Chereads / Ambiguous Love / Chapter 4 - Sebuah Mimpi Tentang Pernikahan

Chapter 4 - Sebuah Mimpi Tentang Pernikahan

Aku begitu tak menyukai laki-laki yang suka main kekerasan secara fisik pada seorang perempuan. Menurutku, mereka pengecut. Sama seperti yang dilakukan ayah pada ibuku di masa lalu. Maka dari itu, ketika melihat wajah Rara yang babak belur karena seorang lelaki yang mengidap sadomasokis, darahku mendidih. Ingin rasanya aku menjebloskan lelaki itu ke dalam penjara saat ini juga.

"Gimana keadaan Rara?" Kevin menyambutku ketika aku baru saja membuka kamar rawat inap Rara. Dibelakangnya Raga mengikuti. Dia memang sempat kuberi tahu tadi mengenai keadaan Rara, dan tak jauh beda dengan Kevin, kekasihku itu juga sangat terkejut.

Aku menutup pintu perlahan karena Rara baru saja tertidur. Kutarik langkahku menuju kursi panjang dan duduk di sana dengan pandangan hampa.

"Dia mengalami sesuatu yang berat semalam." Sebutir air mataku menetes mengingat seluruh luka-luka itu di tubuh Rara.

Raga beranjak duduk di sampingku lalu memelukku tanpa banyak bicara. Dia mungkin tahu apa yang kurasakan saat ini. tujuh tahun bersamaku, dia sudah kuberitahu tentang traumaku pada sosok ayahku.

Kevin mengusap wajahnya perlahan, ada sebentuk penyesalan yang muncul dari wajahnya.

"Semalam kamu kemana Vin, kok sampai enggak tahu Rara bawa psikopat macam itu ke rumah." Aku mendongakkan wajahku, memandang tubuh tingginya yang berdiri di depanku. "Kamu tahu, sekarang dia trauma." Sejam yang lalu Rara memang sempat tertidur, namun tiba-tiba berteriak dan menangis histeris.

"Semalam aku ketemu sama kenalanku Nay, dia ngajak aku keluar dari club. Dan setelah itu aku sama sekali enggak tahu gimana Rara." dia menjatuhkan tubuhnya di sampingku. "Akh, aku merasa bersalah sama dia."

Aku tak menjawab, kami bertiga sama-sama diam. Larut dalam pikiran dan rasa bersalah kami masing-masing.

"Gimana acara kamu hari ini?" Aku menoleh pada Raga yang sejak tadi diam di sampingku.

"Pas kamu telepon tadi, pas acaranya selesai."

"Syukurlah. Aku kira kamu membatalkan acara pentingmu hanya karena teleponku."

Raga mengulas senyum, lalu mengelus rambutku. "Tidak. Kamu tenang saja."

Aku tersenyum samar. Dalam hati begitu beruntung mendapatkan lelaki sebaik dan selembut Raga. Meskipun aku belum pernah menjanjikan sebuah pernikahan yang diinginkannya, namun aku salut dia selalu ada disampingku bagaimanapun keadaanku. Selama kami pacaran, dia tidak pernah sedikitpun menyakitiku apalagi melakukan hal-hal tidak logis ketika kami bercinta. Meskipun dia selalu mendominasi, namun dia selalu bermain dengan lembut. Dan aku sangat menyukai itu.

Diam-diam, kusandarkan kepalaku di bahunya. Rasanya nyaman sekali.

"Bagaimana, apa lo sudah mendapatkan info tentang laki-laki yang semalam dibawa pulang Rara?" Kevin membuka suara.

"Belum." Gelengku. Aku sama sekali belum menemukan titik terang tentang identitas psikopat itu. Rencananya aku akan menghubungi security di apartement kami untuk membuka CCTV nanti malam, karena Rara tetap diam seribu Bahasa ketika aku mulai bertanya tentang kejadian itu. Aku maklum, dia masih terpukul dan trauma. Menunggu dia lebih baik adalah jalan terbaik saat ini.

"Ga, kamu bisa bantu kami 'kan?" Kevin mengalihkan pandangannya dari Raga. "Koneksi kamu banyak, aku harap kita bisa segera menemukan bajingan itu."

"Tentu. Aku akan minta tolong salah satu asistenku."

Aku menatap Kevin, memberi isyarat dengan mataku agar ia tidak melibatkan Raga dalam masalah ini. namun pria itu sepertinya tidak setuju dengan pendapatku.

"Nay, please ijinin Raga untuk bantuin kita." Mohon Kevin. "Dalam hal ini, kita harus cepat menemukan pria itu sebelum dia berhasil kabur."

Aku membisu.

"Nay…." Raga menarik kedua lenganku untuk menghadap ke arahnya. "Untuk kali ini, biarkan aku membantu Rara. Kamu juga pengen kan semuanya cepet selesai dan pria sialan itu segera ditangkap?"

Aku berfikir sejenak. Mungkin memang tidak ada salahnya dengan melibatkan Raga untuk mendapatkan kemudahan kami dalam mencari psikopat itu. Lebih cepat lebih baik.

"Baiklah." Sahutku masih dengan nada yang gamang.

Raga tersenyum samar. Kulihat wajahnya begitu lega mendengar persetujuanku. Kami kembali larut dalam hening, ketika terdengar suara teriakan dari dalam kamar dan itu adalah suara Rara.

Kami berlari membuka pintu, dan mendapati gadis itu histeris dengan mata terpejam. Aku menggugu, kupeluk tubuh Raga dengan erat. Sedangkan Kevin berusaha meraih tubuh Rara, memeluknya dengan kasih sayang yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Semenit, dua menit akhirnya tubuh Rara yang tegang dan bergejolak akhirnya kembali lemas. Dia menangis terisak di pelukan Kevin. Selama bersahabat dengan Rara, baru kali ini aku benar-benar melihat gadis itu begitu rapuh. Rara adalah sosok yang gembira, tak pernah memikirkan apapun dalam hidupnya dan menganggap semua yang terjadi dalam hidupnya bukanlah sebuah beban. Berbeda dengan diriku, yang kelihatannya biasa saja namun ada sepikul beban berat yang mengurung diriku untuk tak melakukan apa yang sebenarnya aku mau. Untuk melangkah penuh percaya diri dan menerima takdir yang diberikan padaku. Aku sadar bahwa aku hanya jalan di tempat. Tapi meskipun begitu, aku nyaman dengan keadaan ini.

"Nay, kamu pulang aja. Biar aku yang jagain Rara di sini." Kevin menoleh ke arahku, sementara Rara masih terisak di tempat tidurnya. "Kondisimu juga tidak memungkinkan untuk berada di sini sendirian."

Aku tak menyahut. Perkataan Kevin ada benarnya, jika nanti malam Rara kembali histeris, aku juga tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Lagipula, aku juga perlu pulang untuk membereskan kekacauan di di apartement.

Aku mengangguk. "Baiklah." Sahutku. "Aku harap kamu menjaga Rara dengan baik."

"Tentu saja." gumamnya. Ia mengelus pucuk rambut Rara dengan lembut.

"Kamu aman sama aku Ra." Bisiknya yang kudengar lamat-lamat. Meskipun tidak yakin, namun perasaanku menjadi tenang.

Setelah memastikan Rara kembali nyaman, aku akhirnya beranjak dari rumah sakit. Hari sudah menjelang sore, jalanan Jakarta mulai padat merayap karena bertepatan dengan orang-orang yang baru saja menghabsikan minggunya di tempat rekreasi dan bahkan di puncak.

Aku membuang pandang ke luar jendela. Mobil-mobil macet ini sebenarnya bukan pemandangan yang indah bagiku. Namun, aku tidak punya pilihan lain. Karena terkadang, kita memang harus menerima apa yang sudah Tuhan berikan untuk kita, bahkan sesuatu yang tak kita mau sekalipun.

"Kamu mikirin apa Nay?" Raga meremas jemariku. Terasa hangat di sana, dan aku nyaman. Sebuah kenyamanan yang aku yakin akan memudar seiring waktu. Menyisakan perih untukku dan kecewa untuknya.

"Apa kamu mencintaimu Ga?" Desisku pelan tanpa menoleh ke arahnya.

Kudengar ia tertawa kecil. "Nay, kalau aku tidak mencintaimu, mana mungkin aku bertahan selama ini bersamamu?"

Kali ini aku menoleh. Dia menatapku dengan lembut, yang membuat mataku berkaca-kaca. Sejak dua tahun lalu, dia terus melamarku, dan sejak dua tahun lalu pula aku tidak pernah menjawab 'iya' ataupun menolak. Aku menggatung lamarannya dengan caraku sendiri. hubungan yang tidak pernah menjanjikan sebuah pernikahan adalah sesuatu yang menyakitkan. Aku tahu itu. Mungkin Raga masih bertahan denganku karena dia berharap suatu hari nanti dia akan mendapatkan jawaban dari lamarannya.

Mungkin aku memang egois. Di satu sisi, aku tak bisa meninggalkannya karena teramat mencintainya. Namun di sisi lain, aku tak bisa menikah karena keadaan kami yang berbeda. Bagaimana jika seorang pria hebat seperti Raga, pewaris kekayaan orangtuanya akan menikah dengan gadis sepertiku yang miskin, dan tidak punya apa-apa? Jika Raga memiliki keluarga yang Bahagia, tidak denganku. Aku menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi ibuku bahkan adikku yang sudah menikah pun tak jarang meminta uang dariku. Bagaimana aku bisa menikahinya jika kami jauh berbeda seperti bumi dan langit.

Banyak yang mendorongku agar menikahinya. Agar aku terbebas dari hutang dan beban hidupku. Tapi bukankah aku seperti sedang memanfaatkan kekayaan Raga jika melakukan hal seperti itu?

"Ga, untung saat ini jangan tinggalin aku ya? Aku butuh kamu." Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya.

Dia mengencup pucuk kepalaku.

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu Nay, karena aku mencintaimu." Ujarnya.

Aku menggigit bibir. Apa dia tetap akan mengatakan kalimat seperti ini ketika aku menolak lamarannya nanti?

*******