"Kamu beneran mau jalan lagi sama Tante Sarah?" tanya Ricky saudara sepupu Janu. Cowok remaja seusia Janu itu duduk di tepi tempat tidur.
"Mau gimana lagi" jawab Janu tanpa menoleh ke arah saudara sepupunya. Ia berdiri depan cermin kamarnya sambil mengancingkan kancing kemejanya.
"Maafkan Mama ya, and sorry aku gak bisa bantu," kata Ricky merasa tak enak hati dengan nasib saudara sepupunya karena ulah Mamanya.
Janu terdiam. Ia lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah Ricky.
"Kamu gak perlu minta maaf lagian bener apa kata Tante Melda. Yang penting aku dapat uang buat biaya ibu dan adikku di kampung, juga buat biaya sekolah dan hidupku di sini," kata Janu dengan tatapan getir.
Tidak ada yang bisa ia salahkan dengan keadaan sekarang ini, jika ia tidak menuruti apa kata Tante Melda, memangnya dia akan dapat uang dari mana untuk biaya hidup selama tinggal di rumah tantenya.
Tante Melda seorang janda, tidak ada laki-laki yang mencari nafkah untuknya dan Ricky, ditambah ada dirinya di rumah ini, bukankah hanya menambah beban ekonomi Tante Melda.
Sedangkan Tante Melda hidup dari sisa tabungan dari pamannya. Setidaknya itu lah yang Janu tahu tentang sumber keuangan Tante Melda. Kalau ada pemasukan lain, Janu tidak tahu.
"Janu cepat keluar!" teriak Tante Melda dari ruang tamu.
"Nu.." Ricky meraih pergelangan tangan Janu.
"Bawa ini buat jaga-jaga." Ricky menyelipkan satu benda kecil segi empat berwarna hitam ke saku celana Janu.
Janu menghela nafas pelan. Lalu melihat ke arah Ricky.
"Aku dikasih temen, sapa tau kamu butuh kan," kata Ricky menjelaskan, seakan ia tahu arti tatapan mata Janu.
"Janu!!" panggil Tante Melda lagi.
"Iya...Tante," sahut Janu, sembari melangkah keluar dari kamarnya. Diikuti Ricky mengekor di belakang Janu.
"Kamu ngapain ikut! Masuk kamar mu belajar!" perintah Tante Melda pada anak semata wayangnya.
Ricky cemberut. Sebelum pergi dia melirik ke arah saudara sepupunya.
"Jangan lupa pake pengamanan," bisik Ricky.
Cowok remaja itu kemudian menuruti perintah Tante melda. Pergi meninggalkan ruang tamu dan masuk kedalam kamarnya.
Tinggallah Janu, Tante Melda dan satu orang wanita cantik duduk di sofa dengan anggun.
"Janu kamu udah siap?" tanya wanita cantik itu dengan senyuman menghias bibir merahnya.
"Iya Tante," jawab Janu pelan. Tanpa senyum, tanpa ekspresi apapun.
"Muka kamu jangan jutek gitu, senyum." Tante Melda berbisik ke telinga Janu.
Janu berusaha tersenyum. Meski terlihat sekali senyum dipaksakan.
"Kalo gitu kita jalan sekarang."
Wanita cantik itu berdiri, lalu membuka tas di tangan kirinya. Ia mengeluarkan satu amplop warna putih.
"Ini buat uang belanja kamu Melda, saya pinjam Janu dulu ya."
Tante Melda menerima amplop itu dengan mata berbinar dan senyum merekah di bibirnya.
"Terimakasih ya jeng Sarah, tebal banget kayaknya banyak ini isinya."
Wanita yang dipanggil Sarah itu kembali tersenyum.
"Aku tahu kamu butuh, sebentar lagi kan anak kamu dan Janu ujian sekolah."
"Kalau gitu saya jalan dulu ya,"pamit wanita bernama Sarah.
"Ayo Janu."
Janu mengikuti langkah Tante Sarah keluar dari rumah, lalu berjalan menuju mobil yang parkir di pinggir jalan.
Janu melirik kekanan dan kekiri, berharap tidak ada orang yang kebetulan lewat dan melihat dirinya masuk kedalam mobil bagus dengan seorang wanita yang umurnya jauh diatasnya.
Janu buru-buru masuk kedalam mobil. Berdoa semoga tidak ada tetangga yang mungkin saja mengintip dari jendela rumah mereka.
"Kamu kelihatan cakep banget pakai baju itu," puji Tante Sarah, ia kemudian menghidupkan mesin mobilnya.
"Terimakasih," jawab Janu tanpa menoleh ke arah wanita di sampingnya.
Sarah hanya tersenyum, melihat ekspresi Janu.
Tak lama kemudian, mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menjauh meninggalkan kota kecil tempat tinggal mereka. Tante Sarah membawa Janu pergi ke pusat kota.
Sepanjang perjalanan tak ada percakapn berarti di antara dua orang beda generasi itu. Janu lebih banyak diam, menjawab pertanyaan Sarah seadanya. Wanita itu bertanya hal-hal sederhana tentang Janu.
Tante Sarah mengenal Janu saat remaja itu mangantar tantenya ke butik miliknya, dari situlah Tante Sarah tertarik pada Janu. Dan secara terang-terangan meminta Janu pada Tante Melda.
Tante Melda yang memang mata duitan senang-senang saja ada wanita kaya yang suka sama keponakannya. Yang penting tidak meminta Ricky anaknya.
Sejak saat itu Tante Melda menolak semua wanita kenalannya yang menginginkan Janu. Cukup Tante Sarah saja yang jelas duitnya banyak.
Meski tak ada bedanya, tapi bagi Janu hanya melayani Tante Sarah jauh lebih baik dari pada seperti sebelumnya. Dia harus berganti dengan satu wanita ke wanita lain.
Yah...begitulah kehidupan Janu setelah pamannya meninggal dunia. Tante Melda memaksa dirinya untuk menjual tubuh pada wanita-wanita kesepian.
Padahal Janu masih remaja usianya baru 17 tahun. Namun dia harus mengecap sisi gelap kehidupan. Harus mengesampingkan harga dirinya. Janu sudah pernah berusaha menolak. Namun, sulitnya hidup membuatnya harus menuruti kemauan Tante Melda.
"Kalo kamu gak mau kerjaan seperti ini, silahkan kamu nguli di pasar sana. Cukup gak buat biaya makan dan sekolahmu di sini, cukup gak buat bantu ibu mu bayarin sekolah adik mu??!!!" kata Tante Melda kala itu, saat Janu menolak untuk pertama kalinya.
Hidup tak seindah cerita dalam novel, hidup itu keras apa lagi untuk seorang Janu yang hanya seorang pelajar biasa. Anak seorang penjual nasi uduk di desa terpencil.
Tak mengapa, Janu rela menjadi pemuas nafsu wanita kesepian seperti Tante Sarah. Hanya untuk saat ini saja, saat dia masih sekolah. Ketika dia lulus dan bisa mencari pekerjaan di kota yang lebih besar Janu akan meninggalkan semua ini.
Untuk saat ini, hanya bertahan yang bisa Janu lakukan.
Mau mati bunuh diri pun dia gagal. Dia bersyukur gagal mati. Kalau saja dia sungguh mati, kasihan ibu dan adiknya. Mereka berdua pasti akan lebih tidak berdaya karena himpitan ekonomi. Dia anak pertama, dia laki-laki. Janu adalah tulang punggung keluarga. Dia harus kuat.
Seseorang mengatakan padanya 'Apapun masalahmu pasti ada solusinya, jangan jadi pengecut' kalimat itu melekat jelas dalam benak Janu.
"Ayo turun," suara Tante Sarah mengejutkan Janu yang diam melamun.
Janu mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling, mereka ternyata sudah sampai di depan halaman sebuah rumah minimalis modern dua lantai dengan model atap pelana dua tumpuk.
Rumahnya terlihat bagus terawat dengan tanaman hijau di halaman depan yang tidak begitu luas.
Janu melepas sabuk pengamannya, lalu keluar mobil mengikuti langkah Tante Sarah.
"Masuk," Tante Sarah membuka pintu rumah lalu mengajak Janu untuk masuk kedalam.
Sebelum masuk kedalam Janu menoleh ke belakang, lagi-lagi ia berharap tak ada satupun mata yang melihatnya.
"Tenang aja ini perumahan yang sepi, penghuninya sibuk kerja gak ada tukang gosip seperti tetangga Tante kamu," ucap Tante Sarah seakan wanita itu tahu apa yang dicemaskan oleh Janu.
"Pulang sekolah tadi kamu sudah makan apa belum?"
"Sudah Tante."
"Kalau belum kamu bilang aja ya biar aku pesen makanan buat kamu. Oh ya kita nginep malam ini gak apa-apa kan?"
Janu melihat kearah wanita cantik yang memasuki usia awal empat puluh tahunan itu.
"Apa harus nginep Tante?"
"Ya gak juga sih cuma aku ingin istirahat di sini kalau malam-malam aku bawa mobil takut ngantuk," jawab Tante Sarah beralasan.
"Aku bisa bawa mobil, kalau Tante capek aku bisa gantiin Tante." Janu berusaha menolak untuk menginap secara halus.
Tante Sarah tersenyum tipis, lalu melangkah mendekati Janu. Wangi parfum wanita itu langsung masuk menelusup hidung. Janu memalingkan wajahnya sedikit ketika Tante Sarah menyentuh pipinya.
"Kamu ini kan masih pelajar, mana bisa gantiin aku bawa mobil, KTP aja gak punya apalagi SIM."
Janu terdiam, besok memang hari Minggu tapi Janu berharap tidak harus menginap. Meski ini bukan pertama kalinya Janu berdua dengan wanita yang lebih tua akan tetapi cowok remaja itu tetap tidak terbiasa masih ada rasa berdebar karena takut.
"Ayo masuk kamar, aku mau mandi dulu."
Janu mengangguk canggung.
"Rileks aja Janu mukanya jangan tegang gitu, nanti aja di kamar tegangnya," ucap Tante Sarah dengan senyum penuh goda.
Janu menelan ludah. Mulai gugup, gelisah, ada rasa takut.
Hal yang paling menyiksa ketika berada berdua dengan seorang wanita.
Tante Sarah lalu menggandeng tangan Janu membawa remaja itu masuk ke kamarnya.
Sebuah kamar yang indah, dengan tempat tidur yang luas berlapiskan seprai warna merah muda. Tante Sarah belum pernah membawa Janu ke rumah ini, sebelumnya mereka akan menghabiskan waktu di hotel. Janu tak tahu dan tak mau tahu ini ruamh siapa. Tidak penting untuknya. Yang terpenting malam ini semoga cepat berlalu.
"Kamu gak ingin ke kamar mandi dulu?" Janu menoleh kearah Tante Sarah yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.
Wanita itu hanya mengenakan handuk yang melilit menutupi bagian dada hingga batas paha. Meski sudah memasuki usia awal 40 tahun, Tante Sarah masih terlihat begitu cantik, kulitnya putih dan halus. Tubuhnya langsing dan masih kencang. Barangkali Tante Sarah sering melakukan perawatan. Makanya dia tetap segar dan cantik.
"Gak Tante," keringat dingin mulai membasahi kening Janu.
"Oh ya ini buat kamu," Tante Sarah mengeluarkan dua smartphone dari dalam tasnya. Lalu ia berikan pada Janu.
"Tapi aku gak butuh ini Tante," tolak Janu
"Kamu gak butuh, tapi aku butuh kamu pakai ini, kalau kamu punya HP ini aku bisa hubungi kamu kapan aja tanpa harus lewat Tante kamu."
"Tapi kenapa dua?"
"Satu buatmu satu lagi buat adik kamu di kampung, dia pasti gak punya hp kan, bisa kamu kirim ini buat dia, jadi kamu bisa hubungi keluargamu,ya kan."
Janu diam sejenak, apa yang dikatakan Tante Sarah ada benarnya juga. Tapi...
"Ini terlalu bagus, ibu akan tanya dapat uang dari mana bisa beli barang mahal seperti ini."
"Kamu anak sekolah, pasti bisa bikin alasan. Yang penting adikmu bisa punya HP buat komunikasi kalian," jelas Tante Sarah.
Tante Sarah memang berbeda dari wanita lain yang pernah bersama Janu. Wanita cantik itu menginginkan kepuasan dari Janu tapi dia tak melulu hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia perhatian, jika berdua dengan Janu dia sering bertanya tentang sekolah Janu, keluarga bahkan cita-cita cowok remaja itu.
Mungkin Tante Sarah tidak menganggap Janu hanya pemuas hasratnya. Mungkin saja wanita itu menganggap Janu seperti kekasihnya.
Tante Sarah duduk di tepi ranjang tepat di samping Janu, wanita itu tersenyum sambil mengamati cowok remaja di sampingnya.
"Tante mau sekarang?" Tanya Janu dengan wajah gugup.
Tante Sarah tertawa pelan.
"Kamu nawarin aku kayak lagi nawarin apa aja," kata Tante Sarah sambil menahan tawa.
Janu diam. Apa dia salah? Memangnya harus bilang gimana.
"Aku gemes kalo liat muka gugup kamu gini, kita udah sering ketemu tapi kenapa kamu masih gugup dan kayak takut gini, apa aku serem ya?" tanya Tante Sarah berusaha membuat rileks Janu.
Jarinya yang lentik membelai helaian rambut Janu. Cowok remaja itu berusaha mati-matian untuk tenang, agar lebih rileks.
Tante Sarah mulai mendekatkan wajahnya ke arah Janu, lalu mencium bibir cowok remaja itu. Untuk sesaat Janu menegang, tubuhnya kaku. Hatinya berteriak menolak. Setiap akan memulai ini remaja itu akan perang batin terlebih dahulu.
Usianya masih remaja harusnya dia sedang belajar di kamarnya mengerjakan PR seperti Ricky saudara sepupunya itu. Bukan berada di tempat ini bercinta dengan seorang wanita yang jauh lebih tua darinya.
Janu mulai membuka bibirnya, membalas ciuman Tante Sarah. Mau tak mau Janu harus begitu, akalau tidak melayani dengan baik takut Tante Melda akan memarahinya wanita-wanita yang dulu suka protes dan mengadu pada Tante Melda jika Janu melayani dengan setengah hati. Namun, belakangan ini Tante Melda tidak lagi memarahinya. Mungkin karena Tante Sarah yang tidak pernah protes pada Tante melda atau memang Janu kini mulai pandai.
Dalam hitungan menit baju yang Janu pakai telah lepas dari tubuhnya. Menyisakan celana jeans miliknya.
"Aku rasa kamu udah cukup belajar, kali ini aku gak pengen bimbing kamu lagi, jadi.... kamu tahu harus gimana kan," bisik Tante Sarah. Hembusan nafasnya menerpa bulu-bulu di perpotongan tengkuk remaja itu.
Hati bisa saja menolak tak ingin melakukan ini, namun tubuh bereaksi lain. Biar bagaimanapun Janu remaja laki-laki normal dia punya hasrat, jika tubuhnya terpancing tentu saja hasratnya akan mencuat.
Remaja itu menarik handuk yang melilit di tubuh Tante Sarah.
Dalam satu tarikan handuk itu terlepas. Menampilkan lengkuk tubuh wanita usia 40 tahunan yang masih terlihat kencang.
Dari semua wanita dewasa yang pernah Janu layani, Tante Sarah lah yang memiliki tubuh paling indah. Dadanya masih kencang, kulitnya putih halus dan harum.
Janu mendorong tubuh Tante Sarah, wanita itu tidur terlentang, rambutnya yang masih basah itu terurai, sebagian helaian menutupi wajahnya.
Wanita itu mendesah, mendongak ke atas ketika Janu mulai mendaratkan bibir di atas dadanya. Seperti seorang bayi Janu menyusu mengecap payu dara wanita di bawahnya, perlahan satu tangan Janu mulai bergerak meremas lembut dada Tante Sarah.
Tante Sarah mulai dibuat mabuk kepayang oleh cowok remaja 17 tahun yang berada diatasnya. Wanita itu menggigit bibirnya sendiri menahan sensasi panas nikmat yang menjalari seluruh tubuhnya.
Janu bergerak di atas tubuh Tante Sarah, menghentak, menghujam inti tubuh Tante Sarah mengikuti naluri lelakinya.
Tante Sarah menggelinjang nikmat, tubuh langsingnya berguncang naik turun mengikuti ritme hentakan yang di lakukan Janu di bawah sana.
Dua insan yang terpaut usia sangat jauh itu, menghabiskan waktu dalam pergulatan gairah bersama-sama meneguk nikmatnya penyatuan tubuh.
Tante Sarah rela membayar berapa saja asal bisa terus merasakan nikmat ini. Tak peduli Janu hanya remaja usia 17 tahun namun jika di atas tempat tidur Janu bukan remaja lagi.
Janu hanya akan gugup,canggung hanya di awal saja, jika sudah terpancing sisi pejantannya akan keluar, mendadak berubah menjadi laki-laki sejati.
Bersambung....