Di bawah langit ada bumi.
Bumi bagai emas dan langitnya yang biru terkadang menurunkan hujan adalah sesuatu yang dimiliki oleh negeri ini. Burung berkicau dan bernyanyi.
Jalan berliku membuka jalannya pada Tirta untuk bisa mengikuti Mahila yang sebenarnya risih. Awan-awan di atas gunung bahkan bisa mendengar keluhan Mahila yang terang-terangan.
"Aku tidak suka padamu!" kata Mahila untuk kesekian kalinya. "Kepalamu sudah baik-baik saja, 'kan? Sana, jangan ikuti aku!"
Meski tegas, masih bisa Tirta nilai bahwa suara gadis ini sangatlah cocok jika membisikkan mesra namanya dengan merdu. Pikirannya sudah jauh, padahal si gadis saja terlihat enggan.
"Tegakah Nyisanak pada saya yang tak tahu arah jalan?"
Mahila melihat sekelilingnya. Sudah jauh dari kedai teh, hanya ada tanah yang mati dalam selimut salju sepanjang ia memandang.
Gadis yang dikenal dengan penyayang makhluk hidup itu, merasa iba. Sudah menjadi sifatnya yang tidak tegaan pada seluruh makhluk hidup, bahkan musuh sekalipun. Lagipula, sepertinya pemuda itu baru berada di daerah Celbon ini.
"Baiklah, kau boleh ikut." Mahila memutuskan menggunakan hatinya. "Sebelum itu, beritahu aku namamu."
Senyuman nakal Tirta berikan sembari menyebutkan namanya.
"Tirta Darmawangsa!"
Kemudian, disambut Mahila dengan menyebutkan namanya pula, seraya tersenyum ramah.
Sejak itu ada api yang menyala dalam hati Tirtam Pemuda itu belum tahu api yang ada di hatinya. Api semangat atau api asmara, keduanya terasa sama.
Entah pengaruh apa yang telah ditimbulkan musim ini, tetapi yang pasti pandangan Tirta tidak dapat lepas dari wajah Mahila.
Tak ada siapa pun di sekitar mereka. Hanya mereka berdua yang berjalan, dan satu perasaan yang masih dirasakan oleh Tirta saja.
Jalan-jalan yang tertutup bulir embun dari atas langit memperlama perjalanan mereka karena harus mencari jalan yang lapang agar baju mereka tidak basah, membuat Tirta bersyukur bisa berlama-lama dengan gadis manis berkulit putih dan berbulu mata lentik serta memiliki paras yang manis walaupun tanpa polesan.
"Kenapa kau tidak waspada? Bisa saja aku orang jahat, Dinda Mahila." Tirta berucap.
Mahila tersenyum jemawa. Ilmu bela diri Mahila adalah yang terbaik di wilayah Javanka kalangan perempuan. Sudah banyak musuh yang ia taklukkan. Dia juga percaya, barang siapa yang berjalan pada kebenaran adalah dia yang akan ditolong oleh semesta.
"Kau baru saja mengaku kalau kau bukan orang baik. Menurut pemikiranku, begitu."
Tirta menyeringai sambil mengeluarkan pedangnya dan menguhunusnya di depan Mahila. "Ambil pedang ini! Bunuh aku jika aku berniat buruk padamu,"
Mahila terperangah. Dalam sekejap ia merasa seperti gadis yang mudah dirayu karena kalimat yang Tirta ujarkan membuatnya goyah. Ia mulai merasakan getaran-getaran aneh dalam hatinya. Dia gadis lugu yang tidak memahami getaran yang diisyaratkan tubuhnya.
Ragu-ragu ia mengambil pedang dari tangan Tirta. "Aku ... aku tidak butuh pedang jelek ini!" katanya mengembalikan senjata tajam itu pada pemiliknya.
"Aku juga punya, dan lebih baik kurasa. Aku hanya akan membunuhmu dengan pedangku saja."
"Kau baik sekali, tidak mau menghina orang lain. Jadilah ratu, Dinda Mahila. Menjadi pendekar terlalu keras untuk hati selembut dirimu."
Dibunuh dengan pedang milik sendiri oleh musuh adalah penghinaan paling besar di atas bumi ini, dan mereka berdua tahu hal itu.
"Raja mana yang akan meminangku?" balas Mahila sambil tertawa kecil.
"Raja hatimu. Setiap perempuan adalah ratu dari prianya."
Kalimat yang Tirta ucapkan menjadi akhir dari dialog mereka. Bukan karena kalimat Tirta, tetapi karena pandangan mata Tirta yang membuat Mahila bungkam.
Katanya, mata adalah anggota tubuh yang takkan pernah bisa berbohong. Mata adalah pengganti hati yang tak berdaya ketika lidah melancarkan aksi kebohongan.
Bersambung ....