Di kota ini Janu hidup menumpang di rumah Tante Melda. Orangtua Janu, 'Ibu' hidup di kampung bersama adik perempuannya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah pertama Janu ingin seperti teman-temannya di kampung, bisa melanjutkan sekolah menengah atas. Bisa memakai seragam putih abu-abu adalah impiannya.
Gak muluk-muluk, Janu gak berharap bisa kuliah. Dia bisa sekolah menengah atas saja dia sudah sangat bersyukur. Janu sadar siapa dirinya, dia hanyalah anak seorang ibu tunggal. Ayah Janu meninggal karena kecelakaan kerja. Saat itu Janu masih SD, setelah ayahnya meninggal Ibu tidak pernah menikah lagi. Ibu memilih hidup sendiri membesarkan anak-anaknya tanpa dukungan seorang kepala rumah tangga.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari hari Ibu jualan makanan di depan teras rumah mereka di kampung. Warung kecil yang hanya jualan nasi uduk, gorengan dan makanan lainnya. Walau untung tak seberapa namun cukup untuk biaya makan mereka sejauh ini. Cukup untuk makan namun belum tentu cukup untuk biaya hidup yang lain.
Seiring berjalannya waktu tiba saatnya Janu masuk sekolah menengah atas. Ibu tidak punya cukup biaya untuk menyekolahkan Janu. Sekalipun dipaksa Ibu mungkin hanya bisa membelikan buku pelajaran dan baju sekolah saja. Namun untuk biaya sekolah yang lain Ibu tidak punya cukup uang.
Desa tempat tinggal Janu itu sangat terpencil, belum ada sekolah menengah atas di daerahnya. Jika mau masuk sekolah menengah atas, harus pergi ke daerah yang lebih agak kota dan itu letaknya sangat jauh dari daerah Janu. Itu kenapa teman-teman janu yang satu desa dengannya, mereka memilih untuk kost jika ingin melanjutkan sekolah menengah atas.
Ibu Janu yang seorang janda dan hidup sederhana mana mampu membayar uang kost dan biaya hidup Janu selama sekolah. Belum lagi adiknya mulai masuk SMP.
Untung saja ada kerabat dari almarhum ayah Janu yang berbaik hati. Adik laki dari ayahnya itu menawari Janu untuk ikut dengannya.
"Janu ikut saya saja mbak, biar dia saya sekolahkan, sayang kalo sekolahnya cuma tamat SMP aja. Dia laki-laki calon menghidupi anak orang, harus punya bekal ilmu biar gak susah nanti hidupnya Mbak," kata Paman kala itu ketika berkunjung ke rumah Janu.
"Apa gak nyusahin kamu dan istrimu nanti Gus?"
"Ya gak Mbak, Janu keponakan saya, saya juga ikut tanggung jawab sama masa depan dia."
"Aku manut aja Gus asal Janu mau, yang penting kalau liburan sekolah antar dia kesini Gus."
Janu yang memang sangat ingin bisa melanjutkan sekolah, remaja itu senang bukan main.
Sejak hari itu Janu ikut pamannya, meninggalkan ibu dan adiknya di desa.
Ia ikut ke kota tempat tinggal pamannya. Bukan sebuah kota besar metropolitan. Hanya kota kecil. Di salah satu daerah.
Satu tahun pertama Janu baik-baik saja tinggal di rumah pamannya. Paman sangat baik, pekerja keras dan sayang pada Janu.
Paman punya usaha kecil, adalah seorang pemborong. Kerjanya membeli kelapa dan pisang dari kebun petani lalu kemudian akan disetorkan ke kota besar untuk dijual di sana.
Karena sering membantu pekerjaan Paman, sedikit banyak Janu mulai mengerti tentang usaha itu, dapat ilmu dagang secara gak langsung. Selain itu Janu bisa belajar mengendarai mobil. Paman punya satu mobil pick up. Biasanya digunakan untuk mengangkut kelapa dan pisang dari petani untuk dibawa ke gudang samping rumah.
Satu tahun tinggal bersama Paman, Janu memiliki banyak pengalaman. Janu senang dan makin semangat belajar di sekolah. Namun, sayang semua itu hanya bertahan satu tahun. Di tahun kedua Paman meninggal dunia. Beliau sakit demam berdarah. Sejak itu hari-hari Janu berubah 180°.
****
Setiap pagi sebelum berangkat sekolah Janu selalu menyempatkan diri untuk menyapu dan mengepel lantai. Selesai dengan itu remaja cowok itu pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun Janu seorang cowok namun dia mahir dalam urusan pekerjaan rumah. Lagi pula apa salahnya laki-laki mengerjakan pekerjaan yang sering dilakukan oleh seorang perempuan.
Dia sudah terlatih sejak kecil, sering membantu ibunya di dapur untuk berjualan makanan. Dari sejak awal Janu tinggal di rumah Paman, remaja cowok itu selalu rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Ia ingat pesan ibunya 'meskipun kamu laki-laki, kamu harus tahu pekerjaan rumah Janu, apalagi kalau tinggal di rumah saudara atau orang lain. Kamu harus rajin. Hitung-hitung itu balasanmu karena sudah dikasih makan dan tempat tinggal gratis'. Nasehat Ibu itulah yang membuat Janu selalu rajin mengerjakan pekerjaan rumah.
Selesai menyiapkan sarapan, Janu pergi mandi lalu bersiap untuk berangkat ke sekolah.
"Ini uang sakumu." Tante Melda memberikan uang satu lembar dua puluh ribuan kepada Janu.
Wanita dengan rambut khas orang bangun tidur itu duduk di kursi ruang makan. Ia mengangkat satu kakinya ke atas kursi sambil menyendokkan dua centong nasi goreng ke atas piringnya.
"Pulang sekolah kamu harus cepat pulang." perintah Tante Melda tanpa menoleh ke arah Janu.
"Tapi hari ini jadwal aku buat bantu di toko Bu Ninik," jawab Janu pelan.
Bu Ninik adalah pemilik toko sembako di pasar, yang rumahnya tepat depan rumah Tante Melda. Tiga kali dalam seminggu Janu membantu Bu Ninik di toko setiap pulang sekolah. Meskipun upahnya tidak banyak namun Janu senang melakukan pekerjaan itu.
Tante Melda menghentikan acara makanya. Wanita itu melihat ke arah Janu dengan tatapan tak suka.
"Mulai bantah kamu?! Lebih penting mana nemuin Tante Sarah atau bantu jualan di pasar yang cuma diupah dua puluh lima ribu. Nemuin Tante Sarah kamu bisa dapat uang sepuluh lembar uang ratusan," kata Tante Melda dengan suara agak meninggi.
"Gak usah sok suci kamu, yang penting kamu bisa lanjut sekolah, adikmu juga. Hari gini siapa yang mau kasih uang banyak!" lanjut Tante Melda.
Diam-diam Janu mengepalkan tangannya di bawah meja makan.
"Ma ... apa harus begitu?" kata Ricky anak satu-satunya Tante Melda.
"Diam kamu! Gak usah ikut campur urusan Mama. Sekolah aja yang bener!" bentak Tante Melda.
Ricky tak menyahut, lebih baik diam daripada gak dapat uang jajan. Walau sebenarnya dia kasihan sama saudara sepupunya itu.
Janu mendorong kursinya ke belakang lalu ia bangkit berdiri. Janu mendekati Tante Melda lalu mengulurkan tangan untuk pamitan berangkat sekolah.
Tante Melda membalas uluran tangan Janu dengan enggan.
"Jangan lupa jam tiga sore. Kamu harus sudah siap. Pakai baju baru yang aku belikan kemarin." kata Tante Melda dengan wajah judes.
"Iya Tante," jawab Janu dengan suara lemah.
Janu keluar dari rumah dengan hati remuk. Kenapa tuhan selalu mengambil orang yang sayang padanya. Keluh Janu dalam hati.
Ia merasa hidup ini tak adil untuknya. Namun, apa daya tetap harus ia jalani.
Janu berangkat sekolah dengan mengendarai motor bebek peninggalan pamannya.
Bersambung...