Pensi di Inari Internasional School adalah pentas seni yang cukup terkenal yang diadakan oleh sekolahan yang didirikan Jepang di tanah Indonesia ini. Ada pertukaran pelajar setiap tahunnya.
Pentas Seni ini bertujuannya menampilkan kemampuan mereka dalam berkreatifitas, dan mereka bebas menentukan apa yang ditampilkan.
Misalnya dari kelas IPS tingkat dua. Warga kelas itu menampilkan seni sejarah dari berbagai belahan dunia, kecuali dunia lain.
"Whoooaaa! Kak RafaRina serasi sekali memerankan tokoh Eropa ya?"
Decak kagum keluar dari Takahashi Kenkyo, gadis Indonesia keturunan Jepang.
Dia duduk di posisi paling depan. Dia masih duduk di kelas 1, tapi sangat suka main ke kelas lain, apalagi kelas yang banyak cowok tampannya.
Kini, dua tokoh utama sedang melakukan dansa dengan pakaian khas Eropa zaman dahulu. Terlihat serasi dan menghayati sekali.
"Kak Rina sih, cocok. Tapi si Brutu? Cocok jadi tokoh antagonis di film-film India." Takahashi Zenkyo, kembarannya membalas tajam. Sangat tidak sopan pada kakak kelas.
"Yang biasanya matinya itu mengalahkan sakratul maut sapi sembelihan itu kah?"
Kembarannya mengangguk yakin. "Lagi pula, YudhaRina lebih cetar! Si Uke Rafa sih, cocok sama Narto atau Sayuti ... Kevin juga."
Kenkyo mengangguk-angguk menyetujui kalimat saudarinya. Mereka memang adik kelas yang durhaka.
"Aku juga berpikir, Toni juga cocok untuk ...,"
Kenkyo melihat sekeliling untuk memastikan tak ada yang mendengar dialognya dan kakak perempuannya yang lahir lima menit dari dirinya itu. Setelah aman, ia berbisik agak takut, "Uke sejuta seme."
Suara mereka mengundang kekehan kecil dari seorang pemuda tampan kalangan bangsawan yang katanya masih ada keturunan dewa. Dewa Indra entah Mahadewa, yang pasti katanya dewa. Eh, tidak tahunya ternyata kakek buyutnya bernama Dewa.
Siapa bilang Rafael memiliki banyak fans? Dia memiliki haters juga. Banyak yang tidak suka dirinya yang sok cool dan bermulut tajam itu, yang pasti intinya dia menyebalkan. Namun, Yudha tahu, jika sudah kenal Rafael, mereka akan membuang pikiran itu, karena Rafael lebih dari kata menyebalkan tapi super duper menyebalkan. Tentu saja itu menurut Yudha Pradhika.
Arjuna Ronivanendra tidak tahu menahu dengan percakapan semua temannya dan adik kelasnya itu. Dia belum berani berinteraksi dengan teman-teman barunya lebih intens. Ingat jika Juna ingin membuat pencitraan anak desa yang kurang pergaulan?
Juna masih memperhatikan teman-temannya yang lain.
Sebuah ide kemudian muncul di kepala Yudha. Selang beberapa belas menit kemudian, pemuda bermata indah itu memerhatikan dua orang yang tengah berjalan menuju arahnya.
"Rinata hebat sekali!" puji Yudha.
Rinata bersemu sementara Rafael mendecih.
"Tahu tidak? Aku jadi ingin menceritakan sebuah kisah karena melihat pertunjukan kalian tadi. Rinata mau dengar?" lanjut Yudha.
Rinata menganggukkan kepalanya antusias sembari tersenyum cerah seperti namanya.
To be continued ....