Juna turun dari bus dengan tergesa, membuat kakinya salah bertumpu. Alhasil, pergelangan kaki Juna sedikit terkilir. Juna mengaduh kesakitan, tapi tak ada yang menghiraukannya. Halte bus sangat sepi, mungkin karena ini sudah jam kerja. Ah iya, Juna melupakan sesuatu. Ia harus segera mencapai sekolah.
Jakarta memang benar-benar beda. Juna terbiasa berangkat ke sekolah di jam yang mepet dengan waktu bel masuk berbunyi. Ini adalah hari pertamanya sekolah sejak datang ke Jakarta beberapa minggu yang lalu.
Juna tidak tahu takdir semacam apa lagi yang akan menantinya di depan.
Juna berlari sekuat tenaga, mengabaikan kakinya yang masih terasa ngilu. Dari arah belakang, seorang remaja pria lain juga tengah berlari. Seragamnya sama seperti yang dipakai Juna saat ini. Remaja tadi berlari mendahului Juna.
Juna memperhatikan remaja tersebut. Wajahnya terlihat familiar, tapi tidak mungkin. Junabaru pertama kali ke kota ini. Mana mungkin ia mengenal seseorang.
Terlihat remaja pria tadi memohon pada penjaga gerbang untuk dibukakan pintu. Sial! Juna terlambat di hari pertama masuk sekolah. Ia kembali berlari dan berdiri di belakang kerumunan murid yang terlambat lainnya.
"Pak Sugeng! Tolong bukakan gerbangnya!"
Ya, seperti itulah rengek mereka pada penjaga gerbang sekolah dan seorang guru yang berada di sana.
Sang guru terlihat marah, ia membentak kerumunan murid yang terlambat tadi. Juna hanya bisa mematung mendengar percakapan mereka.
Juna melihat berkeliling. Ia mencari remaja yang berpapasan dengannya tadi. Namun, tiba-tiba ada yang menarik lengan Juna dan mengajaknya berlari. Juna tertegun sejenak, sebelum akhirnya ia terpaksa mengikuti tarikan tangan sosok tadi.
Cukup jauh mereka berlari, dan kini mereka telah sampai di dekat tembok besar. Juna tak berucap apa pun sejak tadi. Ia rasa remaja yang menariknya pasti tak ingin berinteraksi dengannya.
"Hosh, hosh ... aku tahu kau berasal dari kota lain, 'kan?" ucap sosok yang menarik tangan Juna tadi. Ia merunduk sembari mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan.
"Eh? Kok kamu tahu?" tanya Juna. Ia mengamati remaja di hadapannya itu dari ujung kaki hingga ujung rambut. Remaja itu berkulit putih, bermata sayu, rambutnya cokelat tua.
Remaja tadi mengangkat wajahnya. Ia tersenyum ke arah Juna.
"Iya, soalnya kelihatan banget dari penampilanmu yang enggak banget itu!"
Juna mengernyit. "Memangnya, kenapa dengan penampilanku?" tanya Juna, dengan polosnya. Dia memasang topeng remaja lugu. Mana mungkin ada yang tahu jika remaja ini pernah melenyapkan seseorang yang hendak melecehkannya.
"Iya, kau terlihat seperti anak desa yang baru datang ke ibu kota," ucap remaja itu.
Juna langsung tersenyum mendengarnya. Sepertinya, penyamarannya berhasil. Dia bukannya datang dari desa, melainkan dia datang dari neraka. Batin Juna, hiperbolis.
"Ooh ... memangnya aku terlihat sekampungan itu, ya? Padahal, tempatku berasal itu kota metropolitan juga lho." Juna berucap. Dia masih saja memasang wajah polos.
Remaja tadi menepuk pundak kiri Juna. "Naiklah! Setelah di atas, bantu aku naik juga!" ucapnya.
Juna mengernyit. Apa ia tak salah dengar? Remaja yang baru ia temui itu hendak membantunya melewati tembok pembatas ini? Bahkan ia belum sempat bertanya nama dia. Ah, pria yang baik.
Juna tak menyia-nyiakan kesempatan. Yang terpenting adalah sampai di gedung yang berada di balik tembok tinggi ini. Ia tak ingin mencoreng nama baik ayah angkat, yang sudah mengadopsinya.
Juna menginjakkan kaki kanannya ke paha remaja tadi, diikuti kaki kiri yang naik ke bahu remaja tadi. Setelah bersusah payah mengorbankan paha dan bahu remaja tadi, akhirnya Juna berhasil naik ke atas. Ia mengulurkan tangannya. "Naiklah juga!"
Remaja yang masih berada di bawah tersenyum ramah. Ia meraih uluran tangan Juna dan naik dengan mudah. Sepertinya, ia sering melakukan aksi ini sebelumnya.
Bersambung ....