"Hey! Letakkan itu kembali pada tempatnya, Tirta! Kau sama sekali tak berhak," ucapnya.
Tirta sedikit menjauh dari Mahila. Menebaskan pedang ke udara kosong, kemudian berucap, "Bodoh sekali orang yang berpikir hanya melihat ini tanpa bermaksud memilikinya."
Mahila tercenung. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Ia tak ingin berprasangka buruk, tetapi ia berharap ini semua hanya gurauan Tirta seperti biasanya.
"Ahahaha, kau lucu sekali, Tirta. Sudahlah, cepat letakkan pedang itu dan mari kita keluar dari gua ini!" ajak Mahila sembari menampilkan tawa yang terlihat begitu dipaksakan.
"Jangan naif, Mahila! Semua orang menginginkan pedang ini!" Tirta kembali menebaskan pedang ke sembarang arah, "Tak terkecuali begitu pula dengan aku."
Mahila menggeleng cepat. Ia mundur beberapa langkah hingga terhenti saat menabrak dinding yang ada di belakangnya. Kakinya lemas seketika. Ia terduduk lesu di lantai gua. Pikirannya kacau. Bagaimana ini bisa terjadi? Tak hanya merasa mengkhianati Bibi Purna, yang selama ini merawatnya, ia juga merasa telah menghianati seluruh warga Nara. Bisa-bisanya ia terbuai dengan bujuk rayu Tirta tadi.
Tirta mendekati Mahila yang terduduk lemas. Ia menarik pelan dagu Mahila.
"Meskipun niat awalku hanya untuk pedang ini, tapi kini aku benar-benar mencintaimu, Mahila. Kita hanya perlu membawa pedang ini keluar dan menyerahkannya pada pemimpin Kerajaan Singamaruna, Raja Wia. Setelah itu, kita bisa hidup hanya berdua. Di tempat yang sangat jauh, yang bahkan tak ada yang mengenali kita."
Mahila menepis tangan Tirta. Dilihatnya pemuda yang berhasil mengoyahkan hatinya itu dengan tatapan tajam. Tak ada yang terucap hanya air mata yang tak dapat terbendung sebagai jawaban atas ajakan konyol Tirta.
Andai saja sesederhana itu. Namun, Mahila besar di lingkungan makam Raja Waroka. Ia memiliki sumpah yang harus ia jalani. Bagaimana bisa ia lupa akan sumpahnya itu? Sumpah, bahwa tidak akan memberitahukan tempat ini pada siapa pun. Jika memang seperti ini akhirnya, tak ada pilihan lain.
Mahila merebut paksa pedang langit dari tangan Tirta.
"Jangan harap kau bisa dengan mudah membawa pulang pedang ini, Penghianat!" teriak Mahila. Ia menghunuskan pedang tepat di leher Tirta.
To be continued ....