Chereads / My Janu ( BEING WITH YOU) / Chapter 2 - Lelah diri

Chapter 2 - Lelah diri

Masih mengenakan seragam putih abu-abu. Janu melangkah perlahan melewati jalan tanah yang tidak begitu lebar, jalan kampung yang biasa dilewati oleh penduduk desa sebagai  penghubung dengan desa lainnya. Ia melangkah lunglai, tatapan matanya sendu. Menyiratkan rasa duka mendalam dari hati.

Remaja berusia tujuh belas tahun itu terus melangkah, menyeret kakinya yang terbungkus sepatu lusuh berdebu, berjalan ke arah jembatan beton yang di bawahnya adalah sungai besar dan dengan arus yang lumayan deras.

Janu berdiri di besi pembatas jembatan. Ia menatap tajam ke arah derasnya aliran sungai. Dalam benaknya terbesit perasaan kecewa akan hidupnya yang tidak sebening air di bawah sana. Ia merasa jijik pada tubuhnya sendiri. Tubuh yang sering jatuh dalam pelukan satu wanita ke wanita yang lain.

Janu mengeratkan kepalan tangannya. Sudah cukup. Ia tidak mau menjalani hidup seperti ini lagi. Harga dirinya telah tercabik hancur tak bersisa. Jika sang penguasa alam tidak mau menghentikan derita ini, lebih baik dia yang menghentikan. Dia yang akan menghilangkan getir pahit hidupnya. Ketika dia lenyap dari dunia ini maka deritanya akan berakhir. Ia tak perlu menjalani ini semua.

Bayangan wajah Ibu melintas dalam benaknya. Seorang Ibu yang membesarkan anak-anaknya seorang diri, tanpa suami disisinya. Menjadi Ibu dan juga berperan sebagai seorang Ayah. Menjaga dia dan adik perempuannya.

Menjadi tulang punggung keluarga dengan tubuh rapuhnya. Hati Janu teriris jika mengingat semua kepahitan hidup yang ia lalui. Ibu akan baik-baik saja tanpanya, ada adik yang akan menjaga ibu. Ibu justru akan sangat malu bila tahu tentang putranya.

Tidak ada artinya dan tidak ada gunanya ia berada di dunia ini. Lebih baik dia menghilang.  Janu mengangkat satu kakinya untuk berpijak pada besi pembatas jembatan. Lalu ia menaikkan lagi satu kakinya yang lain. Kini Janu sudah berdiri sempurna di atas pagar jembatan. Tekadnya sudah bulat ia siap terjun, menghempaskan tubuhnya ke sungai. Membiarkan tubuhnya hancur oleh batu-batu terjal yang ada di bawah sana  dan akan hanyut bersama dengan deras arus sungai.

Langit mulai sore, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Cahaya jingganya mulai menghilang di balik garis batas terbarat cakrawala. Jalan desa mulai lengang, yang sebelumnya masih tampak ada satu dua penduduk desa melewati jembatan itu sekarang sudah tidak tampak lagi. Ini waktu yang tepat, waktu yang sudah Janu tentukan. Janu merenggangkan kedua lengannya ke samping, menghirup udara dalam-dalam untuk yang terakhir kalinya.

Janu memejamkan mata, pasrah terjun bebas ke bawah. Satu kakinya siap melangkah, satu langkah yang akan membawanya dalam kedamaian. Namun, hingga beberapa detik bukan dingin air sungai yang ia rasakan, bukan juga keras bebatuan yang menyambut tubuhnya.

Seseorang menarik tangannya tepat sebelum Janu melangkah ke udara untuk terjun bebas dari pembatas sungai itu. Tubuh Janu tidak terhempas ke sungai melainkan jatuh menelungkup di atas tubuh seseorang.

"Arrrgghhh..." suara erangan kesakitan seseorang di bawah Janu.

"Cepat bangun, siku gue sakit!!"

Janu buru-buru bangun lalu duduk bersimpuh disisi remaja yang baru saja ia tindih. Janu menatap  kesal dan marah. Ia sungguh merasa dirinya tidak berguna, apapun yang dia lakukan tidak pernah benar. Bahkan melakukan hal mudah saja, yaitu mati, dia pun tak mampu.

"Lo gak apa-apa?" tanya si remaja yang menarik Janu.

Janu tidak menyahut.

"Lo tadi mau ngapain??? Lo mau lompat ya tadi?"

Janu menundukkan kepala masih membisu, ia duduk dengan posisi yang tidak berubah. Remaja itu mengeratkan kepalan tangannya lalu kemudian ia mendongak, melihat ke arah remaja yang menariknya.

"Kenapa kamu menarikku tadi?! Kenapa kamu gak biarin aku terjun ke sungai saja!" teriak Janu dengan nada marah.

"Jadi lo beneran mau mati tadi? Mau bunuh diri?? Kalau lo gak terima gue tolong, ya udah sana lompat lagi. Gue pengen lihat gimana lo mati."

Janu kembali terdiam, sorot matanya perlahan berubah melembut.

"Punya masalah hidup apa lo, sampai mau mati? Enak lo mati. Lo mikirin gak gimana kecewa dan kehilangan orang-orang yang lo tinggalin?"

Bayangan wajah Ibu dan adik perempuannya melintas dalam benak Janu. Dia adalah anak laki-laki yang diharapkan Ibu, dia juga adalah kakak yang diharapkan dapat melindungi adiknya. Lalu bagaimana mungkin dia berencana pergi, menghilang begitu saja. Meninggalkan ibu dan adiknya.

Membiarkan adik yang masih berusia tiga belas tahun harus menjaga ibu dan diri sendiri. Apa yang bisa dilakukan gadis kecil berusia tiga belas tahun, tega sekali jika ia akan membebankan seluruh tanggung jawabnya sebagai kakak laki-laki kepada adik kecilnya.

Janu menundukkan kepala. Semakin lama menunduk semakin dalam hingga membuat bahunya ikut merunduk, perlahan terdengar isakan. Janu menangis. Tubuh remaja itu berguncang menandakan ia sedang tersedu. Ia sama sekali tidak berani mendongakkan wajah, ia tak mau orang lain melihatnya beruraikan air mata.

Semakin lama tangis Janu semakin pilu, remaja seusianya yang baru saja menariknya dari ambang kematian hanya tergugu diam. Remaja itu tidak tahu harus berbuat apa, tapi mendengar isak tangis Janu, si cowok remaja itu mulai mengerti. Pastilah beban hidup cowok di hadapannya itu sangatlah berat makanya berpikiran untuk mengakhiri hidup.

Entah karena ia pernah melihat dalam adegan film ataukah naluri yang menuntunnya, si remaja itu menarik tubuh Janu ke dalam pelukannya. Lalu ia menepuk-nepuk punggung Janu mencoba menenangkan cowok remaja yang sedang menangis tersedu ke dalam pelukannya.

Begitupun dengan Janu. Mungkin karena terbawa perasaan yang terlampau sedih, ia menyandarkan kepalanya pada dada remaja yang bernama Nandes. Iya ... Janu tahu cowok itu bernama Nandes. Biarkan Janu meminjam dada Nandes tuk bersandar sejenak. Meluapkan segala duka yang berkecamuk di hatinya.

Nandes mengusap pelan punggung remaja pria yang berseragam sama dengan dirinya. Hanya itu saja yang bisa ia lakukan. Ia tidak tahu banyak bagaimana cara menenangkan seseorang yang sedang menangis. Apalagi yang menangis ini seorang laki-laki seperti dirinya. Melihat dari bet nama sekolah pada seragam remaja itu Nandes jadi tahu bahwa mereka satu sekolah. Tapi Nandes tidak pernah mengenal atau melihatnya.

Setelah mereka terdiam untuk beberapa saat, Janu perlahan menjauhkan tubuhnya dari Nandes. Ia masih menundukkan wajah tidak berani beradu pandang dengan remaja di depannya.

"Sorry kalo kata-kata gue tadi keterlaluan," kata Nandes memecah kesunyian.

Nandes melirik bet nama pada seragam Janu.

"Nama lo Janu, kita satu sekolah tapi kenapa gue gak pernah liat lo."

Masih tak ada sahutan dari Janu.

Nandes menjulurkan tangannya, ia hendak menyentuh pipi Janu tapi dengan secepat kilat Janu menepis tangan Nandes dengan kasar.

"Jangan sentuh," desis Janu

"Dih...siapa yang barusan sesegukan di dada gue. Sekarang bilang jangan sentuh, lalu yang tadi itu apa?" Nandes senyum mengejek.

"Gue cuma mau mastiin lo gak kesambet hantu jembatan ini, diajakin ngomong dari tadi diam saja."

Janu tidak menanggapi kata-kata Nandes. Remaja itu menoleh ke kiri lalu meraih tas yang tergeletak tak jauh darinya, kemudian ia bangkit berdiri. Dan tanpa bicara sepatah kata Janu mulai melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Nandes.

"Janu..!" Teriak Nandes

Janu menghentikan langkahnya.

"Apapun masalah hidup yang lo jalani pasti akan ada jalan keluarnya. Jangan jadi pengecut."

Janu kembali melangkah tanpa menoleh lagi ke belakang. Meninggalkan Nandes yang masih duduk bersila di tempat yang sama.

Nandes memperhatikan punggung Janu yang mulai menjauh, entah jin baik mana yang baru saja merasuki tubuh Nandes hingga kata-kata penyemangat meluncur dari bibirnya. Itu bukanlah kebiasaan Nandes, dia adalah seorang anak remaja yang tidak pernah mau peduli dengan sekitarnya. Dan sikap sentimentil seperti ini bukanlah gayanya.

Tak jauh dari jembatan ada sebuah gubuk. Tadi saat Janu akan terjun bebas Nandes sedang duduk santai di gubuk itu sambil menghisap rokok yang baru saja ia beli.

Gubuk itu merupakan tempat bolos paling aman yang berada tak jauh dari sekolah. Biasanya Nandes dan dua temannya akan berada di gubuk itu saat mereka sedang menghindari mata pelajaran yang tidak mereka sukai.

Saat pulang sekolah Nandes kebetulan sekali lagi malas pulang, tiba-tiba saja ia ingin merokok dan bersantai menghabiskan waktu di gubuk dekat jembatan penghubung desa hingga sore hari. Disaat ia sedang menikmati rokoknya itulah Nandes melihat Janu berdiri merentangkan tangan di besi pembatas jembatan. Tanpa pikir panjang lagi Nandes berlari ke arah jembatan dan meraih tubuh Janu untuk menghentikan aksi bunuh dirinya.

Nandes memutar lengannya untuk melihat luka gores di sikunya.

"Main pergi aja tu anak. Padahal gue sampai luka begini," gumam Nandes sembari melangkah meninggalkan jembatan untuk pulang ke rumah.

Bersambung...