Setelah hari itu Nandes dan Janu, keduanya terlihat semakin dekat. Janu tak lagi menjaga jarak, dia mulai bisa membuka hati sedikit demi sedikit. Meskipun itu hanya terjadi pada Nandes seorang. Karena jika terhadap orang lain Janu kembali banyak diam. Begitu saja sudah bisa membuat Nandes senang.
"Mau ya Nu," bujuk Nandes, remaja itu langsung melesat ke kelas Janu ketika bel pulang sekolah berbunyi.
"Aku gak bisa Nandes."
"Kenapa gak bisa? Besok kan hari libur. Mau ya ..." bujuk Nandes lagi.
"Kamu tahu kan aku kerja di toko kalau hari Minggu."
"Sesekali ambil libur kan boleh Nu, Alsaki dan Enda udah sering nginep di rumahku, Sekarang giliran kamu."
Janu menghentikan kegiatannya memasukan buku-buku pelajarannya ke dalam tas.
"Sebenarnya ada apa? Kenapa aku harus menginap di rumahmu?" Janu bertanya dengan suara pelan, dia tidak mau terdengar oleh orang lain.
Apa lagi Masih ada Davina di dalam kelas. Gadis itu diam-diam memperhatikan mereka berdua.
"Karena aku mau kenalin kamu sama keluargaku." jawab Nandes sambil nyengir.
Janu mengerutkan kening. Memangnya mereka sedang pacaran, pakai acara kenalin keluarga.
"Untuk apa?"
"Aku sudah bilang kan, Alsaki dan Enda juga kadang nginep di rumah. Sekarang giliran kamu biar sah jadi temanku hehhe ... "
Janu menggeleng pelan. "Ngada-ngada banget sih," ucap Janu seraya berjalan keluar kelas.
Nandes mengikutinya dari belakang.
"Tapi mau kan?" desak Nandes.
"Tunggu aku di gang," jawab Janu singkat.
Mendengar itu Nandes melompat girang. Itu artinya Janu setuju. Janu akhirnya mau pulang bersamanya.
Nandes menunggu Janu di ujung gang perumahan Tante Melda. Sebenarnya Nandes ingin mengantar Janu sampai depan rumah, akan tetapi Janu melarang.
Sesampainya di rumah Janu segera ganti baju biasa, ia lalu menyiapkan beberapa buku pelajaran dan satu stel baju untuk dibawa ke rumah Nandes. Selagi melakukan itu semua, sebenarnya Janu sambil berpikir. Apa yang sedang ia lakukan saat ini, ini seperti bukan dirinya.
Untuk apa dia menginap di rumah Nandes. Janu duduk di tepi tempat tidur, ia kembali memikirkan ulang keputusannya. Remaja itu ragu.
Di saat sedang berpikir ulang, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor Nandes.
"Gak usah bawa baju ganti, pakek bajuku aja nanti."
Membaca pesan itu Janu menarik nafas panjang. Lalu bangkit berdiri, mengayunkan tas ranselnya pada satu bahunya.
"Tante ..."
Tante Melda yang saat itu sedang duduk di ruang tv, menoleh ke arah Janu.
"Ada apa?"
"Aku mau pergi sama Tante Sarah, nginep."
Tante Melda melihat ke arah Janu dari ujung kepala ke ujung kaki.
"Kenapa bawa tas segala," tanya Tante Melda penuh selidik.
"Aku banyak tugas Tante, bisa sambil aku kerjain nanti."
"Emang kamu masih bisa fokus ngerjain tugas kalau lagi sama dia?" Tante Melda tersenyum meremehkan.
Janu mengerti maksud dari kata-kata Tante Melda. Remaja itu memilih tak menanggapi.
"Aku pergi dulu Tante," pamit Janu.
Remaja itu kemudian keluar rumah. Ia jalan kaki menyusul Nandes di ujung gang. Janu terpaksa bohong pada Tante Melda. Jika ia jujur akan menginap di rumah Nandes pasti Tante Melda tidak akan memberikan izin.
Semua akan berjalan lancar jika Janu menyebut nama Tante Sarah. Ada untungnya juga sejak Tante Sarah memberikan ponsel, karena dengan begitu Janu bisa langsung komunikasi dengan Tante Sarah. Tidak perlu melalui tante Melda lagi. Dengan begitu Janu bisa sering beralasan ini dan itu jika sedang tidak ingin bertemu dengan Tante Sarah.
Beruntung Tante Sarah tak pernah memaksa. Wanita itu selalu mau mengerti jika Janu mengatakan sedang banyak tugas sekolah.
"Coba tadi aku nunggu depan rumah, gak perlu jalan kaki gini kan. Seneng bener jalan kaki," ujar Nandes ketika Janu sampai di depannya.
"Yang penting aku sudah ada depan kamu sekarang," jawab Janu sembari menerima helm yang Nandes berikan.
"Iya tapi kan kamu jadi capek jalan sana sini lumayan jauh." Nandes kemudian menghidupkan mesin motornya.
Motor melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan gang rumah Tante Melda. Jarak rumah Nandes tidak terlalu jauh. Selang beberapa menit mereka berdua sudah sampai di depan rumah keluarga Nandes.
Nandes mematikan mesin motornya, Janu turun dari motor, seperti biasa Nandes akan membantu remaja itu untuk melepaskan pengait helm.
Janu sedikit gugup ketika menginjak halaman rumah Nandes, pasalnya ini kali pertama ia dibawa ke rumah seseorang, apalagi akan menginap.
"Gak usah malu, Ayah Ibu baik kok." ucap Nandes sambil senyum-senyum. Seakan bisa merasakan kegugupan Janu.
"Apa hari ini semua keluargamu ada di rumah?" Janu berjalan di belakang Nandes.
"Kalau jam segini sih gak ada orang di rumah, Ayah kerja, jam lima sore baru pulang, kalau ibu biasanya kumpul arisan atau ke rumah Mbak Vera," terang Nandes. Ia membuka pintu rumah lalu menyuruh Janu ikut masuk.
"Kamu punya kakak perempuan?"
"Satu kakak perempuan dan satu kakak laki-laki, aku bungsu."
Janu diam, tak bertanya lagi. Jika di lihat-lihat hidup Nandes sepertinya sangat nyaman. Dia tiga bersaudara dan dia anak terakhir, dia punya orangtua yang lengkap wajar saja jika Nandes terlihat tak punya beban.
"Masuk," kata Nandes mengajak Janu masuk kamarnya.
Perlahan Janu melangkah masuk, remaja itu melihat ke sekeliling kamar Nandes. Lebih besar dari kamarnya di rumah Tante Melda. Sebuah kamar khas cowok penyuka basket, dinding kamar ditempel beberapa poster pemain basket.
Janu meletakkan tasnya di atas kasur lalu duduk di tepi tempat tidur. Remaja itu tertegun ketika melihat Nandes tanpa sungkan melepas pakaian seragamnya. Dia merasa risih melihat Nandes bertelanjang dada memperlihatkan bentuk dadanya yang bidang, otot perut mulai terbentuk sempurna.
Janu menggeser duduknya, menghadap ke arah jendela ketika Nandes melepas celana seragam abu-abu yang ia kenakan. Melihat Janu memiringkan tubuh ke arah jendela, Nandes tertawa kecil. Baru kali ini dia melihat seorang cowok malu-malu melihatnya ganti pakaian. Sedangkan dengan Alsaki dan Enda hal seperti itu sudah biasa bagi mereka.
"Nandes ... kamu sudah pulang ya!" Suara Bu Mira dari arah dapur.
Mendengar suara ibunya sudah pulang, Nandes menarik tangan Janu untuk ikut keluar kamar menemui ibunya.
"Eh tunggu ..." Janu menahan langkahnya.
"Kenapa?"
"Aku malu."
"Kenapa malu, gak apa-apa. Ibu pasti senang aku bawa kamu ke sini, yuk." Nandes kembali menarik tangan Janu.
Membawa remaja itu ke arah dapur untuk menemui ibunya yang sedang sibuk mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam kulkas.
"Ibu masak apa hari ini?" Nandes berdiri tepat di belakang ibunya.
Bu Mira menoleh, wanita itu bengong sesaat ketika melihat seseorang yang belum pernah ia lihat berdiri di samping putranya.
"Ini Janu Bu, temanku. Aku ajak dia buat nginep di rumah kita," jelas Nandes, sebelum ibunya bertanya.
"Teman satu sekolah? Kok belum pernah ibu lihat sebelumnya."
"Baru sekali ini main sini, tapi besok-besok pasti sering main sini. Ya kan Nu?"
Janu hanya tersenyum canggung.
"Ya sudah ajak makan siang dulu, Janu makan ya, jangan malu-malu, harus makan yang banyak ya," kata Bu Mira sambil tersenyum ramah ke arah Janu.
"Oh ya Nandes nanti malam Mbak Vera mau makan malam di sini. Kakakmu Rangga juga pulang, habis makan siang kamu ke pasar belikan ibu beberapa bahan ini ya, tadi pagi ibu lupa mau beli."
Bu Mira memberikan catatan belanjaan yang harus Nandes beli.
"Beli di warung ujung gang itu aja ya Bu, gak usah ke pasar kejauhan."
"Kamu ini bikin ribet, biasanya barang sebiji aja kamu ngacir ke pasar, sekarang belanja agak banyak bilang kejauhan."
"Ada Janu di sini. Masa iya aku tinggal dia."
"Janu kan di rumah sama ibu. Dia gak akan hilang," ujar Bu Mira.
Nandes berdecak kesal. Dia kan malas pergi belanja ke pasar. Untuk apa siang-siang bolong ke pasar. Apalagi yang biasa mau dia lihat sekarang sudah ada depan matanya.
Selagi Nandes pergi ke pasar untuk belanja, Janu membantu Bu Mira di dapur. Awalnya remaja itu merasa canggung. Namun, karena Bu Mira yang terus mengajak Janu ngobrol lama-lama keduanya terlihat akrab.
Bu Mira merasa sangat terbantu dengan adanya Janu di rumahnya hari ini. Karena biarpun Janu remaja laki-laki ternyata Janu pandai memasak.
"Seneng kalau punya anak laki-laki kayak kamu Janu, sudah ganteng pinter masak lagi. Nandes jangankan bantu ibu di dapur, beresin kamar sendiri aja dia gak mau," kata Bu Mira di sela-sela kesibukannya memotong sayuran untuk hidangan makan malam nanti.
"Tapi Nandes bagus dalam bidang olahraga," ucap Janu menanggapi Bu Mira.
"Ya cuma itu saja, oh ya besok-besok kamu sering main sini ya, sekalian ajarin Nandes pelajaran sekolah. Sebentar lagi ujian, ibu khawatir itu anak gak lulus."
Janu tersenyum kecil, "iya, nanti saya bantu Nandes belajar."
Melihat Bu Mira, Janu jadi teringat akan ibunya di kampung. Dulu dia juga sering melakukan hal seperti ini. Membantu ibunya di dapur sambil bercerita tentang banyak hal.
****
Malam ini Janu ikut duduk bersama di ruang makan, bergabung dengan keluarga Nandes, kali ini tidak hanya ada Ibu. Namun, ada Ayah Nandes, Mbak Vera dan Rangga kakak laki-laki Nandes.
Sebenarnya Janu merasa malu dan tidak enak hati, dia bukan anggota keluarga Nandes tapi dia duduk bersama mereka satu meja seolah dia adalah bagian dari keluarga itu.
Janu tak bisa bohong, ada rasa hangat masuk dalam hatinya, meskipun dia bukan anggota keluarga ini tapi keluarga Nandes menyambutnya dengan ramah, seakan mereka sudah saling mengenal satu sama lain cukup lama.
Rasanya Janu sudah lama tidak merasakan kehangatan keluarga seperti ini. Andaikan saja bisa, Janu ingin menghentikan waktu seperti ini, dia ingin berada di tengah keluarga ini sedikit lebih lama. Dia ingin menjadi bagian dari keluarga ini, dia ingin menjadi bagian dari hidupnya Nandes.
Tunggu!!! Janu terhenyak dengan pikirannya sendiri. Remaja itu buru-buru menepis apa yang baru saja terlintas dalam pikirannya.
"Biar saya aja Mbak Vera," kata Janu, ia bangkit berdiri lalu membereskan piring dan gelas di atas meja makan.
"Eh, gak usah gak apa-apa. Kamu sana aja gabung sama Nandes." Vera kakak perempuan Nandes yang merupakan seorang bidan itu menunjuk ke arah kedua adik laki-lakinya yang sedang bermain game di ruang TV.
"Nanti saja, mending Mbak Vera yang duduk di sana biar saya yang bantu Ibu."
"Kamu gak tega lihat perut gendut aku ya," kata Vera sambil mengelus-elus perutnya.
"Ya udah kalau gitu, terima kasih ya Nu," ucap Vera sambil mengulas senyum.
Wanita hamil itu lalu menyusul ke ruang tv untuk bergabung dengan kedua adiknya.
Sedangkan Janu membantu ibu membereskan meja makan. Serta mencuci bekas makan malam mereka.
"Dek, temanmu itu kok manis banget sih," Vera duduk di samping Nandes. Mengusap-usap perut buncitnya.
"Hari ini Nandes berasa lagi bawa calon menantu buat Ibu ya Mbak," sahut Rangga sambil tetap fokus pada permainan game di ponselnya.
Vera terkikik geli mendengar kalimat Rangga.
"Kalau Janu cewek pasti dijadiin mantu idaman sama Ibu hehe" imbuh Rangga.
"Betul, kriteria Ibu banget kan itu. Rajin, pendiam, sopan, cakep lagi," timpal Vera membenarkan ucapan Rangga.
"Emang kalau Janu cowok gak boleh jadi menantu ibu ya???" celetuk Nandes tanpa menoleh ke arah kedua kakaknya.
Vera melempar bantal sofa ke arah Nandes, "jangan iseng Dek."
"Kok iseng sih, serius ini Mbak."
"Ih ... ngaco sih, mana bisa."
"Bisa lah Mbak, jaman sekarang apa yang gak bisa," sahut Rangga.
"Ih ... ngajarin adek sendiri sesat ini anak."
"Awas aja kalian berdua aneh-aneh ya, jangan bikin Bapak sama Ibu kecewa," lanjut Vera.
Sebagai anak paling tua dia merasa berkewajiban mengingatkan dua adiknya.
"Serius banget sih Mbak, cepet tua nanti," ejek Rangga.
"Betul Mbak, kalo serius terus nanti cepat keriput, terus Mas Erik pindah ke lain hati." Nandes ikut-ikutan menggoda kakak perempuannya.
"Emang sok tahu kalian berdua ini, dah ah Mbak mau pulang." Vera bangkit berdiri lalu berpamitan pada kedua orangtuanya ketika melihat mobil suaminya datang untuk menjemput.
Setelah acara makan malam keluarga, Nandes membawa Janu masuk ke dalam kamarnya. Awalnya Nandes ingin ngajak Janu jalan-jalan, tapi Janu menolak. Remaja itu bilang banyak tugas, dari pada keluar rumah tanpa tujuan lebih baik belajar.
Nandes membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, sambil mengamati Janu yang sedang duduk di meja belajarnya. Meja belajar yang hampir tak pernah ia gunakan.
"Nu, gak capek apa belajar terus?" Nandes merasa bosan diabaikan.
"Kamu apa gak ada tugas dari guru?" Janu balik bertanya.
"Ada."
"Terus kenapa gak kamu kerjakan?" Janu memutar tubuhnya menghadap ke arah Nandes.
"Males ... bikin pusing aja," jawab Nandes seenaknya.
Janu menggeleng. "Kamu itu harus seimbang, jangan cuma olahraga saja yang dibagusin, mata pelajaran yang lain juga harus bagus. Kalau ujian, bola basket itu gak akan bisa bantu."
"Baru setengah hari sama Ibu, kamu sudah ketularan bawel kayak Ibu."
Janu kembali duduk menghadap ke meja belajar. Percuma nasehati Nandes.
Nandes bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan mendekati Janu. Lalu menarik dan menutup buku yang dipegang oleh remaja itu.
"Ehh ... kenapa?" protes Janu.
"Besok hari Minggu, bisa kan gak belajar." Lama-lama bosan juga melihat Janu sibuk dengan buku-bukunya.
"Kalau gak belajar terus mau ngapain?"
Nandes terdiam, lalu tersenyum menyeringai. Dia kemudian membungkukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke arah Janu yang mendongakkan kepala ke arahnya.
"Aku ajak keluar gak mau, maunya di kamar aja. Sekarang mau tahu gak kita mau ngapain?" Nandes semakin mendekatkan wajahnya.
Janu menelan ludah, kedua matanya mengerjap beberapa kali. Jantungnya berdegup cepat. Kedua pipinya bersemu merah hingga merambat ke telinga.
"Ma-mau apa kamu???" Janu gugup.
Ia mendorong tubuh Nandes menjauh, lalu bangkit berdiri.
"Sudah malam aku mau tidur," kata Janu cepat.
Ia lalu bergegas naik ke atas tempat tidur untuk menghindari Nandes.
Nandes tertawa geli melihat reaksi Janu yang menurutnya imut dan membuat gemas.
Malam makin larut dua remaja itu kini sedang saling membelakangi di atas tempat tidur.
"Nu ..." panggil Nandes, setelah sekian menit tidak ada percakapan antara mereka berdua.
"Apa?" sahut Janu. Ia tidur miring membelakangi Nandes.
"Apa kamu senang aku ajak nginep di rumahku?"
Janu tak langsung menyahut. Lebih dari senang. Janu sangat bahagia.
"Kamu jauh dari orang tua, aku tahu kamu pasti kangen sama orangtuamu," lanjut Nandes.
Perlahan Janu memutar tubuhnya, sekarang tubuh mereka saling berhadapan satu sama lain. Janu memandangi Nandes lekat.
"Aku gak tahu beban hidup apa yang kamu lalui Nu, aku selalu melihat kesedihan di sini." Nandes mengusap sudut mata Janu, "Boleh aku tahu apa yang bikin kamu sedih?"
Perlahan Janu meraih tangan Nandes dan berkata, "Terimakasih untuk hari ini, hari ini aku bisa rasain lagi hangatnya sebuah keluarga. Ayah, Ibu, Mbak Vera, Mas Rangga. Kamu beruntung memiliki mereka. "
"Kamu juga bisa miliki mereka."
Janu menggeleng pelan. "Gimana aku bisa miliki mereka, aku bukan bagian dari keluarga ini."
"Kalau kamu menjadi bagian dari hidupku, artinya kamu juga bagian dari keluarga ini, bukan. "
Janu terpaku, ia melihat jauh ke dalam mata Nandes. Tak ada gurauan di sana. Yang ada hanya tatapan tulus.
"Kita sama-sama cowok, jangan bicara seolah kita ini Romeo dan Juliet."
"Kalau gitu kita buat sejarah baru. Bukan Romeo dan Juliet. Kita lukis nama Nandes dan Janu."
"Apa kamu sadar dengan yang kamu omongin ini?"
Nandes mengangguk lalu memegang dadanya sendiri, "Aku bukan anak kecil, aku bisa bedakan rasa disini buat kamu itu beda, sama perasaanku untuk Alsaki, Enda atau yang lain. Aku sayang sama kamu Nu, aku ingin lihat kamu senyum terus, aku ingin gak ada kesedihan lagi dari sorot matamu ini."
"Tapi Nandes, kita ..."
"Sttttt ... " Nandes meletakkan telunjuknya pada bibir Janu.
"Bisa kan, kita jalani saja."
Janu kembali diam. Tidak tahu harus bagaimana. Karena ia pun punya rasa sayang yang sama. Hanya saja Janu tahu diri. Siapa dia untuk Nandes. Hidup Nandes sudah sangat lurus, berasal dari keluarga baik-baik, punya pacar yang cantik. Mana mungkin Janu akan tega membawa Nandes ke dalam carut marut hidupnya yang serba berantakan. Belum lagi jika Nandes tahu tentang ia yang sebenarnya.
Mungkinkah saat itu Nandes akan tetap mengatakan sayang padanya. Bisa saja ketika saat itu tiba Nandes akan membencinya.
"Apa yang kamu pikirkan, hmm??" tanya Nandes.
"Lagi mikirin, apa mulai malam ini aku jadi orang ketiga antara kamu dan Nadira."
Nandes tertawa pelan, ia lalu meraih tubuh Janu ke dalam pelukannya.
"Aku akan akhiri hubunganku sama dia," ujar Nandes.
"Jangan!" sahut Janu cepat.
"Kenapa?"
"Nanti kamu ketahuan homo."
Nandes tertawa renyah. Semakin merapatkan pelukannya.
"Sayang banget sama kamu Nu, mulai sekarang aku akan jagain kamu, temenin kamu. Gak akan biarin Sefria atau siapapun sakitin kamu lagi."
Diam-diam Janu tersenyum bahagia. Ia memejamkan mata, pergi ke alam mimpi yang indah. Malam ini ia bisa tidur dengan nyenyak, merasa aman dan nyaman. Mulai malam ini dia punya seseorang yang melindunginya. Rasa beban dan ketakutan dalam hatinya sedikit berkurang. Janu tidak tahu, setelah ungkapkan rasa sayang itu bisa saja semua tidak akan berjalan dengan begitu mudahnya.
Bersambung ....
Chapter selanjutnya, bisa kalian baca di wattpad. Dengan nama pena dan judul yang sama.