Mahila menggeleng cepat. Ia mundur beberapa langkah hingga terhenti saat menabrak dinding yang ada di belakangnya. Kakinya lemas seketika. Ia terduduk lesu di lantai gua. Pikirannya kacau. Bagaimana ini bisa terjadi? Tak hanya merasa mengkhianati Bibi Purna, yang selama ini merawatnya, ia juga merasa telah menghianati seluruh warga Nara. Bisa-bisanya ia terbuai dengan bujuk rayu Tirta tadi.
Tirta mendekati Mahila yang terduduk lemas. Ia menarik pelan dagu Mahila.
"Meskipun niat awalku hanya untuk pedang ini, tapi kini aku benar-benar mencintaimu, Mahila. Kita hanya perlu membawa pedang ini keluar dan menyerahkannya pada pemimpin Kerajaan Singamaruna, Raja Wia. Setelah itu, kita bisa hidup hanya berdua. Di tempat yang sangat jauh, yang bahkan tak ada yang mengenali kita."
Mahila menepis tangan Tirta. Dilihatnya pemuda yang berhasil mengoyahkan hatinya itu dengan tatapan tajam. Tak ada yang terucap hanya air mata yang tak dapat terbendung sebagai jawaban atas ajakan konyol Tirta.
Andai saja sesederhana itu. Namun, Mahila besar di lingkungan makam Raja Waroka. Ia memiliki sumpah yang harus ia jalani. Bagaimana bisa ia lupa akan sumpahnya itu? Sumpah, bahwa tidak akan memberitahukan tempat ini pada siapa pun. Jika memang seperti ini akhirnya, tak ada pilihan lain.
Mahila merebut paksa pedang langit dari tangan Tirta.
"Jangan harap kau bisa dengan mudah membawa pulang pedang ini, Penghianat!" teriak Mahila. Ia menghunuskan pedang tepat di leher Tirta.
Dengan remeh Tirta menyingkirkan pedang itu menggunakan jari telunjuk. Ia mengalihkan pandangan ke samping.
"Aku yakin kau tak mungkin sanggup membunuhku, Sayang."
Gemetaran, Mahila kembali mengangkat pedangnya ke udara. Semua kenangan bersama Tirta berkelebatan dalam ingatannya. Mungkin ia terlambat menyadari, bahwa cinta yang membuat seseorang lemah. Cinta pula yang mampu melahirkan sebuah pengkhianatan.
"Aku memang tak mampu membunuhmu, Kakang Tirta. Tapi daripada hidup dalam penyeselan seumur hidup. Daripada merasa menghianati negara, lebih baik ...," Mahila mengangkat pedang langit ke udara sebelum akhirnya ia menusukkan ke perutnya sendiri dan tembus ke punggung, "le-lebih baik, a-aku menghilang da-dari dunia ini."
"DINDA MAHILA!! TIDAK!!" jerit Tirta.
Bersambung ....