Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku pada Raga, tentu saja aku akan menjawab bahwa aku mencintainya. Cinta tulus yang tak seperti orang-orang pikirkan ketika gadis miskin sepertiku jatuh cinta dengan pria sempurna seperti dia. Bahkan jika Raga yang kukenal bukanlah salah satu pewaris perusahaan ternama itu, aku akan tetapa mencintainya. Bahkan ketika Raga yang kukenal bukanlah pria yang selalu mengenakan stelan jas lengkap beserta dasi, aku akan tetap mencintainya dan bahkan jika Raga hanya menggunakan motor bebek tahun 90'an ketika menjemputku atau mengajakku jalan-jalan, aku juga akan tetap mencintainya. Mungkin juga, aku akan bersedia menikah ketika dia terus menerus mengungkapkan isi hatinya.
Tapi Raga-ku adalah pria sempurna. Ia bahkan tidak pernah bisa makan di emperan kaki lima, sebelum akhirnya dia mengenalku dan aku mengajarinya hal-hal sederhana. Dia rendah hati, mungkin itulah yang membuatku tetap bertahan padanya meskipun tak bisa menjanjikan apa-apa. Dia bahkan bisa mengakrabkan diri dengan ibuku, adikku dan bahkan suami adikku. Padahal aku sendiri merasa sangat kesulitan jika berhadapan dengan keluargaku. Jangankan bercanda, tertawa bersama saja adalah hal yang tak pernah ku lakukan.
"Nay…..Nay…." seseorang menggoyang-goyangkan lenganku.
Aku mendadak terkejut. Monolog di kepalaku mengabur dengan cepat. Aku lupa jika sekarang aku berada di rumah sakit, memegang piring berisi makanan untuk menyuapi Rara.
"Iya Ra, butuh apa?" tergopoh aku menyendok nasi berlauk ikan goreng itu.
"Bukan Nay, aku minta minum." Rara menatapku keheranan. "Kamu mikirin apa?"
"Akh…" aku tersenyum samar. Buru-buru ku ambil segelas air putih di atas nakas lalu memberikannya pada Rara. Ku tatap penuh makna ketika sahabatku itu tengah menenggak minumannya. Keadaan Rara sudah membaik, psikisnya juga sudah cukup stabil. Dia sudah tidak berteriak-teriak histeris lagi seperti awal-awal masuk rumah sakit dulu. Hanya saja, mungkin trauma itu masih tetap ada. Itu bagus, jadi dia tidak akan pernah menapakkan kaki di club lagi, minum-minum lalu pulang dengan pria yang tak ia kenal.
"Lagi makannya?" tanyaku setelah kembali meletakkan gelas air putih yang tadi dipegang Rara.
Rara menggeleng. "Cukup Nay, udah kenyang."
Aku mengangguk. Kuletakkan piring sisa nasi itu diatas nampan dn membereskannya agar nanti ketika pegawai rumah sakit datang, mereka tinggal mengambilnya.
"Kevin kemana Nay?" tanya Rara ketika aku membetulkan letak selimutnya. Kevin tadi memang pergi ketika Rara tertidur.
"Ketemu sama Raga Ra, masalah pria yang sudah buat kamu kayak begini. Sepertinya polisi sudah mulai menemukan keberadaan dia." Aku duduk di pinggir kasur, kuusap wajah Rara yang kini tampak sedikit tirus. Lebam-lebam yang beberapa hari ini tampak kehitaman, kini mulai memudar.
"Aku takut Nay." Gumam Rara pelan.
"Takut apa?"
"Jika pria itu menyebarkan video—"
"Ra." Aku meremas tangannya yang dingin. "Negara kita negara hukum. Dia akan mendapatkan hukuman yang lebih berat jika menyebarkan video itu pada orang lain, dan lagipula disini kamu adalah korban. Jadi kamu tenang aja ya?" aku berusaha meyakinkan, dan merasa sedikit lega ketika Rara menganggukkan kepalanya.
Aku kembali meminta Rara untuk istirahat, sementara aku membereskan kamar dan menembus obat ke apotik. Ketika aku kembali, Kevin sudah datang dan kini duduk di pinggir kasur. Aku melihat dari jauh betapa Kevin sangat protektif terhadap Rara. Entah itu karena perasaan bersalahnya, atau karena ada hal lain yang tersimpan di hati Kevin selama ini. sesekali aku melihat Kevin mengulurkan tangan, menyelipkan anak rambut Rara yang berantakan atau menyuapi jeruk untuk Rara. Diam-diam aku mengulum senyum, melihat kedekatan mereka, hatiku menghangat. Jikapun ada sesuatu di antara mereka, aku yakin kisahnya tak akan serumit diriku. Kevin pasti akan menerima Rara apa adanya, dan Rara pasti akan menjadi wanita paling bahagia jika menyadari itu semua.
Aku masih mematung di depan pintu ketika ponsel di dalam tasku bergetar.
Ibu memanggil…
Aku mengatur nafas, lantas menyingkir sebelum menerima telepon itu meskipun agak sedikit ragu.
"Halo bu…." Sapaku pelan.
"Nay….bisa pulang sekarang? Ada sesuatu yang mau ibu katakan."
*****
Meskipun jarak rumah ini dengan apartementku tidak terlalu jauh, aku bahkan jarang berkunjung jika memang tidak ada hal penting. Aku memang tidak bisa seperti anak-anak lain pada keluarganya yang saling berbagi perhatian dan bahkan kasih sayang. Mungkin karena sejak kecil, aku terbiasa hidup diacuhkan. Ibu bekerja serabutan, ayah penjudi. Di rumah hanya ada aku dan adikku yang berbagi masalah hidup berdua. Jikapun aku bisa kuliah, itu karena ada beasiswa gratis untuk anak orang tidak mampu, dan akulah orangnya.
Cukup lama aku termangu di depan rumah kecil di depanku ini. semenjak aku kecil hingga usiaku hampir tigapuluh tahun, belum ada perubahan berarti di rumah ini selain pohon mangganya yang bertambah tua dan lantainya yang kian kusam. Di rumah ini aku tinggal semenjak bayi, dan di rumah ini pula aku merekam semua ingatanku tentang keluargaku yang jauh dari kata harmonis.
"Nay, udah datang." Seorang wanita paruh baya muncul di depan pintu sambil menggendong seorang anak laki-laki berusia enam bulanan. Rambutnya digelung sedikit acak-acakan, tubuhnya kurus dan wajahnya berkeriput. Dialah ibuku, wanita yang sebenarnya amat kukasihani namun sering membuatku putus asa.
"Ayo masuk." Ibu melambai, dan aku hanya mengangguk. Mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Di rumah ada Ayu—adikku yang sedang sibuk di dapur Bersama suaminya. Katanya beberapa waktu yang lalu, ia sekarang punya pekerjaan membuat beberapa jajanan tradisional untuk dititipkan di warung-warung dan pasar. Meskipun tidak menghasilkan pendapatan besar, namun cukuplah untuk membantu biaya rumah dan membeli susu anak mereka.
"Hai mbak…." Tomi—suami Ayu menyapaku dan kubalas dengan senyuman.
"Kalian buat apa?" aku meletakkan bungkusan plastic berisi jeruk dan biscuit, susu bayi, MP-Asi serta diapers di atas meja. Kebutuhan ekonomi Ayu dan Tomi yang sulit membuatku kasihan dengan Visko dan sering mmebawakan bocah itu kebutuhan hariannya tanpa Ayu minta.
"Hari ini dapet pesenan donat mbak." Ayu yang menjawab. Tangannya begitu tangkas menguleni adonan itu. "Eh, mbak bawa apa?" tanyanya kemudian ketika matanya beralih ke atas meja. Mungkin dia melihat ujung kotak susuk yang kubawa. "Enggak usah bawa-bawa kayak begituan mbak."
"Biarin lah Yu, kan pacarnya kaya." Ibu tiba-tiba menyela. Tangannya sibuk memberikan mainan karet untuk Visko.
Aku mendengus. Tidak menyukai kalimat ibuku.
"Biarpun dia kaya, tapi aku enggak pernah minta apapun dari dia apalagi kebutuhan buat Visco." Aku berusaha menjawab setenang mungkin meskipun htiku bergejolak. Kuambil Visco dari gendong ibu dan memangkunya. Sejujurnya aku amat menyukai anak kecil, apalagi bocah berkulit putih bertubuh tambun mirip Visco ini.
"Kamu sih enggak pernah mau minta." Ibu menggeser kursi hingga akhirnya kami berhadapan.
Aku tak menjawab. Pura-pura sibuk dengan Visco. Salah satu hal yang membuatku malas pulang adalah hal seperti ini, aku paling malas ibu membahas tentang Raga apalagi kekayaannya. Seolah ibu yakin jika aku juga akan membawa perubahan berarti di hidup keluarga kami jika aku menikah dengan Raga.
"Ibu mau ngomong apa, nyuruh aku datang kemari?" aku membuka suara.
Ibu belum menjawab. Kulihat Ibu, Ayu dan Tomi saling pandang sebelum akhirnya Tomi dan Ayu kembali pada pekerjaan mereka dan pura-pura tidak peduli.
Ibu berdehem. "Begini Nay…." Gumamnya. "Kemarin pemberi pinjaman itu kembali kesini dan menyuruh ibu untuk melunasi hutang ayahmu." Ibu menunduk, bicara dengan takut-takut.
Aku menghela nafass gusar. Kulemparkan pandanganku ke sembarang arah. Aku tidak mengerti dengan hidup orangtuaku. Ibu yang begitu mencintai dan mempercayai ayah harus menanggung semua hutang yang ayah tinggalkan.
"Suruh ayah sendiri yang membayarnya ibu!" Suaraku meninggi dan otomatis membuat Visco tersentak dan menangis histeris. Cepat-cepat Ayu mengambil alih Visco dariku dan mengajaknya keluar dari dapur. Ada sedikit perasaan bersalahku pada bayi itu, namun aku reflek. Aku selalu naik pitam jika mendengar semua hal yang berhubungan dengan ayah. Apalagi hutang-hutangnya yang harus dibayar ibu.
"Ibu bahkan tidak tahu ayahmu dimana." Ibu meremas tangannya.
Aku menggigit bibir. Ayah sempat di penjara beberapa tahun yang lalu karena berjudi. Sayangnya ia meninggalkan semua hutang atas nama ibu. Dua tahun dalam penjara, ibu dan ayah bercerai dan setelah keluar kami bahkan tidak tahu ayah pergi kemana. Tapi yang paling aku benci adalah, kenapa dia yang tidak pernah membahagiakan keluarga harus meninggalkan hutang yang seakan tak ada habisnya dan harus kami sekeluarga yang menanggungnya.
"Ibu butuh berapa juta?" suaraku melunak.
"Lima puluh juta."
Aku mengusap wajah frustasi. Harus mencari uang darimana sebanyak itu? Bahkan tabunganku saja tidak sampai sebanyak itu.
"Ibu aku tidak punya uang sebanyak itu."
Ibu mencondongkan tubuhnya ke arahku, dengan pasti diremasnya tanganku dengan penuh harap.
"Mintalah bantuan Raga." Pintanya pelan. Matanya menatapku penuh harap.
"Tidak." Aku menarik tanganku dan menegakkan tubuhku. "Aku tidak bisa minta pada dia. Aku tidak mau memanfaatkan dia hanya untuk melunasi hutang ayah. Tidak bu!"
"Nay, tidak ada salahnya bukan minta dia? Bahkan dia akan memberimu lebih dari itu jika kamu minta."
"Makanya aku tidak pernah ingin minta apapun sama dia bu." Tolakku. "Ibu, kita orang tidak punya. Tapi aku harap kita tidak menggantungkan hidup pda orang lain bahkan Raga."
"Raga bukan orang lain Nay. Dia calon suami kamu."
"Siapa bilang bu? Aku bahkan tidak akan menikah!" Sahutku ketus yang sanggup membuat mata ibuku membola karena terkejut.
Aku menunduk, menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Kepalaku tiba-tiba berdenyut hebat, merasakan tekanan hidupku yang semakin berat.
"Bu." Aku menegakkan tubuhku setelah beberapa saat membisu. "Aku tidak akan pernah menikah dengan Raga jika pernikahan kami hanya akan keluarga kita jadikan tumbal untuk membayar hutang."
Aku menyelempangkan tasku. "Dan untuk masalah ini, aku akan cari jalan keluarnya bu. Tapi tidak dengan minta bantuan Raga." Aku lantas menganyunkan langkah, meninggalkan ibuku yang yang masih tercenung di kursi dapur.