Sore itu Nandes mengantar Janu pulang. Namun, dua remaja laki-laki itu tak langsung pulang. Nandes mengajak Janu jalan-jalan sore terlebih dahulu menikmati indahnya langit ketika senja.
Nandes menambah kecepatan motornya menembus jalan, angin sore menerpa wajahnya, membuat rambut depan sebagian ke belakang.
Untuk kedua kalinya Janu menghabiskan waktu berdua dengan Nandes, ternyata rasanya menyenangkan. Suasana sore hari yang indah, setelah tinggal hampir tiga tahun di kota ini, Janu baru menyadari kota ini ternyata memiliki daya tarik tersendiri, kota tertata rapi. Walau bukan kota metropolitan namun tidak kalah indah jika dibandingkan kota besar lainnya.
Sepanjang jalan tak satupun keindahan alam yang luput dari pandangan kedua mata Janu. Salah satunya ketika mereka berdua melewati hamparan padang ilalang yang sedang berbunga putih seperti kapas. Tiupan angin membuat hamparan tumbuhan ilalang itu bergerak merumbai mengikuti arah angin. Terlihat begitu indah, semakin indah ketika sang Surya mulai tenggelam dan langit berubah warna menjadi jingga, warna yang hanya akan terlihat ketika senja datang menyapa alam semesta.
Dari spion motor, Nandes bisa melihat wajah Janu. Nandes mengurangi kecepatan motornya lalu sedikit menegakkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Janu.
"Pernah kesini gak?" tanya Nandes.
Ia sedikit berteriak supaya Janu bisa mendengar apa yang dia katakan.
"Gak pernah," jawab Janu.
Nandes tertawa. "Lo kemana aja sih, tinggal di kota ini tapi gak pernah ke tempat ini."
Janu tak menyahut. Dia memang tidak pernah kemana-mana, hidupnya hanya belajar dan kerja paruh waktu. Dia tidak pernah meluangkan waktu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Bagaimana mau senang jika hidupnya saja selalu terbelenggu dalam kepahitan.
"Gimana lo suka gak?" tanya Nandes lagi.
"Iya suka, bagus," jawab Janu.
Janu melirik ke arah lututnya sebelah kiri saat ia merasakan Nandes mengusap pelan bagian itu. Ingin ia tepis tangan Nandes. Namun, akhirnya ia urungkan. Janu membiarkan Nandes mengusap-usap lututnya.
"Mau lihat tempat yang lebih indah dari ini gak?"
"Emang ada? Di mana?" Janu balik bertanya.
"Gak jauh kok, mau gak?"
"Mau ... "
"Kalau gitu pegangan, gue mau ngebut dikit, biar kebagian sunset."
Janu menuruti apa kata remaja bertubuh atletis itu. Ia memegang pinggang Nandes. Tak lama kemudian Nandes menarik tangan Janu, meminta Janu untuk melingkarkan kedua lengannya pada pinggangnya.
"Yang kencang pegangan tuh," ucap Nandes seraya menambah kecepatan motornya.
Janu melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Nandes, tubuhnya sedikit menyentuh punggung kokoh remaja di depannya itu. Meskipun baju Nandes sedikit basah karena keringat tapi tidak membuat dada Janu menjadi sesak, tidak membuat perutnya merasa mual seperti ketika ia memeluk wanita-wanita dewasa dengan wangi parfum menyengat.
Selang beberapa menit mereka berdua sampai di suatu tempat. Benar kata Nandes tadi, tempat yang sekarang ini mereka kunjungi lebih indah. Bukan hamparan Padang ilalang lagi. Melainkan sebuah bendungan yang sangat luas, warga setempat menyebutnya bendungan seribu. Karena luas bendungan itu sekitar seribu meter. Itu kenapa tempat itu diberi nama bendungan seribu.
Nandes menepikan motornya di sekitar bendungan. Lalu Janu turun dari motor. Remaja itu lantas melangkah mendekat ke pinggir bendungan. Di atas air dibangun satu tempat dari bahan kayu yang digunakan pengunjung untuk duduk-duduk sambil menikmati keindahan langit ketika sore hari.
Begitu pula dengan Janu, remaja itu berdiri menghadap hamparan air yang luas, pemandangan alam semakin indah saat matahari perlahan mulai tenggelam dan langit mulai berubah warna menjadi jingga.
"Keren gak tempat ini?" tanya Nandes, remaja itu berdiri tepat di samping Janu.
"Bagus banget, aku gak pernah tahu di sini ada tempat seperti ini," jawab Janu tanpa menoleh ke arah Nandes.
Pandangannya lurus ke depan. Ada rasa kagum dari sorot matanya.
"Kalau lo suka, gue bakal sering-sering ajak lo ke tempat ini." Nandes menoleh ke arah Janu.
Janu tak segera menyahut, ia masih terpukau dengan keindahan langit yang berwarna jingga.
"Langitnya indah, aku suka warna langit waktu senja gini," gumam Janu.
"Oh ya, kalo lo suka warna langit seperti ini, harusnya lo senyum," ucap Nandes masih melihat ke arah Janu.
"Kenapa aku harus senyum?"
"Karena lo suka warna jingga, lo tahu apa artinya warna jingga?"
Janu menggeleng pelan.
"Jingga itu artinya ceria, juga persahabatan. Jadi kalau lo suka langit berwarna jingga seperti ini, lo sekarang harus senyum ke arah gue. Anggap gue warna jingga itu karena gue sekarang adalah sahabat lo dan bakal buat lo ceria Nu ... "
Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara kicauan burung-burung dan hembusan semilir angin.
Tak lama kemudian perlahan Janu menoleh ke arah Nandes. Seiring dengan mentari yang hampir tenggelam dan warna jingga yang mulai terkikis oleh malam. Bibir tipis Janu melengkung membentuk sebuah garis senyuman. Remaja itu untuk pertama kalinya akhirnya tersenyum indah ke arah Nandes.
Seorang remaja yang pernah menariknya dari kematian. Seorang remaja yang menawarkan keceriaan juga persahabatan. Jika harus dengan sebuah senyuman harga yang harus ia bayar untuk dua hal itu, maka Janu berikan. Ia persembahkan senyum terindah yang ia miliki untuk Nandes.
Melihat Janu tersenyum Nandes balas tersenyum. Hatinya terasa begitu lega, akhirnya dia bisa membuat remaja di depannya itu tersenyum. Tak ingin hanya sekali ini. Nandes ingin melihat senyum indah itu terus terukir di bibir Janu. Ia ingin melihat Janu tersenyum tanpa harus ia minta.
"Ini senyum paling indah yang pernah aku lihat Janu," ucap Nandes lirih, ia tak lagi menggunakan kata ganti 'gue' untuk menyebut dirinya sendiri
Perlahan Nandes menjulurkan tangannya, jari remaja itu menyentuh lembut sudut bibir Janu.
"Kamu harus lebih banyak senyum seperti ini, jangan disembunyikan lagi."
Janu menatap dalam ke arah mata Nandes. Sorot mata yang tegas namun juga meneduhkan di waktu yang sama.
Dua remaja itu berdiri berdampingan, mereka menatap jauh pada garis cakrawala. Melihat sang Surya yang mulai tenggelam.
xxxx
"Terimakasih untuk hari ini," ucap Janu seraya mengembalikan helm pada Nandes.
Mereka berdua ada di depan rumah Tante Melda.
"Tumben bilang terimakasih,"
"Kalau begitu aku tarik lagi."
"Hehe kok gitu, oke deh iya ... iya ... sama-sama,"
Dari dalam rumah Tante Melda berdiri dekat jendela kaca, wanita itu mengintip Nandes dan Janu dari balik gorden.
Janu menoleh ke arah jendela rumah, remaja mulai tidak nyaman ketika diperhatikan oleh Tante Melda dari jendela ruang tamu.
"Kalau gitu aku masuk dulu, kamu hati-hati," ucap Janu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.
"Janu .... " panggil Nandes, sebelum Janu membuka pintu pagar rumah.
Janu menoleh ke arah Nandes.
"Besok pagi aku jemput ya ... "
Janu tidak langsung menjawab. Sedikit heran dengan Nandes yang tak lagi menggunakan kata 'gue' untuk menyebut dirinya sendiri.
"Mau kan aku jemput?" tanya Nandes terdengar berharap Janu menjawab 'iya'.
"Eummm ...." Janu menganggukan kepala.
Nandes tersenyum senang. Ia lalu memakai helm-nya lalu menghidupkan mesin motornya.
"Aku pulang .... " pamit Nandes.
Perlahan motor Nandes mulai meninggalkan depan rumah Tante Melda.
Setelah kepergian Nandes, Janu masuk ke dalam rumah. Remaja itu disambut tatapan penuh selidik oleh Tante Melda.
"Dari mana kamu jam segini baru sampai rumah?" tanya Tante Melda sinis.
Biasanya Janu tidak pernah pulang hingga petang, sekalipun kerja di toko Bu Ninik. Itu kenapa Tante Melda bertanya.
"Ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang harus aku ikuti Tante," jawab Janu pelan.
"Kamu tahu gak ini jam berapa? Lagian kamu itu sudah mau lulus untuk apa lagi ikut kegiatan ekstrakurikuler. Dan yang antar kamu tadi siapa? Di mana motormu gak kamu gadaikan kan?"
Ahhh rasanya dada Janu seperti dipukul, sesak dan sakit. Motor yang ia pakai adalah pemberian almarhum Paman mana mungkin Janu melakukan hal yang Tante Melda tuduhkan.
"Itu tadi teman sekolahku Tante, motorku bannya bocor terpaksa aku titipkan di rumah penjaga sekolah, karena bengkel sekitar sekolah sudah tutup," jawab Janu menjelaskan.
"Makanya jangan cuma bisa naikin itu motor saja, kamu harus check. Jelek begitu, almarhum suamiku yang belikan buat kamu. Emangnya orangtuamu yang gak peduli sama kamu itu. Kamu sehat atau gak, kamu makan atau gak. Gak peduli sama sekali," ucap Tante Melda pedas.
Kata-kata Tante Melda rasanya mengoyak hati Janu. Dia hanya punya Ibu, dan bukan karena ibunya yang tidak peduli tapi keadaan yang membuat Ibu seolah tidak peduli pada Janu, tidak pernah berkunjung tidak pernah membantu Tante Melda untuk biaya hidup Janu. Namun, sungguh jika kondisi ekonomi Ibu baik pastilah Ibu memenuhi segala kebutuhan Janu.
"Lain kali aku akan rutin check Tante ... " ucap Janu dengan suara bergetar menahan rasa sakit dalam hati.
"Cepat buat makan malam sana, gak ada apa-apa di meja makan," perintah Tante Melda.
Janu lalu bergegas meninggalkan ruang tamu.
"Tunggu Janu!"
Janu menghentikan langkahnya.
"Tante Sarah gak ajak kamu ketemu?"
"Tante Sarah kayaknya sibuk, jadi gak ngajak ketemu," dusta Janu.
Yang sebenarnya adalah janu lah yang menghindari Tante Sarah, belakangan ini Janu selalu beralasan ini dan itu tiap kali Tante Sarah menghubunginya.
"Kamu bujuk dia kamu rayu dia supaya ketemu kamu, jangan diam saja. Kalau gak gitu gimana kamu dapat uang. Emang dia bakal kasih kamu uang tanpa ada imbalan yang kamu kasih."
"Iya nanti aku hubungi Tante Sarah lagi," ucap Janu, suaranya serak seperti menahan sesuatu di tenggorokannya.
"Dah sana bersihkan diri lalu masak." Kata Tante Melda, menyuruh Janu pergi dengan gerakan tangan.
Dengan langkah cepat Janu segera masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian Janu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di dalam kamar mandi Janu menangis terisak. Berkali kali remaja itu menyeka air matanya namun air mata tak juga berhenti mengalir. Justru semakin deras membasahi pipinya.
Janu ingin tegar, tidak ingin meneteskan air mata. Namun, dia tidak bisa. Rasa sakit dan pedih dalam hati membuatnya menangis. Janu mandi sambil menangis, tiba-tiba saja dia rindu Ibu. Dia ingin pulang, bertemu dengan ibunya.
"Ibu .... " lirih Janu, suaranya tenggelam karena isakan tangis.
"Janu ingin pulang Bu .... " Air mata terus mengalir dari pelupuk mata remaja itu.
Untuk beberapa saat Janu memuaskan diri menangis di kamar mandi, berharap dengan menangis bisa mengurangi rasa sesak dalam dadanya.
Meskipun dia berusaha menerima jalan hidupnya dengan ikhlas namun tetap saja hatinya merasa sakit.
"Tok...tok .... tok .... "
Janu menoleh ke arah pintu kamar mandi.
"Janu ... kamu ngapain kok lama banget mandinya," teriak Ricky dari luar pintu kamar mandi.
"I-iya ... sudah selesai kok ini," sahut Janu.
Tak lama remaja itu keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya.
Ricky berdiri depan pintu kamar mandi, wajahnya terlihat cemas.
"Kamu ngapain sih di kamar mandi lama banget?" tanya Ricky dengan wajah cemas.
"Aku bukan kamu yang mandi cuma butuh lima menit," jawab Janu, sambil berlalu dari hadapan Ricky.
"Mama marahin kamu lagi ya?" tanya Ricky lagi.
"Enggak dia cuma tanya kenapa aku pulang telat."
"Kirain Mama marahin kamu lagi." khawatir Ricky.
Ricky lalu berjalan ke arah ruang makan, remaja yang berusia satu tahun lebih muda dari Janu itu duduk di kursi ruang makan, di atas meja makan ada sepiring nasi dan telur dadar gosong serta tambahan kecap manis diatasnya.
Janu menghentikan langkahnya ketika melihat Ricky memilah bagian telur dadar yang gosong. Janu mendesah pelan, bahkan untuk anak sendiri Tante Melda benar-benar tidak mau ke dapur untuk memasak sesuatu.
Baru saja Ricky akan menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya,
"Gak usah di makan," Janu menggeser piring Ricky.
"Tunggu sebentar nanti aku masakin," imbuh Janu.
"Ahhhh gak usah, gini juga enak kok hhehe ..." tolak Ricky secara halus.
"Jangan ngeyel, kamu bisa tunggu sebentar kan? Aku ganti baju dulu," tegas Janu.
Ricky tidak bisa menolak lagi. Akhirnya dia memilih menunggu Janu selesai ganti baju dan membuatkannya makan malam yang enak. Untung lah Ricky batal makan telur dadar gosong.
xxxx
Di lain tempat, Nandes merebahkan tubuhnya terlentang di atas tempat tidur single bed-nya. Dia baru saja selesai mandi. Nandes hanya mengenakan celana pendek.
Tiba-tiba Nandes teringat sesuatu, Nandes menggerakkan tangannya ke segala arah, mencari-cari ponselnya di sekitar tempat tidur.
Nandes menemukan ponselnya tepat di atas kepalanya. Remaja itu lalu kemudian membuka layar ponsel. Banyak pesan masuk. Salah satunya dari Nadira.
Nandes mengabaikan semua pesan dari Nadira, biasanya Nandes akan selalu langsung menjawab jika mendapat pesan dari Nadira gadis paling cantik di sekolah yang satu bulan ini jadi pacarnya. Akan tetapi kali ini Nandes mengabaikan pesan singkat dari gadis itu. Ada sesuatu yang lebih mengusik hatinya, yang lebih ingin ia lihat. Sesuatu yang tersimpan di ruang ponselnya.
Bibir Nandes menyunggingkan senyuman ketika remaja itu melihat beberapa foto Janu yang sempat ia ambil di lokasi bendungan seribu.
Nandes menggeser layar ponselnya melihat satu persatu foto Janu dari berbagai angle. Semua foto diambil secara candid alias jujur apa adanya Janu tidak melakukan pose. Semua hasil foto terlihat begitu natural.
Hanya ada satu foto yang kebetulan Janu menatap ke kamera.
Nandes menatap foto itu cukup lama.
"Bahkan di dalam kamera pun, kenapa tatapan mata kamu tetap sedih Nu .... "
Remaja itu kembali teringat ketika untuk pertama kalinya Janu tersenyum padanya. Senyum yang indah bersamaan dengan langit berwarna jingga.
Sebuah senyum yang membuat Nandes candu. Nandes ingin melihat senyum itu lagi, dari bibir tipis itu lagi.
Jika memungkinkan ia ingin dirinya menjadi salah satu alasan di balik senyuman itu.
Deg.....
Jantung berdebar.
Nandes menyentuh dadanya.
"Kok berdebar ya .... "
Bersambung....