polos juga.
"Terus kalian ngapain kalau berdua?" tanya Aldi lagi. "Oh aku tahu kalau—"
"Al!" Naya menoleh. Menatap Aldi dengan pandangan tidak suka.
"Sorry….sorry….." Aldi berusaha menyimpan tawanya. "By the way… dia sayang banget lho Nay sama kamu. Apa kamu beneran selalu nolak lamaran dia?"
Naya tidak menyahut.
"Dia frustasi berat tiap kamu nolak lamarannya."
Naya kembali belum menyahut. Ia menunduk. Menatap kolam renang dengan pandangan yang tak bisa ia jelaskan.
"Al…kamu udah pernah pacaran?" gumamnya kemudian.
Kini giliran Aldi yang tercengang.
"Memangnya kenapa?"
"Kamu pernah merasa tidak jika sangat mencintai seseorang tapi sulit memiliki karena sebuah perbedaan?"
Aldi menunduk, tiba-tiba ekspresi wajahnya juga berubah suram. Meskipun ia tak memiliki permasalahan hubungan tentang perbedaan, namun ia juga pernah merasakan yang Namanya putus asa tentang cinta. Dan itu menyakitkan.
"Nay, kalau kamu tidak mau menikah dengan dia karena dia pewaris sebuah perusahaan besar, sepertinya itu bukan sebuah masalah besar. Bukankah orangtuanya setuju jika kalian menikah?"
Naya menoleh. "Aku tahu. Tapi aku hanya—" Naya menjeda kalimatnya. "Akh, lupakan Al. sepertinya aku terlalu jauh menceritakan hal seperti ini padamu." Gadis itu menegakkan tubuhnya. Wajah sendu yang sempat terlihat di wajahnya sudah kembali berubah seperti biasanya.
Aldi tak menyahut. Hanya ekor matanya yang terus mengikuti Gerakan Naya.
"Nay….." panggil Aldi kemudian. "Pikirkanlah. Kalian sudah lama pacaran, dan bagi Raga tidak akan pernah ada gadis lain selain kamu."
Naya hanya mengangguk gamang, sebelum akhirnya melangkah meninggalkan Aldi sendirian.
******