"Naiklah! Setelah di atas, bantu aku naik juga!" ucap remaja yang baru ditemui oleh Juna.
Juna mengernyit. Apa ia tak salah dengar? Remaja yang baru ia temui itu hendak membantunya melewati tembok pembatas ini? Bahkan ia belum sempat bertanya nama dia. Ah, pria yang baik.
Juna tak menyia-nyiakan kesempatan. Yang terpenting adalah sampai di gedung yang berada di balik tembok tinggi ini. Ia tak ingin mencoreng nama baik ayah angkat, yang sudah mengadopsinya.
Juna menginjakkan kaki kanannya ke paha remaja tadi, diikuti kaki kiri yang naik ke bahu remaja tadi. Setelah bersusah payah mengorbankan paha dan bahu remaja tadi, akhirnya Juna berhasil naik ke atas. Ia mengulurkan tangannya. "Naiklah juga!"
Remaja yang masih berada di bawah tersenyum ramah. Ia meraih uluran tangan Juna dan naik dengan mudah. Sepertinya, ia sering melakukan aksi ini sebelumnya.
***
Seperti hari-hari biasanya, semua murid Huimang International School datang ke sekolah untuk menuntut ilmu. Namun, tak sepenuhnya itu benar. Ada yang pergi sekolah hanya untuk memenuhi kemauan orang tua mereka, ada yang memang benar-benar mencari ilmu, ada yang hanya ingin ngeband, ada yang cuma ingin bertemu dengan teman atau seseorang yang ia sukai.
Namun, saat ini alasan Juna pergi ke sekolah bukan hanya untuk menuntut ilmu, tapi juga mencari pengalam yang baru. Pertama-pertama Juna harus merubah semua image-nya yang sebagai playboy dan berandalan seperti di sekolahnya yang dulu. Juna memantapkan hati untuk menjadi murid yang pendiam setelah ini.
Juna mengikuti remaja yang menolongnya untuk naik ke atas tembok tadi. Kalau tak ada remaja itu, Juna pasti ikutan dihukum oleh pak guru tadi.
Remaja tadi menghentikan langkahnya, membuat wajah Juna terantuk pundak sosok yang berada di depannya.
"Kenapa kau mengikutiku dari tadi, heh?" ucap remaja tadi sambil berbalik ke arah Juna.
"Oh ayolah! Aku baru pertama kali ke kota ini. Setidaknya, bantu aku untuk sampai ke ruang guru dulu, errr ...."
"Yudha! Kau bisa memanggilku dengan nama itu," sahut remaja tadi yang kini Juna tahu jika namanya adalah Yudha.
"Baiklah. Antar aku ke ruang guru, Yudha! Kumohon!" pinta Juna. Ia tak dapat menemukan guru dan teman lainnya yang ia kenal di gedung sekolah sebesar ini.
Yudha menghembuskan napas kasar. Sebenarnya ia berniat makan di kantin sekolah dulu tadi, tapi ada saja yang menggangu. Dengan terpaksa Yudha mengantar Juna ke ruang guru, setelahnya ia buru-buru ke kantin untuk memberi asupan makanan pada cacing-cacing dalam perutnya.
***
Juna dengan gugup berjalan memasuki ruang kelas. Semua mata tertuju ke padanya. Ia berulang kali menghela napas panjang. Sang guru mempersilahkannya memperkenalkan diri. Ia masih mematung. Apa yang harus ia lakukan? Perkenalan semacam apa ini yang seharusnya ia ucapkan di sekolah barunya yang bertaraf Internasional ini?
Bahasa Indonesia-kah? Atau malah Bahasa Inggris? Hmmm, Bahasa Indonesia saja kali ya? Atau Bahasa Jepang saja yang seperti di anime-anime yang biasa ditonton Bang Bayu itu? Sekian menit Juna berpikir hingga deheman Bu Guru menyadarkannya.
Juna menampilkan senyum termanisnya. Ia mengangkat tangan kanan sambil berucap, "Hai, Teman-Teman! Nama saya Arjuna Ronivanendra. Saya pindahan dari Medan. Mohon kerjasamanya!" Perkenalan Juna yang terdengar sangat formal itu, dihadiahi tatapan yang sulit diartikan dari seluruh temannya.
Juna tersenyum kembali. Ia menggaruk tengkuknya. "Maaf!" ucapnya kemudian. Kali ini ia tertunduk lesu. Ia sadar pasti setelah ini ia akan dihujat. Tapi, ia menyadari satu hal, ia lebih jago Bahasa Indonesia daripada Bahasa Inggris. Jadi, apa salahnya menggunakan Bahasa Indonesia meski ini sekolahan yang didirikan Jepang di Indonesia, bukan?
"Baiklah! Kau boleh duduk di bangku paling belakang yang sudah disediakan, Juna!" ucap Ibu Guru cantik yang membuat Juna kini dapat bernapas lega.
"Sekarang, nama teman sebangkumu itu adalah Yudha, Juna!" ucap Bu Guru sambil menunjuk bangku paling belakang pojok.
Juna berjalan dan ada yang menjegalnya, membuat ia jatuh tersungkur. Juna tahu benar, kaki itu sengaja menghalangi langkah dia. Namun, Juna berusaha bersabar. Ia tak ingin berbuat onar di hari pertamanya ini.
Juna mengibaskan tangan tepat di depan wajah Yudha. "Hai! Kita bertemu lagi, Yudh!"
Yudha tak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menghindari tatapan Juna.
Juna merasa ada yang aneh. Yudha terlihat tak seramah yang ia temui pagi tadi. Ah entahlah.
"Waktunya ospek, Kawan!" Suara dari arah samping Juna.
Bersambung ....