Jam dinding menunjukan pukul sembilan malam janu masih duduk di meja belajarnya mengerjakan tugas sekolah untuk di kumpul esok hari. Karena pekerjaannya Janu jadi tidak bisa mengerjakan tugasnya siang hari.
Sekalipun Janu tidak pernah ikut les private seperti teman-temannya di sekolah. Namun Janu termasuk murid yang pintar di sekolah. Nilainya selalu bagus, dia selalu masuk tiga besar setiap semester. Bahkan dia pernah menjadi juara satu umum saat masih duduk di bangku kelas x ketika pamannya masih hidup.
Pintu kamar Janu terbuka, Ricky saudara sepupu Janu masuk kedalam kamar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Nu…" panggil Ricky.
"Hmmmm…."
"Mama jam segini kok belum pulang ya.."
Janu menghentikan gerakan menulisnya. Ia menoleh ke arah saudara sepupunya.
"Memang pergi kemana? Pamit gak tadi?"
Ricky menggeleng lemah.
"Aku pulang main, Mama sudah gak di rumah" terang Ricky.
"Mungkin main kerumah temannya."
"HP-nya gak aktif Nu."
"Jangan khawatir Tante nanti pasti pulang."
"Kenapa Mama gak mau jaga perasaanku?" Ricky memiringkan tubuhnya lalu menekuk kedua kakinya.
"Kalau sampai teman-teman tahu kelakuan Mama seperti ini aku malu Nu," kata Ricky dengan suara serak.
"Sejak Papa meninggal Mama berubah. Dia jual kamu sama tante-tante, dia sering pulang malam dan aku gak tau apa yang Mama lakukan diluar sana." lanjut Ricky.
"Sekarang dia jual kamu, bisa jadi nanti aku yang Mama jual," suara Ricky berubah pelan namun Janu masih bisa mendengar.
"Tante gak akan lakuin itu ke kamu"
"Kenapa gak, bisa saja, buktinya sama kamu aja Mama tega."
"Kalo pun iya, aku gak akan biarin Tante lakukan itu ke kamu," Janu bersungguh-sungguh. Dia tidak akan membiarkan Ricky melakukan apa yang ia lakukan selama ini. Cukup dia yang merasakan. Dia tidak akan membiarkan anak dari pamannya itu terjerumus dalam jurang neraka yang sama.
"Kalau kamu sudah lulus, kamu akan pergi dari sini ,dan aku akan jadi sasaran Mama berikutnya," lirih Ricky.
Janu terdiam. Ia tahu apa yang saudara sepupunya itu takutkan. Walau pelan Janu bisa mendengar Ricky terisak.
Janu berdiri dari kursi lalu melangkah mendekati Ricky.
Duduk di tepi ranjang tempat tidurnya. Perlahan Janu mengulurkan tangannya, lalu membelai rambut saudara sepupunya itu.
"Kalau aku lulus sekolah, aku keluar dari sini, aku tetap akan jagain kamu ky..kamu harus lanjut kuliah. Aku akan kerja keras. Aku gak akan biarin apa yang kamu takutkan itu terjadi."
"Aku bukan tanggung jawabmu, aku ini tanggung jawab Mama."
"Aku kakakmu ky, kamu juga tanggung jawabku."
Suasana menjadi hening sesat. Hanya terdengar isakan Ricky. Remaja itu walau terlihat anak Mama namun di dalam hatinya ia menyimpan rasa ketakutan teramat sangat tentang nasibnya.
"Janu…"
"Hmmm…"
"Maafin aku ya….maafin Mama. Aku dan Mama cuma Jadi beban hidupmu."
"Jangan pikirin itu, tugasmu sekarang belajar usahakan nilai mu selalu bagus biar bisa masuk universitas jalur beasiswa kan lumayan."
Remaja yang satu tahun lebih muda dari Janu itu menganggukan kepala tanda mengerti.
"Janu…." Panggil Ricky lagi.
"Apa lagi?"
"Aku tidur sini ya…"
Janu terdiam, tak langsung menjawab.
"Gak boleh ya?" Ricky bangkit duduk lalu melihat ke arah Janu.
"Terserah, jangan ngorok kamu."
Ricky tersenyum, lalu kembali membaringkan tubuhnya ke atas kasur sambil memeluk guling.
Janu kembali mengerjakan tugas sekolahnya.
Selesai mengerjakan tugas sekolahnya Janu merapikan buku ke dalam tas. Ia lalu menoleh ke arah ricky, Janu melangkah mendekati Ricky lalu menarik selimut ke atas untuk menutupi tubuh saudara sepupunya yang sudah terlelap tidur.
Janu mendesah pelan. Memandangi wajah damai anak satu-satunya dari paman yang sangat baik padanya dulu. Remaja itu berjanji dalam hati, ketakutan Ricky tak akan ia biarkan jadi nyata. Dia tidak akan membiarkan Tante Melda melakukan hal yang sama pada Ricky. Cukup dirinya saja.
Remaja berusia 17 tahun, harusnya Janu mengisi hari-harinya dengan belajar, bermain, berkumpul dengan teman-temannya. Namun hanya salah satu dari tiga hal itu yang bisa Janu lakukan. Bermain dan berkumpul dengan teman tak pernah masuk dalam kamus hidupnya belakangan ini.
Dengan usia yang masih teramat belia, remaja itu di paksa harus berpikir tentang masa depan. Memikul tanggung jawab orang dewasa di pundaknya. Namun sekarang Janu punya kata-kata penguat di saat dia merasa tak sanggup memikul beban ini sendiri. Seseorang mengatakan padanya 'Apapun masalah hidupmu, pasti ada jalan keluarnya' entah kenapa Janu selalu meyakini kalimat itu adalah benar.
Sesulit apapun dia pasti bisa melalui. Dia tidak akan menyerah. Cukup sekali dia menyerah pada hidup. Sekarang selagi nafas masih berhembus dia akan memperjuangkan keluarganya. Ibu, adik serta Ricky adalah tanggung jawabnya entah bagaimanapun caranya.
Drtttt...drttttt….
Suara getar ponsel mengagetkan Janu. Ia melihat ke layar ponsel sebuah panggilan Video call dari nomor baru.
Janu sedikit ragu, namun akhirnya ia menekan tombol yes untuk menerima panggilan Video itu.
"Mas Janu….."
Wajah seorang gadis remaja memenuhi layar ponsel Janu.
"Dian…." senang Janu melihat wajah adik kesayangannya ada di layar ponselnya.
"Kiriman Mas Janu sudah sampai ya?" Janu teramat sangat senang sampai hampir menangis. Selama ini baru ini ia bisa melihat wajah Dian pasalnya Janu tak pernah pulang ke rumah ibunya selama dia tinggal di rumah pamannya, sekalipun saat liburan sekolah.
"Iya Mas…. Makasih ya Mas Janu, Dian seneng banget, Mas Janu sukses di sana ya?" kata Dian polos.
"Kok kamu telpon jam segini Dian?"
"Kan paketan Mas Janu baru sampai tadi siang, Dian harus naik sepeda sama ibu ke konter yang ada di jalan lintas depan sekalian belajar cara pakainya Mas" jelas Dian dengan wajah semangat.
Janu berkaca kaca mendengar cerita adiknya. Bisa ia bayangkan adik dan ibunya pasti kepanasan naik sepeda tua ke konter yang letaknya jauh dari rumahnya.
"Sekarang sudah bisa kan…"
"Sudah Mas... HP-nya bagus banget mas, ini pasti mahal. Dian gak perlu kirim surat lagi buat Mas Janu. Bisa video call gini bisa liat langsung Mas Janu."
Janu tersenyum melihat binar bahagia dari wajah adiknya yang mulai remaja itu.
"Ibu mana?"
"Ohhh iya...sini Bu, lihat Mas Janu, makin putih, makin ganteng Bu."
Tak lama kemudian Janu melihat wajah ibunya memenuhi layar ponsel. Hati Janu terenyuh, ahhhh dia sangat merindukan wajah ibu. Wanita paling hebat dalam hidupnya.
"Janu…" panggil sang ibu dengan suara bergetar, wanita itu justru mulai menangis tersedu saat melihat wajah anak laki-lakinya dari dalam ponsel.
Begitupun dengan Janu, melihat ibunya meneteskan air mata, ia juga ikut tak bisa membendung air matanya. Remaja itu ikut menangis ia bahkan tak bisa mengucapkan satu patah kata pun. Yang ada hanya isakan dari keduanya.
Rasa rindu dan bersalah bercampur aduk menelusup dalam dada.
Janu mengusap air matanya. Sebisa mungkin ia memenangkan hati agar bisa bicara dengan sang ibu.
"Ibu gimana kabarnya?"
"Ibu baik baik saja, kamu gimana Janu? Ibu kangen.."
Janu kembali ingin menangis namun sebisa mungkin ia tahan.
"Janu juga kangen sama ibu dan Dian," jawab Janu sambil tersenyum.
"Kabar Tantemu dan Ricky gimana?"
"Tante sehat, Ricky juga. Tapi mereka sudah tidur. Ini Janu lagi di teras depan"
"Salam buat mereka ya, Janu….kamu gak usah selalu kirimin uang tiap bulan buat ibu apalagi barang mahal begini nak, harusnya ibu yang kirimin kamu uang jajan bukan kamu kirimin ibu, kamu sekolah dan belajar aja biar lulus dapat nilai bagus."
"Gak apa-apa Bu.. Janu kan sambil kerja, dan kerjanya gak ganggu belajar Janu kok, ibu tenang aja."
"Tapi ini HP-nya pasti mahal banget."
"Itu..itu.. menang undian Bu, dapat dua sekaligus lumayan bisa buat Janu dan Dian," dusta Janu pada ibunya.
Wanita yang tak lagi muda itu percaya begitu saja. Di kota mungkin saja sering ada undian berhadiah dan anaknya adalah salah satu yang beruntung. Begitu pikirnya.
"Ibu jaga kesehatan, jangan capek-capek, Dian bantu ibu terus kan."
"Iya mas janu. Dian selalu bantu ibu kok." Dian mendekatkan kepalanya pada ibunya agar terlihat pada layar ponsel.
Mereka bertiga untuk beberapa menit melanjutkan obrolan dalam video call saling melepas kangen satu sama lain.
Janu sangat bahagia berkat pemberian Tante Sarah ia bisa melihat wajah ibu dan adiknya. Namun, di lain sisi remaja itu hatinya begitu sakit. Ia harus membohongi ibunya tentang asal usul ponsel yang ia berikan pada adiknya.
Apapun akan Janu lakukan asal ibu dan adiknya bahagia. Sekalipun harus mengorbankan dirinya.
Bersambung...