"Rafa juga boleh ikut kalau mau mendengar ceritaku."
Mata Yudha beralih pada Rafa yang memutar bola matanya kek kiri dan ke kanan bagai senam kesehatan.
"Pradhika, harusnya kau masuk ke dunia entertainment daripada bercita-cita ingin menjadi pengacara. Bercerita saja hobimu."
Walau mencibir, Rafa yang sok cool ini tetap menyanggupi. Buktinya dia sudah ambil tempat di sisi Rinata untuk mendengar kisah yang akan Yudha tuturkan.
"Rina, kamu mau batagor? Biar kubeli dulu." tawar Yudha pada kekasihnya.
Lagi-lagi Rafa mendecih, dan dalam hati mencibir. Kesabaran jomlo diuji pada saat seperti ini. Derita pria yang tak laku-laku memang seperti inilah gambarannya.
"Tidak usah, Yudha, aku membawa air mineral. Kata ayah dan adikku ini lebih baik dan bagus untuk kesehatan."
Rafa tertawa mengejek. Rinata seperti gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar yang selalu patuh dan taat pada nasihat guru dan orang tua seperti bunyi janji siswa yang selalu dibacakan ketika upacara bendera.
Padahal, kedua pipinya pun masih sering dikecup ibunya kalau akan pergi sekolah. Sebenarnya mereka sama-sama aneh, tapi sayangnya tidak sama-sama saling mencintai. Rinata hanya akan setia dan suka pada Yudha saja. Itu sih sekarang. Berbeda dengan Rafa yang memendam rasa sukanya pada sulung Hayashi ini.
Jika saja Rafa tidak lelet menyatakan cinta dahulu, sudah pasti tidak akan diserobot Yudha. Sebenarnya, ada niatannya menikung, tetapi ia mengurungkan niatnya karena saingannya adalah si tampan yang menjadi teman sekelasnya juga. Bukannya ia takut, hanya dia kurang keberanian. Oh baiklah, dia memang tidak berani.
"Mana? Katanya mau cerita," protes Rafa.
Sedangkan, Juna masih setia mendengarkan ocehan teman-teman barunya itu.
Padahal, tadi Rafa berlagak sok menolak, tapi lihatlah sekarang? Dia yang paling antusias mendengar kisah yang hendak Yudha tuturkan.
"Okey, aku menamai kisah ini dengan Clans ... Yin Yang no Ai."
Kali ini, Rinata ikut bersuara, "Sepertinya aku pernah tahu nama itu."
Yudha tersenyum sambil mengusap helaian lembut mahkota indigo milik Rinata yang panjang dan wangi.
"Judul itu pasaran, makanya kamu bisa tahu, Rin." Rafa menyambar setelah ia berdecih.
Tanpa mengacuhkan Rafa yang mencibir, Yudha melanjutkan, "Kisah yang tersembunyi dari sejarah orang-orang kuno di negeri seribu pulau ini. Mau dengar?"
Rinata mengangguk layaknya anak yang melakukan permainan "angguk-anggukan" di taman kanak-kanak.
Berbanding balik dari Rafa yang malah kepanasan, walau AC menyala. "Tak usah bertela-tela! Langsung saja, Yudh!"
"Maksud Rafa bertele-tele?" sanggah Rinata. Ia merasa kalimat temannya tersebut janggal.
"Hn," ucap ambigu Rafa.
"Ada apa? Tembuskah? Ini masa bulananmu?" Candaan ini dari bibir tipis Yudha, yang kata teman-temannya bibir Yudha itu seksi.
"Iya tembus! Ke ulu hati! Nyeri! Pokoknya aku kegerahan!!" ketus Rafa sambil mengipasi tubuhnya dengan kertas naskahnya yang ia pegang. Ia seperti iblis kesetanan di mata Yudha.
"Mulai deh authisnya muncul! Ruqyah sana, biar cepat keluar setannya! Kasihan sekali, tapi heran juga sebenarnya, masa iya iblis bisa kesetanan." Yudha berucap.
Bungsunya Pradhika ini memang dikenal akan lidah tak bertulangnya. Untung saja tampan.
Rinata menahan tawanya akibat mendengar olokan Yudha pada Rafa yang kini mungkin sedang menyumpah serapahi Yudha di dalam hati.
Si tengah-tengah pertengkaran itu, Juna terus-terusan mengembuskan napas kasar. Apa semua remaja ibu kota, kelakuannya absurd seperti mereka? batinnya.
"Yudha, jika kau tidak jadi cerita, aku akan pergi ke kantin aja, ya?" putus Juna, yang sudah lelah mendengar ocehan para remaja yang terjebak entah cinta segi apa. Segitiga? Atau malah jajar genjang? batin Juna.
Bersambung ....