"Tidak tahu kenapa, aku merasa kalau kau terus memandangiku. Apa gerangan yang membuatmu demikian, Kisanak?" Mahila menghentikan langkahnya.
Tirta juga berbuat hal yang sama.
"Tidak ada kumbang yang tahan dengan bunga. Entah itu karena nektar atau keindahannya. Maafkan kelancanganku, Mahila."
Pipi Mahila bersemu, samar merahnya layaknya bunga mawar. Embusan angin yang wangi datang menyerbak mengharumkan udara dengan aroma bunga. Hingga tanpa sadar Tirta menangkup kepala Mahila untuk direbahkanya pada dada bidangnya. Anehnya, Mahila tidak menolak. Ia ikut dalam gelombang menyenangkan yang Tirta ciptakan.
Jika mendengar dengan saksama irama saat ini, maka ada dua kehidupan dan dunia impian di tempat ini. Pandangan dua manik 'yin yang' itu memancarkan sinar magis yang tak bisa dimengerti oleh kebanyakan orang.
Asap yang tebal mulai tersingkap, kabut pun memudar, cahaya nirwana telah mengelilingi mereka. Tak hanya itu, mereka juga menemukan seratus alasan untuk cinta. Bintang-bintang keluar dan membuat malam menjadi gemerlap.
"Aku menyukaimu ketika kulihat engkau di kedai teh waktu itu. Kemudian aku mulai tertarik saat kau menyerangku hingga kepalaku terluka. Dan pada akhirnya aku mencintaimu karena masa berbulan-bulan yang kita habiskan bersama," tutur Tirta.
"Aku menerima," tanggap Mahila.
Satu kalimat dari Mahila membuat darah di sekujur tubuh Tirta berdesir seperti Mahila ketika Tirta mengutarakan perasaannya tadi.
Sayang sekali, tidak ada gading yang tidak retak. Tak ada cinta yang sempurna di dunia ini kecuali cinta hamba pada sang pencipta dan sebaliknya.
Cinta mereka mungkin akan dikorbankan, hanya untuk tugas dan kehormatan.
***
Perlahan-lahan Mahila berjalan memasuki makam, diikuti Tirta di belakangnya. Entah kenapa ia jadi mengikuti kemauan Tirta akhir-akhir ini. Sepertinya, Tirta punya keahlian mempengaruhi pikiran orang. Ia mati-matian membujuk Mahila untuk menunjukkan Pedang Langit yang legendaris itu.
Meskipun Mahila awalnya begitu menolak, lama kelamaan ia luluh juga. Toh, mereka hanya melihat tanpa maksud menggambil. Mahila adalah gadis yang selama ini tinggal bersama ketua dekorator makam, Purna.
Mahila memeriksa langkah demi langkah dengan hati-hati. Jika ia salah langkah sedikit, maka jebakan berupa panah akan tertembak ke arahnya. Ini adalah mekanismenya pertahanan yang berada di gua ini.
Mahila dan Tirta mulai merasa kelelahan, mencoba menghindari jebakan disana-sini. Sebelumnya, Mahila hanya pernah sekali masuk ke tempat ini. Itu pun saat ia masih kecil yang sedang mencari Nyonya Purna kala itu.
Akhirnya mereka tiba di pinggir sebuah jurang. Di sana, ada sebuah jembatan kecil yang sudah rapuh, yang menghubungakan kedua tepi jurang.
Dengan perlahan dan hati-hati, Mahila menapakkan kakinya di atas jembatan tersebut. Ketika Mahila sampai di tengah jembatan, tiba-tiba sebatang kayu jembatan patah dan kaki Mahila terperangkap di antara kayu.
Tubuh Mahila sudah menggantung di jembatan. Sigap, Tirta mencengkeram tangan Mahila, sehingga Mahila tak jadi jatuh ke dalam jurang.
Tirta menarik lengan Mahila, susah payah. Akhirnya, mereka berhasil kembali berada di jembatan. Namun, karena kayu-kayu lapuk itu tak mampu membawa beban berat, satu per satu kayu jembatan patah dan tali jembatan terputus.
Tirta memeluk pinggang Mahila, ia berpegangan erat pada tali dan menabrak dinding jurang. Di seberang dinding, Tirta bisa melihat lukisan pahatan mengenai sejarah Raja Waroka. Di mata pahatan seekor kura-kura, ada sebuah tonjolan berwarna hijau.
Anggukan kecil dari Mahila, mengisyaratkan bahwa inilah tempatnya. Tempat yang menjadi tujuan awal Tirta.
Dengan susah payah, Tirta berusaha meraih tonjolan hijau itu. Ia masih mendekap tubuh Mahila, erat. Tak membiarkan gadis yang ia cintai jatuh dari dekapannya.
Tirta akhirnya berhasil meraih tonjolan itu dan menyentuhnya. Tonjolan itu mengeluarkan cahaya. Kemudian muncul sebuah jalur batu yang menuju ke ruangan tempat tersimpannya peti dan pedang legendaris milik Raja Waroka.
Perlahan, Tirta turun dari tali jembatan yang ia gunakan sebagai pegangan tadi. Dibantunya Mahila agar bisa sampai ke jalur batu yang mereka temukan baru saja. Mereka mengikuti jalur batu tersebut dan menemukan sebuah ruangan yang begitu indah. Beberapa lentera tergantung di sudut-sudut ruangan
Mereka melihat sebuah peti yang berada di sisi kanan. Tirta berusaha membuka peti, berharap isi peti tersebut adalah harta yang melimpah ruah, tapi tidak kuat. Ia akhirnya melihat pedang legendaris milik Raja Waroka di tengah ruangan, kemudian menyentuhnya.
Pedang tersebut mengeluarkan sebuah cahaya yang sangat terang, menerangi seisi ruangan dan menerangi lukisan sejarah perjuangan Raja Waroka membangun Dinasti Nara.
Sekian menit mereka terpana akan keindahan makam beserta pedang langit tersebut. Hingga, Tirta mengambil pedang langit tadi yang tertancap di batu besar.
Mahila tersentak, ia menarik bahu Tirta.
"Hey! Letakkan itu kembali pada tempatnya, Tirta! Kau sama sekali tak berhak," ucapnya.
Tirta sedikit menjauh dari Mahila. Menebaskan pedang ke udara kosong, kemudian berucap, "Bodoh sekali orang yang berpikir hanya melihat ini tanpa bermaksud memilikinya."
Mahila tercenung. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Ia tak ingin berprasangka buruk, tetapi ia berharap ini semua hanya gurauan Tirta seperti biasanya.
"Ahahaha, kau lucu sekali, Tirta. Sudahlah, cepat letakkan pedang itu dan mari kita keluar dari gua ini!" ajak Mahila sembari menampilkan tawa yang terlihat begitu dipaksakan.
"Jangan naif, Mahila! Semua orang menginginkan pedang ini!" Tirta kembali menebaskan pedang ke sembarang arah, "Tak terkecuali begitu pula dengan aku."
Bersambung ....