Sebuah mobil berhenti depan pintu gerbang sekolah. Keluar Nadira dari dalam mobil itu. Setiap pagi hari Ayah Nadira mengantar gadis itu berangkat sekolah, Maklum Nadira adalah anak tunggal dari seorang duda mapan. Ayah Nadira adalah seorang pengusaha yang lumayan sukses di kota tempat tinggal mereka. Ayah Nadira adalah seorang kontraktor yang bergerak di bidang pembangunan perumahan. Secara materi, Nadira tak kekurangan satu apapun. Namun, tetap saja ada yang kurang dalam hidup gadis remaja itu.
"Nadira ... " panggil sang Ayah dari dalam mobil, duda tampan itu menurunkan sedikit kaca mobil supaya bisa melihat putri tunggalnya.
"Ayah gak pulang tiga hari, kamu baik-baik di rumah ya."
Nadira terdiam sesaat, lalu kemudian ia menganggukkan kepala pelan.
"Hati-hati Ayah … "
Sang Ayah tersenyum. Lalu kemudian menutup kaca mobil. Perlahan mobil mulai bergerak meninggalkan Nadira yang masih terpaku diam, melihat kepergiaan mobil sang Ayah.
Nadira menghela nafas pelan. Itulah salah satu kekurangan gadis remaja yang cantik itu. Dia hanya punya Ayah, dia tidak punya ibu. Ibu Nadira meninggal ketika melahirkannya. Sampai usia Nadira sekarang ini ayahnya tidak pernah menikah lagi. Tetap menduda sambil membesarkan Nadira. Nadira tak pernah melarang Ayahnya untuk menikah lagi, karena sesungguhnya gadis remaja itu juga ingin punya seorang ibu. Namun, sayang. Ayah Nadira lebih suka sendiri. Pria itu tak menikah lagi.
Sebagai gantinya, Ayah Nadira selalu sibuk dengan pekerjaan. Hingga terkadang Nadira merasa kesepian. Ia selalu ditinggalkan di rumah sendirian hanya bersama pembantu yang menjaganya. Hidup gadis remaja yang dianggap seperti tuan putri oleh teman sekolahnya ternyata tak seindah yang terlihat. Si tuan putri itu gadis remaja yang kesepian.
Setelah mobil sang Ayah tak terlihat lagi, Nadira memutar tubuhnya. Lalu melangkah masuk pintu gerbang sekolah. Ia berjalan menuju ruang kelas. Hari ini dia sengaja meminta pada sang Ayah untuk mengantar sekolah agak lebih telat dari biasanya. Ia sedang malas, jika hari ini tidak ada ulangan harian pelajaran bahasa Inggris Nadira lebih milih gak masuk sekolah.
Tepat di depan pintu kelas, Nadira menghentikan langkahnya untuk sejenak. Lalu kemudian gadis remaja itu menarik nafas panjang dan ia hembuskan pelan. Hal itu ia lakukan untuk menenangkan hatinya.
Dia sedang kesal dengan seseorang yang sekarang ini sedang duduk di atas meja kelas, bercanda dengan dua sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Nandes. Cowok remaja itu memang rutin menyambangi kelas Nadira setiap pagi atau di saat jam istirahat.
"Ra …. " sapa Nandes ketika sang pacar terlihat berdiri di ambang pintu kelas.
"Kok mepet banget datangnya," tanya Nandes. Biasanya Nadira berangkat lebih pagi setiap hari Senin.
Namun pertanyaan Nandes diabaikan oleh Nadira.
"Eh..sorry ya aku datang telat," ucap Nadira pada salah satu temannya yang kebetulan akan keluar kelas.
"Gak apa-apa, udah dibantuin Davina tadi jatah lo piket," jawab siswi yang diajak Nadira bicara.
"Sekarang Davina di mana?"
"Kayaknya sih tadi bilang mau ke kantin."
"Ohhh oke … "
Nadira meletakkan tasnya diatas meja, seolah dia tidak melihat ada Nandes duduk di atas meja itu. Lagi gak pengen liat dan ngomong sama cowok satu ini.
"Ra… " panggil Nandes pelan.
Nadira tak menyahut. Tidak mau menatap kearah Nandes.
"Kamu marah ya sama aku?" Menatap wajah cantik Nadira.
Pertanyaan itu ternyata menarik perhatian Nadira untuk melihat ke arah Nandes.
"Kamu bohongi aku Des, aku nungguin, kalo kamu gak bisa keluar setidaknya kabarin aku. Kamu kira enak nungguin berjam jam," ujar Nadira dengan tatapan kesal.
Siapa yang gak kesal jika diberi janji akan dijemput buat malam mingguan ternyata hanya sekedar janji alias tidak ditepati. Dan parahnya tidak memberitahu kenapa gak bisa tepat janji.
"Iya maaf..maaf…" ucap Nandes sembari meraih tangan Nadira.
"Maaf itu gampang Des, kamu apa gak bisa sekedar kirim pesan buat kasih tahu aku?" Masih dongkol jadi gak mudah maafin sang pacar.
"Aku lupa Ra … "
Nadira melepas tangan Nandes kasar.
"Lupa?? Kelihatan banget aku gak penting." ujar Nadira sembari tersenyum kecut.
"Kok gitu ngomongnya." Nandes menunjukan wajah sedih.
"Kenyataan kan.."
Punya pacar yang lupa akan dirinya, punya Ayah yang hanya sibuk dengan kerjaan. Membuat Nadira merasa kesal.
"Aku minta maaf," ucap Nandes mengulangi permintaan maafnya.
"Aku butuh penjelasan, aku butuh alasan. Kamu kemana? Sama siapa? Kenapa gak hubungi aku kalo gak bisa datang?"
Cewek itu gak hanya butuh kata maaf saja. Ada hal yang mereka butuhkan selain itu. Penjelasan.
Nandes tersenyum, tetap tenang. Seolah dia tidak sedang melakukan kesalahan pada sang pacar.
"Aku ketiduran, terlalu capek latihan. Terus aku kelupaan buat kabarin kamu," dusta Nandes, bukankah yang sebenarnya malam itu dia memilih untuk pergi dengan Janu, "maaf Ra.." menatap sedih kearah Nadira.
Walaupun alasan Nandes terdengar tidak meyakinkan. Namun, Nadira memilih untuk percaya. Setidaknya dengan begitu Nadira bisa meyakini bahwa Nandes tidak pergi dengan orang lain. Tahu sendiri kan Nandes itu banyak penggemar. Demi untuk tetap memiliki Nandes gadis remaja itu siap menutup mata dan telinganya. Dia hanya akan percaya Nandes.
"Nda… keluar yuk, gak enak ada pertengkaran rumah tangga nih," bisik Alsaki pada Enda.
"Oke…" jawab Enda, lalu mengikuti langkah Alsaki. Meninggalkan Nandes dan Nadira.
"Al….Lo keluar sama Nandes malam Minggu?" tanya Enda.
Mereka berdua berjalan beriringan.
"Gak tuh…"
"Terus si Nandes jalan sama siapa? Lo denger kan, tadi si Nadira ngambek perkara gak diajak keluar malam Minggu."
"Ya mana gue tau, malam mingguan sama gebetan yang baru kali hehehe."
"Siapa gebetan dia? Nadira aja satu-satunya cewek yang dipacari."
"Ya mana kita tahu, kali aja dia gak cerita sama kita."
"Kalo dipikir si Nandes enak banget ya, bisa pacarin Nadira. Kalau gue jadi dia, bakal gue sayang punya cewek secantik Nadira."
Alsaki merangkul Enda menarik tubuh sahabatnya itu untuk lebih dekat dengannya.
"Kasih tahu gue, apa lo lagi naksir cewek?"
"Emang kalo gue kasih tahu lo mau bantu gue?" Enda balik bertanya.
"Wah… jadi serius nih, ada cewek yang lo suka."
"Setidaknya gue pengen punya pacar kayak Nandes sebelum lulus. Masa sih masa SMA gue jomblo terus," terang Enda, jujur dari hati yang paling dalam.
"Pacaran sama gue mau????" Celetuk Alsaki sambil senyum-senyum mencurigakan.
"Hueekk...mending gue jomblo sampai lulus!'
Enda melepas rangkulan tangan Alsaki lalu mempercepat langkahnya.
"Nda….tunggu!"
"Jangan panggil gue kayak gitu," teriak Enda tanpa menoleh ke belakang.
"Nda…." panggil Alsaki lagi. Sengaja semakin dilarang Alsaki semakin senang memanggil sahabatnya seperti itu.
Salah sendiri. Dulu biasa saja kok dipanggil seperti itu. Kenapa sekarang mendadak jadi merasa risih, kan aneh.
xxxx
Ketika jam istirahat kantin sekolah sangat ramai. Hampir semua tempat duduk di kantin itu terisi penuh oleh siswa-siswi sekolah Nusa Bangsa. Apa lagi sekarang ini di kantin ada Nandes and the gengs. Pesona Nandes membuat para remaja putri betah berlama-lama di kantin. Sedangkan kehadiran Nadira membuat para cowok juga betah di kantin. Yang awal hanya berniat mau beli teh botol saja, akhirnya nambah beli empek-empek demi bisa berlama-lama duduk di meja kantin untuk memandangi wajah cantik Nadira.
Sebagian penghuni sekolah mendukung hubungan Nandes dan Nadira. Mereka itu pasangan paling pas di sekolah. Namun tak sedikit yang berharap hubungan mereka berdua gak perlu lama-lama. Agar Nandes bisa tetap jadi milik bersama sampai di hari kelulusan sekolah. Nandes jadi jomblo jauh lebih baik.
Jangan pikir hanya ada pendukung Nandes dan Nadira di dalam kantin sekolah. Ada sekelompok cewek yang yang kasak-kusuk, menjerit tertahan ketika melihat Alsaki dan Enda. Mereka berdua memang ikut populer di sekolah, itu karena mereka adalah sahabat dekat Nandes. Di mana ada Nandes di situ ada Alsaki dan Enda. Namun bukan hal itu yang membuat dua cowok remaja itu punya penggemar sendiri. Melainkan…
"Gemes banget gak sih...liat deh.. cocok banget ya.."
"Ehhh… eh.. ambil foto, ehhh Vidio sekalian deh."
"Ya ampun Ayah Saki kayak melindungi banget ya."
"Iya dong kan Bunda lemah dan rapuh."
"Kya….." jerit tertahan sekelompok remaja cewek yang duduk tak jauh dari tempat Nandes dan yang lainnya duduk.
Enda menoleh kebelakang kearah sekelompok siswi yang memperhatikan ke arah dirinya dan Alsaki.
"Al..geser duduknya. Jangan deket-deket gue," Mendorong Alsaki sedikit menjauh darinya.
"Apa sih Nda….." sahut Alsaki dengan nada lembut.
Lalu sedetik kemudian terdengar jeritan lagi.
"Kyaaaaaa...!!!!!!" jerit sekelompok siswi tanpa peduli mereka kini jadi pusat perhatian seisi kantin.
"Woiiii...gila ya kalian teriak-teriak gak jelas!!" sembur salah satu siswa merasa gak suka dengan kelakuan sekelompok cewek yang aneh itu.
Enda menatap kesal ke arah Alsaki.' gak usah sok lembut gitu, ngomongnya' batin Enda.
"Kamu kenapa sih liat gue kayak gitu?" Alsaki bingung melihat perubahan wajah Enda.
"Lo kalo ngomong sama gue biasa aja, dan gak usah manggil gue Nda…. Nda… gitu."
"Ya tapi kenapa? Masalah banget ya? Emang nama lo Enda kan. Gue harus manggil Lo apa? Bejo gitu?"
"Ya gak gitu juga!" Enda cemberut. Bibirnya merenggut. Justru terlihat imut.
Alsaki hanya menggeleng kepala. Gak paham apa maksud sahabatnya itu.
Disaat yang sama Nandes mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kantin sekolah. Dia tak menghiraukan perdebatan antara dua sahabatnya. Tak memperhatikan Nadira yang ada di hadapannya.
"Nyariin siapa Des?"
Suara Nadira mengejutkan Nandes.
"Ehhh...gak ada kok."
"Tapi kok kayak nyariin orang gitu sih."
"Nyari siapa hehhe, dah habisin tuh sotonya nanti keburu bel masuk loh." ucap Nandes mengalihkan pembicaraan.
Nadira Kembali melanjutkan makan soto, seperti yang Nandes suruh.
"Ja- Janu…."
Suara Nandes membuat seisi kantin yang sebelumnya bising, tiba-tiba jadi hening untuk sesaat. Semua mata memandang kearah remaja cowok yang baru saja masuk kantin. Janu berdiri di tengah-tengah kantin. Ia menoleh ke arah Nandes yang baru saja memanggilnya.
"Sini, duduk sini." ujar Nandes semangat.
Janu tak langsung datang menghampiri Nandes dan teman-temannya.
Nandes gak sabar, remaja cowok itu bangkit berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arah Janu. Menarik tangan Janu untuk duduk bergabung dengannya dan yang lain.
Janu tak menolak. Dia masih ingat, malam itu dia memberi kesempatan Nandes untuk menjadi temannya.
"Dengerin semuanya!!" suara Nandes meminta perhatian seluruh siswa dan siswi di kantin.
Cowok remaja bertubuh tegap itu berdiri masih menggenggam pergelangan tangan Janu.
"Mulai hari ini Janu jadi temen geng gue, dia bagian dari gue, Alsaki dan Enda jadi siapa aja yang ganggu Janu bakal berurusan sama gue!"
Tidak ada yang tidak tercengang. Dari sekian banyak siswa di sekolah kenapa Janu yang diajak gabung jadi geng-nya si Nandes. Semua jadi bisik-bisik, menyatakan keheranan pada teman masing-masing.
"Al, Enda sorry gue gak sempet ngasih tau hal ini, kalian gak masalah kan Janu gabung sama kita?" Nandes melihat ke arah dua sahabatnya.
"Gue sih senang aja Des hehe," jawab Alsaki.
"Gue juga," timpal Enda.
"Nah lo denger kan, mulai sekarang jangan suka sendiri. Ada gue, ada Alsaki dan Enda. Ada Nadira dan Davina lo bisa gabung sama kita, kalo ada apa-apa lo bisa bilang ke kita. Paham?"
Janu hanya menganggukkan kepala. Wajahnya tak menunjukkan rasa senang atau ekspresi lain. Biasa saja.
"Duduk sini Nu.." Nadira memberi ruang kosong untuk Janu.
Baru saja Janu akan duduk, datang Sefira dengan beberapa pengikutnya.
Gadis berambut ikal itu datang menghampiri tempat dimana Nandes dan yang lain berkumpul.
"Wahhhh ada pengangkatan member baru nih kayaknya." sindir Sefria, gadis itu menyunggingkan senyum mengejek.
"Gak usah cari gara-gara deh kamu, usil banget." Nadira geram, melihat tingkah Sefria paling suka membully Janu.
Sefria menoleh ke arah Nadira.
"Lo ngomong sama gue?" Menunjuk wajah sendiri dengan telunjuk.
"Iya! Kamu kesini cuma mau ganggu Janu kan," jawab Nadira.
Alih alih menjawab Nadira, Sefria gadis berambut ikal itu justru melangkah mendekati Janu yang masih berdiri di samping Nandes.
Melihat Sefria mendekati Janu, reflek Nandes menggeser tubuh tegapnya. Berdiri tepat di depan Janu, seolah menunjukan dia melindungi Janu. Nandes gak lupa gadis iseng ini yang menempelkan permen karet ke rambut Janu, menampar Janu. Sekarang Janu adalah temannya, bagian dari dirinya. Ia wajib melindungi Janu.
Sefria memiringkan kepala, tersenyum mengejek.
"Ohhh...lo sekarang jadi pelindung nih anak, sejak kapan?? Dikasih apa lo sama dia Ha?!"
"Dia temen gue sekarang, lo ganggu dia berarti lo berurusan sama gue." tegas Nandes.
"Hahahaha..." gelak Sefria.
"Ehhh...Lo itu sapa??? Elo kira gue takut sama Lo. Ini anak akan tetap bakalan berurusan sama gue," Sefria menunjuk ke arah wajah Janu,"sebelum dia berhenti…." Gadis berambut ikal itu tak melanjutkan kalimatnya.
"Berhenti apa? Kamu yang selalu ganggu dia tiap hari. Kamu bahkan gak bisa sebutin salah dia itu apa," sahut Nadira.
Sefria menyunggingkan senyum penuh ejek pada Nadira.
"Lo belain anak ini, kasihan banget sih lo jadi cewek cuma cantik doang tapi bego!" ejek Sefria.
"Lo mending hati-hati deh sama cowok lo yang paling keren ini. Jangan sampai cinta lo di bales dusta sama nih cowok." lanjut Sefria. Masih dengan senyum mengejek khas miliknya.
Gadis itu lalu menatap tajam ke arah Nandes, lalu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Janu.
"Lo bisa lolos hari ini. Tapi inget, gue bakalan bikin perhitungan sama lo suatu hari nanti!" ancam Sefria sebelum berlalu dari hadapan Nandes dan Janu.
Gadis berambut ikal yang merupakan anak dari pemilik yayasan sekolah itu, pergi meninggalkan kantin diikuti oleh ketiga pengikut setianya.
"Itu cewek ada dendam apa sih sama Janu," heran Enda, berani bicara setelah Sefria dan geng-nya pergi.
"Lo gak punya utang kan sama tuh cewek," tanya Alsaki pada Janu. Namun, Janu tak acuh seolah dia tak terpengaruh dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Nandes melihat kearah Janu.
"Lo gak usah takut, ada gue sekarang," ucap Nandes pelan.
"Aku gak pernah takut," jawab Janu.
"Gak takut tapi lo diem aja kalo di ganggu dia,"
"Karena aku malas meladeni."
"Whatever! Mulai sekarang gak akan ada yang bisa gangguin lo."
Semua yang mendengar kata-kata Nandes melongo. Terlebih Nadira. Gadis itu diam-diam mengingat-ingat kapan Nandes bersikap melindungi dirinya seperti yang Nandes lakukan pada Janu. Haruskah dia menjadi cewek yang lemah dan selalu tertindas untuk bisa dilindungi Nandes. Agar cowok itu lebih perhatian lagi padanya.
Bersambung..