Chereads / Black Dark / Chapter 30 - Kisah Lain

Chapter 30 - Kisah Lain

Dan Yudha pun mulai bercerita sebuah kisah tragis. Tidak ada yang tahu jika cerita itu masih ada hubungannya dengan salah satu teman mereka.

Pedang Langit, merupakan pedang legendaris milik Raja Waroka, pendiri Dinasti Nara. Pedang ini dibuat oleh pandai besi bernama Wirayudha. Keistimewaannya ialah pedang tersebut tak dapat patah. Pedang ini juga yang menemani Raja Waroka untuk memperluas wilayah pemerintahannya ke seluruh tanah Javanka.

Kini sudah lewat puluhan tahun sejak meninggalnya Raja Waroka. Javanka saat ini dipimpin oleh raja ketiganya, Raja Latansa. Tak ada yang diperbolehkan memiliki pedang langit, meskipun itu keturunan langsung Raja Waroka.

Bahkan, anggota keluarga kerajaan tak ada yang mengetahui letak pasti pedang langit itu disembunyikan. Mereka hanya tahu, pedang itu ada di sebuah gua yang berada di daerah Celbon, salah satu wilayah Javanka bagian Timur.

Gua tersebut juga merupakan tempat Raja Waroka dimakamkan. Penjaga makam Raja Waroka memutuskan hubungan apa pun dengan keluarga kerajaan.

Tetua penjaga makam, seorang pria tua berjenggot panjang, memiliki sebuah perguruan bela diri. Tak ada yang pernah melihat langsung pria tua itu. Para murid perguruan bela diri milik tetua tadi yang menjaga makam Raja Waroka.

Namun, mereka hanya bertugas menjaga. Belum pernah ada yang tahu bentuk nyata pedang langit yang legendaris itu.

Gua ini dijaga juga oleh kepala dekorator makam Raja Waroka, bernama Purna. Wanita ini yang menjadi kepala pelukis yang membuat pahatan di setiap dinding makam Raja Waroka.

Pahatan indah yang menggambarkan perjuangan Raja Waroka hngga mendirikan Kerajaan Nara yang begitu berkuasa saat itu di Javanka. Nyonya Purna tinggal bersama seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan.

Hingga, suatu saat kejadian itu terjadi. Gua tempat pemakaman Raja Waroka diserang habis-habisan oleh pasukan Bayangan Hitam. Semua penjaga gua dibantai habis. Bahkan, Nyonya Purna mati dibunuh karena tak mau memberitahu tempat pedang langit disembunyikan. Meskipun begitu, para penyusup tadi tak ada yang berhasil mendapatkan pedang langit.

Mereka mati mengenaskan terjebak oleh mekanisme pertahanan sebelum mencapai tempat disembunyikannya Pedang Langit.

****

Duduk anggun di sebuah kedai teh sederhana, seorang gadis menyambut pesanannya. Pakaiannya dominan warna ungu muda. Meskipun terlihat sederhana, tapi tak dapat mengurangi kecantikan alami yang dipancarkan gadis bersurai indigo tersebut. Ia meletakkan cangkir berisi teh ke dekat bibirnya yang semerah darah. Aroma harum dari teh kental tersebut mampu memberi ketenangan.

Tak jauh darinya berada, seorang pemuda berambut hitam legam tengah mengawasi. Pandangan pemuda itu tak sedetik pun beralih dari gadis berpakaian ungu muda tadi. Pemuda itu menampilkan sebuah senyuman nakal saat kepergok mencuri pandang pada gadis bersurai indigo tadi.

Tak merasa terganggu sedikit pun, gadis tadi kembali menyesap tehnya, tak menghiraukan tatapan pemuda tadi. Ia masih tenang seperti sebelumnya.

Selang beberapa menit, seorang pemuda berambut putih keperakan menghampiri. Matanya biru bagai es di belahan dunia ujung. Kulitnya putih pucat. Tanpa permisi, ia duduk di sebelah gadis tadi sembari memesan secangkir teh pada pelayan.

"Hey! Kemana saja kau, Adinda? Aku benar-benar merindukanmu," ucap pemuda berambut putih tadi. Pakaiannya juga sederhana, menunjukkan bahwa ia dari kalangan rakyat biasa.

Gadis tadi meletakkan cangkirnya di meja. Sekelebat ia memandang pemuda berambut putih keperakan yang duduk si seberang meja. Seulas senyum tulus terpatri di bibirnya yang penuh dan merekah.

"Kau lucu sekali, Kakanda. Bukankah kita tadi bertemu di pertigaan jalan. Kenapa seolah-olah kita tak bertemu selama bertahun-tahun, hm?"

Pemuda tadi terkekeh. Sepertinya modusnya untuk selalu berdekatan dengan teman sedari kecilnya itu gagal.

"Ahahaha kau tahu sendiri 'kan, Adinda? Rasanya setiap jam aku harus melihatmu untuk memastikan keamananmu dan--"

"Kakak bahkan tahu aku mampu melindungi diri sendiri dari siapa pun." Gadis tadi menyela.

Pemuda bermata biru tadi kembali terkekeh. Ia merasa benar-benar konyol saat ini. Di tengah-tengah tawanya, pandangannya terfokus pada pria yang berada di ambang pintu. Pria tersebut terlihat mencolok dengan rambut merah menyala. Ia mengenal pria tersebut. Tanpa sepengetahuan gadis di hadapannya, ia mengangguk pada pria berambut merah tadi. 

Kini pandangannya kembali ke arah gadis cantik di hadapannya.

"Oh iya, aku ada urusan sebentar, Adinda. Aku akan menunggumu di benteng Celbon seperti biasanya."

Seusai berkata seperti itu, pemuda tadi beranjak begitu saja. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang baru saja membawa pesanannya.

Merasa puas menikmati kenikmatan teh, gadis tadi beranjak. Ia meninggalkan beberapa koin di atas meja. Ia berjalan keluar kedai teh tanpa menaruh sedikit pun rasa curiga pada pria yang sedari tadi mengawasinya.

***

Berjalan sendiri di jalan setapak, membuat pendengarannya peka. Ia mendengar suara langkah kaki di belakang terus mengikuti. Meskipun seperti itu, ia tetap berjalan santai. Tak menghiraukan sosok bayangan yang mengikutinya.

"HEYY!!"

Suara teriakan terdengar begitu keras.

Ia menghentikan langkahnya sejenak. Namun, ia kembali berjalan setelah beberapa detik terdiam.

"HEY!!"

Kembali suara tadi terdengar.

Kali ini ia tak lagi diam. Secepat kedipan mata, ia sudah berhasil menendang batu sebesar kepalan tangan ke atas. Batu itu melayang, menabrak pohon dan kini terpantul kembali. Dalam waktu yang tepat, gadis tadi merunduk, menghindari batu. Sedetik kemudian terdengar erangan kesakitan dari arah belakang. Menutup mulutnya menggunakan tangan, gadis itu menahan tawa.

"HEY!! APA KAU BERNIAT MEMBUAT KEPALAKU PECAH, HAH?" teriakan terdengar dari arah belakang.

Gadis itu menoleh ke belakang sembari berucap, "Ups, maaf, Kisanak. Tadi itu memang sengaja."

Tawa manis menggantung dari kedua sudut bibirnya. Mahila, nama gadis penyuka warna ungu muda ini.

Pemuda tadi mengesah. Sepertinya tak buruk juga mengorbankan kepalanya yang benjol demi berkenalan dengan gadis yang menarik perhatiannya sejak di kedai teh tadi.

Mahila kembali melangkahkan kaki jenjangnya. Namun, pemuda tadi terus saja mengikutinya. Kali ini malah mensejajari langkah Mahila.

"Hey, namaku Tirta, Nisanak. Apa kau mengenalku?" ucap pemuda tadi.

Mahila menghentikan langkahnya.

Ia memandang Tirta dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pakaian pemuda itu terlihat mewah. Menggunakan mantel dengan pinggiran bulu musang. Sepertinya ia seorang bangsawan. Mungkin salah satu tuan muda dari ibu kota Karta.

Namun, Mahila sama sekali tak tertarik. Ia melanjutkan langkahnya kembali.

Tirtamengikuti langkah cepat gadis itu.

"Hey, aku yakin bisa membahagiakan Anda daripada pria beruban tadi. Jadi, boleh aku ikut denganmu, Nisanak?

Mahila tak menghiraukan, ia semakin mempercepat langkah.

Tirta tak mau kalah, kali ini ia menghadang langkah gadis yang mencuri hatinya itu.

"Aku punya kekayaan yang menjamin kebahagianmu, Nisanak. Hartaku tak akan habis tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh tikungan dan tujuh belokan."

Kali ini bahkan Tirta menggunakan kalimat tak formal seperti tadi.

Mahila menutup mulutnya menggunakan tangan, berusaha menyembunyikan tawa.

"Kau terlihat semakin cantik jika tertawa," ucap Tirta, masih menghadang Mahila.

"Apa menggoda seorang gadis itu adalah hobi Anda, Kisanak?" Mahila menatap tajam pemuda di hadapannya.

"Tidak. Tapi, mungkin setelah ini akan menjadi kebiasaanku. Asalkan gadisnya adalah dirimu, Nisanak."

Lagi, Mahila tak memedulikan bualan pemuda tadi. Ia mendorong pemuda yang menguntitnya itu.

Tirta jatuh terjungkal. Ia rasa ini awal yang baik untuk memulai suatu hubungan.

***

Di bawah langit ada bumi. 

Bumi bagai emas dan langitnya yang biru terkadang menurunkan hujan adalah sesuatu yang dimiliki oleh negeri ini. Burung berkicau dan bernyanyi. 

Jalan berliku membuka tangannya pada Tirta untuk bisa mengikuti Mahila, yang sebenarnya risih. Awan-awan di atas gunung bahkan bisa mendengar keluhan Mahila yang terang-terangan. 

"Aku tidak suka padamu!" kata Mahila untuk kesekian kalinya. "Kepalamu sudah baik-baik saja, 'kan? Sana, jangan ikuti aku!" 

Meski tegas, masih bisa Tirta nilai bahwa suara gadis ini sangatlah cocok jika membisikkan mesra namanya dengan merdu. Pikirannya sudah jauh, padahal si gadis saja terlihat enggan. 

"Tegakah Nisanak pada saya yang tak tahu arah jalan?" 

Bersambung ....