"Tidak ...!" teriak seorang pria yang bangun dari tidurnya. Napasnya masih tersengal-sengal dengan dipenuhi keringat.
"Huft ... huft ... huft ...." Dadanya terasa sangat sesak, dia menaikkan wajah kemudian mencoba mengeluarkan napas secara teratur. Pria tampan itu menyibakkan rambutnya ke belakang.
"Kenapa Mas Khafi? Mimpi buruk lagi?" tanya gadis manis yang mengenakan seragam SMA.
"Huft ... ya." Pria itu kemudian bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke kamar mandi.
Sejenak dia bercermin membasuh setelah wajahnya. Bayang-bayang mimpinya kembali hadir. "Arjuna ... siapa dia? Dan apa hubungannya aku dengan wanita yang bernama Nirmala? Kenapa aku sangat merasa bersalah melihat wanita yang bernama Nirmala disiksa dan wajahnya dirusak, lalu dijatuhkan ke jurang. Kenapa aku sangat menyesal tidak bisa menyelamatkannya? Apa sebenarnya mimpi ini, dan kenapa selalu hadir di setiap aku bermimpi. Dan sepertinya itu zaman dahulu kala. Mungkin juga sudah ribuan tahun terjadinya."
Drettt!
Drettt!
Khafi kemudian keluar dari kamar mandi sambil meraih handuk. Dia berjalan ke ranjangnya sambil meraih ponsel yang berada di atas laci. Khafi kemudian menerima panggilan telepon itu.
"Apalagi?! Kamu mau bahas apa? Sudah aku bilang, aku tidak setuju dengan kontrak itu! Aku tidak peduli mereka membicarakan aku sombong atau apa! Yang terpenting aku tidak menerima kontrak itu!" Dengan kesalnya Khafi menutup panggilan telepon itu.
"Ceh! Sial."
Drettt!
Drettt!
Khafi menatap layar ponselnya, seketika wajahnya berubah menjadi malas dia kembali meletakkan ponselnya ke atas laci. Terpampang jelas nama Rianti di layar ponsel yang menelpon dan diabaikan olehnya.
Drettt!
Khafi merasa muak dengan ponselnya yang terus berdering. Dia membaca nama dari telepon yang masuk.
"Ya." Untuk sejenak dia bisa mendengarkan penjelasan dari asistennya. "Aku sudah mendengarmu. Apa setiap kali aku harus menjelaskan?! Bukankah kemarin kamu sudah mencatatnya?! Kenapa sekarang kamu masih menanyakan hal yang tidak penting dan membuang waktuku saja! Jika kerjamu tetap seperti ini aku akan mencari orang lain!" Khafi melempar ponselnya ke ranjang lalu berjalan cepat ke ruang makan.
"Mas ... Mas, pagi-pagi sudah emosi ... berilah ruang bersantai Mas ... cari jodoh kek, jangan terlalu sibuk bekerja, jangan terlalu jutek pula."
"Ah ... anak kecil tahu apa?! Yang membiayai kamu sekolah itu aku, jadi kamu jangan cerewet!"
"Bunda ... bunda. Kalau Mas Khafi selalu jutek seperti itu. Aku yakin, akan jauh dari jodohnya."
"Hus! Bicara apa sih?!" Wanita paruh baya menegur gadis yang memakai seragam SMA.
"Biarkan dia berkata seenaknya, lagian juga siapa yang mau cari jodoh." Khafi terlihat tidak mempedulikan masalah jodoh.
"Ha ...?! Mas ku ... Anda itu ganteng, CEO, Masa tidak mau cari jodoh? Aneh."
"Jangan cerewet kamu!" seru Khafi.
"Dasar CEO jutek." Gadis ini segera meninggalkan ruang makan dan berjalan cepat dengan terus menggerutu.
"Khafi ... kamu serius, belum ingin menikah?"
"Paling malas. Bunda, jangan memikirkanku pikirkan saja kesehatan Bunda dan menantu-menantu yang julid itu." Khafi memang sangat acuh, Bunda hanya menatapnya singkat lalu menghela napas.
Satu persatu keluarga datang ke ruang makan. Di saat meja makan dipenuhi dengan tujuh orang, Khafi malah pergi meninggalkan meja makan.
"Selalu seperti itu ..." tutur pria paruh baya yang kesal dengan sikap Khafi.
"Biarkan dia melakukan, sesukanya Ayah," sahut wanita yang berpenampilan modis yang berjalan ke meja makan.
"Yang terpenting perusahaan tidak rugi. Biarkan saja dia hidup kesukaannya, yang penting kita hidup nyaman tanpa perlu bekerja," kata pemuda tampan sambil menarik kursi di meja makan.
"Bagaimanapun semua itu butuh kerja keras, saat ini kamu bisa santai, kamu belum memiliki tanggung jawab," kata Bunda menegur putranya dengan meletakkan makanan.
"Bunda, aku tidak mau disamakan dengan Mas Khafi. Lagian Mana ada, orang se jutek seperti Mas Khafi, banyak orang yang sangat tidak suka dengannya, banyak juga orang yang dendam kepada nya. Lagian jadi orang jutek amat, acuh. Seperti tidak membutuhkan orang lain!"
"Sudah ...! Pagi-pagi kenapa ribut! Mending kita makan," kata Pria tampan yang sudah mengenakan kemeja dan jaz.
"Benar kata Mas Vito, Bunda ... biarkan Adrian hidup sesukanya. Nanti juga berubah sendiri kalau sudah berani nikahi anak orang," kata wanita yang sangat cantik dan seksi.
Wanita paruh baya itu pun pergi dari ruang makan.
'Aku tak peduli, Khafi harus bisa menjadi milikku walaupun aku masih berstatus kakak iparnya. Apa ... kehebatan Mas Dimas, dari dulu kerja di kantor tetap tidak bisa membuat aku bahagia. Sampai membelikan kalung berlian saja hutang, memalukan!' batin wanita yang tadi membela Vito.
Di dalam keluarga Khafi, ada Bunda, Ayah, Vito kakak pertama, Dimas kakak kedua, Khafi anak ketiga, Viona istri Vito, Bella istri Dimas, Adrian adik Khafi dan Adinda Kanaya adik terakhir.
***
Khafi yang sudah sangat tampan, bersiap untuk pergi ke kantornya. Pria tampan dan gagah ini, sungkem kepada Bunda dan ayahnya lalu pergi tanpa menyapa saudara-saudaranya.
"Khafi ..." Dimas menyusulnya. Khafi menghentikan langkah dengan menghela napas malas. "Pak Efendi tidak suka melihat kamu membawa merpati itu."
"He ..." Khafi hanya tersenyum miring kemudian pergi tanpa mempedulikan teguran dari kakaknya.
Dimas sangat kesal dengan sikap Khafi, dia menatap Khafi yang berjalan menemui merpati putihnya. Dimas menatap penuh kemarahan. Dimas mengeluarkan napas kesal, lalu menghubungi seseorang sambil berjalan cepat.
***
Senyum Khafi merekah ketika bersama merpatinya. Dia terlihat sangat bahagia. "Allah menghadirkanmu. Putih, kamu adalah pelantara dan dengan bersamamu, aku merasa bahagia dan tenang tidak terancam. Tapi ... putih, aku selalu bermimpi akan masa yang kelam. Mimpi yang seakan-akan ada sangkut-pautnya dengan kehidupan ku. Aku berusaha tidak memikirkan itu semua, aku tidak bisa, aku merasa menjadi pria pengecut yang bisa dibodohi seseorang hingga melihat seorang wanita yang tidak bersalah harus tersiksa dan tidak mendapat keadilan."
"Arjun." Suara dari merpati putih itu membuat pemiliknya sangat terkejut. Bahkan Khafi sampai melepasnya.
"Tidak! Tidak mungkin kamu bisa berbicara!" Khafi hendak meninggalkan merpatinya.
"Tapi kamu bisa mendengarku. Kamu tidak gila!" Merpati itu terbang dengan lemah, karena terluka. Merpati itu jatuh dua langkah di depan Khafi. Khafi yang memang tidak tega dan memang dia yang menyelamatkan mepati itu pun jongkok dan memeriksa sayapnya.
"Kamu tidak papa. Suaramu mungkin dari halusinasiku saja." Khafi bangun sambil membelai bulu merpati putih itu.
"Kamu tidak sedang berhalusinasi aku memang bisa berbicara karena aku ini adalah khadam mu!"
Khafi merasa dirinya sedang kurang sehat. Dia memutuskan meletakkan merpati itu ke sarangnya.
"Kamu tidak percaya?! Aku akan menghentikan langkahmu!" Suara merpati itu meninggi saat langkah Khafi semakin cepat. Tiba-tiba Khafi merasa sulit melangkah, dia lalu menoleh ke merpati yang sedang menatapnya. Khafi berusaha percaya dengan yang didengarnya, dia meyakini merpatinya bisa berbicara, walaupun tidak masuk diakal.
"Heh ... ku rasa aku harus menggila." Khafi menatap merpatinya.
"Tidak perlu menggila. Tunggu Arjun! Dimas merencanakan sesuatu. Rem mobil mu akan blong. Jika kamu mau mengingat masa lalumu, maka kamu harus mengalami kecelakaan itu, namun jika kamu tidak ingin mengingat masa lalumu dan musuh masa depanmu, maka kamu bisa menghindari kecelakaan itu."
Mendengar itu Khafi menatap merpatinya. Ada rasa percaya dan tidak percaya.