Chereads / Ambiguous Love / Chapter 3 - Sahabatku yang Malang

Chapter 3 - Sahabatku yang Malang

Aku mengeratkan tanganku di pinggang Raga ketika angin malam yang dingin menembus kulitku yang hanya berbalut kaos panjang tipis miliknya. Kami sedang menikmati teh hangat kami di loteng setelah apa yang baru saja kami lakukan. Menyaksikan gemerlap lampu kota dan puluhan mobil yang melintas di jalan.

"Bagaimana bisnis di Singapura?" aku membuka pembicaraan. Meskipun aslinya aku tak tertarik, namun aku perlu bertanya tentang kegiatan pacarku selama seminggu mengurus bisnis di sana.

Raga mencecap tehnya sebelum menjawab pertanyaanku.

"Baik." Jawabnya lugas. Salah satu tangannya masih mengelus rambutku yang masih setengah basah. " pihak investor menerima dengan baik proyek yang aku rencanakan."

"Syukurlah…." Sahutku lega. Pasalnya Raga sudah hampir sebulan begadang hanya untuk mempersiapkan presentasinya di Singapura kemarin.

"Nay….." Raga memelukku, membimbing kepalaku untuk bersandar di dadanya yang datar dan aku menurut. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu.

"Mau ngomong apa?" Aku menciumi aroma tubuhnya yang khas. Oh Tuhan, aku bahkan tergila-gila padanya hanya karena mencium aromanya saja. Raga memiliki wangi yang khas, perpaduan antara keringat dan parfumnya yang tak pernah ganti semenjak kami kuliah dulu.

"Gimana kalau kamu pindah ke perusahaan aku aja? Aku lagi butuh accounting baru, dan sampai sekarang belum nemu."

Aku belum menjawab, masih berusaha tetap tenang dengan posisiku saat ini. entah sudah berapa kali Raga memintaku untuk bekerja di perusahaannya, namun berkali-kali pula aku menolak. Aku hanya tidak mau bekerja karena koneksi, bagaimanapun juga aku merasa punya tanggungjawab besar dengan hal itu. Aku sudah terima dengan sebuah pekerjaan yang aku dapat dengan usahaku sendiri, seperti sekarang meskipun bukan jabatan yang hebat dan gajinya yang lumayan pas-pasan.

"Kamu mau gaji aku berapa?" gurauku dengan memeluk pinggangnya erat.

"Berapapun yang kamu mau."

Aku mendengus, menengadahkan wajahku.

"Ga, aku sudah nyaman dengan pekerjaanku sekarang." Sahutku kemudian. "Pekerjaanku, teman-teman kantorku dan semuanya. Lagipula apa kata orang nanti kalau ternyata karyawan baru yang direkrut direkturnya adalah kekasihnya sendiri. mereka akan jelas-jelas menilai pekerjaanku dengan sangat detail, berusaha mencari celahku dan akhirnya menggunjingkanku di belakang."

"Kamu masih peduli sama omongan orang?"

Aku tak menyahut. Tak ingin larut dengan perdebatan ini sekarang. Aku begitu merindukannya, dan aku rasa berdebat hanya akan mengurangi keintiman kami malam ini.

"Ga…." Aku menegakkan tubuhku. "Please, kamu cari karyawan lain aja ya? Aku Cuma tidak ingin karyawanmu yang lain dan bahkan keluargamu berfikir macam-macam tentangmu. Mengerti?"

Raga menghela nafas pelan, aku tahu dia tidak suka dengan keputusanku. Namun dia tahu jika percuma saja memintaku ketika aku sudah mengatakan tidak. Aku memang keras kepala, tapi menurutku itu wajar untuk mempertahankan prinsip yang aku jaga selama ini.

"Baiklah….aku memang tidak pernah menang melawanmu." Sindirnya.

Aku tertawa mendengarnya merajuk.

"Siapa bilang?" aku mencium pipinya lembut. "Kamu selalu menang jika melawanku di ranjang." Kedikku. "Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi? Malam masih panjang dan sayang kalau hanya kita gunakan buat tidur."

Dia menatapku dan tertawa. Galau yang sempat terlihat di wajahnya memudar perlahan.

"Baiklah." Dia bangkit dari kursinya dan menggendongku ala bridal style. "Aku akan membuatmu banyak menjerit malam ini." dan dia menjatuhkan tubuhku di kasur.

******

Minggu pagi, aku baru kembali ke apartement. Seharusnya aku kembali sore, dan menghabiskan sehari full Bersama Raga dengan bersenang-senang, namun karena tiba-tiba pagi ini sekertarisnya mengabari bahwa ada salah satu klien penting yang mengajaknya bermain golf, akhirnya aku merelakan kekasihku untuk menunaikan tugasnya sementara aku pulang ke apartementku sendiri.

Hal pertama yang kujumpai ketika pertama kali membuka pintu apartement adalah ruang tamu yang begitu kacau. Aku mendegkus, tak mengira jika Rara bisa seliar ini ketika tidak ada aku di rumah. Entah pria mana lagi yang berhasil membuat ruang tamu kami mirip kapal pecah seperti ini, namun aku benar-benar kesal kenapa mereka tidak membersihkannya setelah membuatnya hancur.

"Ra!" Panggilku. Kuletakkan tasku diatas meja dan berjalan mengitari ruang tamu.

"Rara!" panggilku sekali lagi, namun tak ada sahutan dan aku mulai curiga.

Alisku berkerut ketika melihat pintu kamar Rara yang hanya menutup sebagian. Tak lama kemudian, kudengar suara isakan tangis yang semakin jelas. Tak menunggu lama, aku langsung berlari mendorong pintu dan menemukan Rara tengah duduk di lantai sambil memeluk lutut. Keadaan kamarnya juga tak jauh beda dengan ruang tamu tadi. tapi bukan itu yang mencengangkan, kau begitu terkejut ketika melihat tampang Rara yang awut-awutan, lengan yang lebam membiru, sudut bibir berdarah dan matanya yang bengkak dan menghitam seperti bekas kena tonjok.

"Ra, kamu kenapa?!" aku menghambur jongkok di depannya, namun bukannya menjawab gadis itu justru semakin terisak.

"Jelasin Ra, kamu kenapa?" Aku menangkup pipinya dan menarik pelan wajahnya agar menghadap ke arahku. Dari dekat wajahnya semakin memprihatinkan.

"Kenapa?!" aku benar-benar bingung. Mungkinkah ada pencuri atau perampok yang datang? Tapi mustahil, mereka mencari apa di sebuah apartement milik dua wanita single yang tak punya apa-apa. Lagipula meskipun apartement kecil, di depan sana ada security yang selalu berjaga duapuluh empat jam penuh.

"Aku…..aku….."Sahut Rara disela-sela isakan. "Aku dipukuli oleh teman kencanku semalam."

"Apa?!" mataku membola.

"Ternyata dia seorang sadomasokis Nay…."

Pundakku merosot, dengan tatapan penuh keprihatinan aku peluk Rara dengan hangat. Meskipun air mataku tidak bisa keluar, namun percayalah hatiku seperti dicabik-cabik puluhan belati. Ada sebuah sesak yang membuat darahku mendidih tiba-tiba. Kenapa selalu saja ada pria yang suka menyakiti wanita, meskipun denan cara yang berbeda-beda.

"Terus dia dimana?" tanyaku setelah sekian lama bungkam.

"Pergi."

"Udah lapor polisi?" tanyaku.

Rara diam saja.

"Kita harus lapor polisi Ra." Sahutku kemudian ketika Rara tidak menjawab pertanyaanku.

"Jangan!" gelengnya tegas. "Dia mengancam akan menyebarkan video bercinta kami kalau aku lapor polisi."

"Jadi dia juga ambil video kalian waktu….." aku berdecak. Sebuah umpatan tiba-tiba keluar dari mulutku tanpa terkendali. "BANGSAT!"

"Ra, kita harus lapor po—" Aku bersiap mengambil ponsel di saku blazerku ketika tangan Rara mencekal lenganku.

"Jangan Nay, please!" dia menatapku penuh permohonan.

Aku menghela nafas pelan. Apapun yang terjadi, aku harus lapor polisi, namun nanti ketika Rara sudah tenang. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah membawanya ke rumah sakit untuk mengobati lukanya, dan aku perlu bantuan Kevin untuk ini.

"Kalau gitu kita ke rumah sakit ya Ra?" suaraku melunak, namun dalam hati sudah menyusun rencana untuk memberitahu Kevin dan memecahkan masalah ini sama-sama.

Rara mengangguk. Aku membimbingnya keluar kamar dan menyuruhnya untuk duduk di sofa selama aku ganti baju. Dalam perjalanan menuju lobi, aku sempat menelpon taxi.

*****