Dicky melirik ke arah Janu. Sejak tadi Dicky mengamati Janu, remaja itu terlihat gelisah. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ada apa Nu?
Janu menoleh ke arah Dicky.
"Ada apa, apanya Mas?" Janu balik bertanya.
"Kamu kelihatan gelisah, kamu kerja gak tenang. Ada apa?"
Janu tidak menjawab. Remaja itu kembali menyibukkan diri menyusun barang dagangan.
"Itu sabun cuci piring Nu, jangan kamu susun bareng sabun cuci toilet." kata Dicky memperingatkan.
Dicky makin yakin Janu sedang memikirkan sesuatu. Karena ini sudah kesekian kali Janu salah menyusun barang. Tadi ada orang beli garam diberi gula.
"Kamu gak konsentrasi kerja, kamu ada masalah?" Dicky bertanya lagi.
"Mas … " panggil Janu pelan.
"Iya … "
"Nandes … Nandes …." Janu tak segera melanjutkan kalimatnya. Dia hanya mengulang-ulang menyebut nama Nandes.
"Nandes kenapa Nu?"
"Sore ini dia, dia …" Janu ragu untuk mengatakan apa yang mengganggu pikirannya.
"Nandes kenapa sore ini, ngomong aja. Kenapa kamu kelihatan bingung gini."
Janu kembali diam.
"Nu … " panggil Dicky.
"Nandes hari ini tanding basket Mas babak final, dia minta aku buat nonton."
"Ya ampun Janu, kirain Nandes hamilin anak orang. Terus kenapa kamu kerja, kenapa kamu gak nonton dan semangati dia supaya menang."
"Sudah ada teman-temannya, sudah ada pacarnya yang semangati dia."
Dicky mendesah pelan.
"Tapi yang spesial diminta buat dukung dia kan kamu Nu, pergi sana kali aja dia sekarang lagi nunggu-nunggu kamu."
Janu kembali diam tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Sebenarnya apa yang bikin kamu ragu Nu? Temanmu Nandes minta dukunganmu itu juga sekolahmu kan."
"Sudah ada Nadira pacarnya yang dukung dia Mas Dicky, ada banyak penggemar dia di sekolah yang dukung dia juga. Buat apa aku juga datang mending aku cari uang kan," jawab Janu pelan.
Dia teringat kejadian di kantin, saat Nandes bersikap perhatian berlebihan depan teman-temannya. Kala itu suasana menjadi canggung.
"Nu … tapi dia minta secara pribadi ke kamu kan Nu, artinya dia mengharapkan ada kamu saat dia tanding. Jangan mikirin orang lain, yang dia minta itu kamu. Sekarang aku tanya, beneran kamu gak ingin lihat dia tanding?"
Janu terdiam menundukkan kepala.
"Pergi Nu, semangati dia."
"Tapi Mas … "
"Ikuti apa kata hati, jangan sampai kamu besok nyesel karena gak bisa lihat perjuangan dia buat banggain nama sekolah kalian," kata Dicky sambil mengulas senyum.
"Izin sama Bu Ninik gimana?"
"Tenang aja itu urusanku, yang penting sekarang kamu buruan berangkat, belum telat kan?"
"Harusnya sudah mulai 15 menit yang lalu Mas."
"Ya ampun, udah sana buruan keburu Nandes kalah karena gak lihat muka kamu."
Janu jadi gelisah.
"Aku pergi dulu Mas …" pamit Janu Akhirnya.
Janu lalu bergegas pergi meninggalkan toko.
"Semoga kamu gak telat menyadari Nu, karena hanya sesal kalau kamu telat menyadari perasaanmu." gumam Dicky.
Janu menambah kecepatan motornya, ia berharap dia tidak terlalu telat datang. Benar apa yang dikatakan Dicky, Janu akan menyesal jika dia tidak bisa menyaksikan Nandes bertanding. Karena sesungguhnya hatinya ingin sekali melihat Nandes, menjadi penyemangat Nandes.
Hanya saja Janu menyangkal perasaan itu. Perasaan yang sebenarnya tak ia pahami sepenuhnya. Yang ia tahu dia senang jika Nandes ada di dekatnya. Jantung hatinya bersorak ketika Nandes memberinya perhatian. Meskipun itu hanya perhatian sederhana. Namun, mampu menyentuh bagian relung hatinya yang terdalam.
Siang tadi ketika pulang sekolah, Nandes menghampiri Janu. Remaja bertubuh atletis itu meminta Janu untuk datang ke pertandingan final turnamen basket antar SMA dan SMK di gedung olah raga dekat kantor kecamatan.
"Kamu harus nonton Nu."
"Aku gak bisa, aku harus kerja."
"Bisa libur dulu kan?"
"Buat apa sih aku harus datang, sudah ada Nadira, ada anak-anak lain yang dukung kamu."
"Tapi aku mau lihat kamu ada di lapangan, kasih semangat aku."
"Jangan lebay, kayak apa aja. Maaf aku gak bisa. Semoga menang."
"Tim-ku bakal menang kalau kamu datang semangati aku. Itu janjiku!"
Meskipun menolak, tapi dalam hati Janu berbunga hati. Dia merasa penting. Kehadirannya diharapkan oleh seseorang, dan orang itu adalah Nandes. Seseorang yang menawarkan persahabatan, seseorang yang berjanji akan melindunginya.
Mengingat kejadian siang tadi Janu menyesal seharusnya dia tidak bekerja hari ini, seharusnya dia ikut bersama teman-teman sekolahnya untuk datang memberi dukungan pada Nandes. Dia harus segera sampai tujuan. Janu menambah kecepatan motor bebeknya.
Sesampainya di gedung olahraga Janu bergegas lari menuju pintu masuk, gedung olahraga.
Hampir seluruh tempat duduk di isi oleh pendukung dari sekolah masing-masing. Janu mengedarkan pandangan kedua matanya ke segala arah, mencari teman-teman dari sekolahnya berkumpul. Janu berjalan ke arah bagian kanan ketika melihat murid-murid dari SMA Nusa Bangsa bersorak memberi semangat pada teman-teman mereka yang sedang berlaga di lapangan.
"SMA Nusa Bangsa paling keren yes!!! SMA Nusa Bangsa paling kece yes!!!" teriak pendukung SMA Nusa Bangsa.
Saling bersahutan dengan yel-yel dari sekolah lawan mereka SMA 2 negeri yang tak kalah ramai.
Janu berjalan melewati beberapa penonton menuju barisan duduk bagian tengah. Dia melihat ada Enda di sana.
"Enda …!" Panggil Janu, sedikit berteriak agar suaranya tidak tenggelam oleh suara riuh sorak sorai penonton.
"Eh Janu!" Enda terlihat senang ketika melihat Janu tiba-tiba ada di dekatnya.
"Sini duduk sini." Enda bergeser memberi tempat untuk Janu duduk.
"Kok baru datang, kenapa gak bareng sama kita tadi. Sekolah kita ketinggalan poin banyak." ucap Enda memberi informasi tentang skor babak kedua yang sedang berlangsung.
Janu duduk di samping Enda lalu mengalihkan pandangannya ke lapangan. Di sana ia melihat Nandes. Jika memungkinkan rasanya Janu ingin berteriak memberi tahu Nandes bahwa dirinya datang, itu artinya Nandes harus menang. Sesuai janjinya. Namun, aneh rasanya jika dia berteriak seperti itu apa lagi di sisi kiri Enda ada Nadira kekasih Nandes.
Babak kedua selesai, skor berakhir 15:30. SMA 2 negeri lebih unggul 10 poin dari Nusa Bangsa. Walaupun begitu semangat dukungan untuk Nandes dan team tidak surut sedikitpun. Namun, tidak untuk pak Adi sang pelatih.
Guru olahraga sekaligus pelatih basket SMA Nusa Bangsa itu berjalan cepat mendekati anak-anak didiknya ketika wasit memberi kode istirahat sebelum masuk babak ketiga.
"Nandes!!!! Apa yang kamu lakukan di lapangan?! Tidur?!" Wajah pak Adi merah padam, kedua bola matanya melotot ke arah Nandes.
"Ada apa sama kamu ha!! Di mana fokusmu? Mata kamu jangan sibuk melihat ke arah penonton! Lihat lawan kamu! Fokus pada bola!" Masih dengan nada tinggi.
"Pak kita ganti strategi mungkin Pak," celetuk salah satu pemain.
"Gak perlu ganti strategi!!!" Pak Adi makin geram, "Saya yakin kalian bisa unggul jika kapten kalian ini tidak mabuk di lapangan!" Pak Adi menatap tajam ke arah Nandes.
Nandes tidak mengatakan sepatah kata pun, seolah membenarkan semua yang dikatakan sang pelatih. Ia tidak fokus saat bermain. Banyak kecolongan tidak memanfaatkan dengan baik umpan yang diberikan temannya. Matanya sibuk mencari seseorang yang sedang di tunggunya sedari tadi.
Biasanya Nandes tidak seperti itu. Performa dia selalu bagus, itu kenapa dia ditunjuk menjadi kapten team basket SMA Nusa Bangsa. Namun, tidak untuk hari ini. Pertandingan final turnamen kali ini Nandes bermain sangat buruk hal itu mempengaruhi kerja sama antar pemain.
"Alsakiiiiiiii …!!" suara teriakan Enda dari tempat duduk penonton.
Alsaki menoleh, melambaikan tangan ke arah Enda yang tak henti meneriakan namanya. Seakan tak mau kalah saing dengan para siswi yang bersahutan memanggil nama Alsaki. Enda tersenyum puas. Merasa menang ketika teriakannya yang direspon oleh Alsaki.
Dari Enda, netra Alsaki beralih melihat seseorang yang terlihat berbeda dari penonton lain.
"Janu …" gumam Alsaki.
Dari sekian banyak penonton hanya Janu yang terlihat memakai baju biasa. Bukan seragam sekolah. Keberadaanya begitu ketara berbeda jika dilihat dari kejauhan.
Alsaki mendekati Nandes lalu berbisik, "Lihat ke barisan tengah, mood booster lo udah datang."
Nandes menggerakkan kepala. Ia menoleh ke arah penonton barisan tengah sisi kanan. Kedua mata Nandes mengikuti kemana Alsaki menunjuk dengan telunjuknya. Seiring dengan lantunan lagu milik Yellow Claw feat Sara Fahira, music pengiring penampilan cheerleaders sebagai pengisi waktu istirahat sebelum babak ketiga dimulai.
I need your love, i need your love
Cause when you touch me
I can't get enough.
I need your love, i need your love
Cause when you kiss me it feels like a drugs.
Kedua mata remaja itu saling bertemu menatap satu sama lain.
Dada Nandes seketika bergemuruh bersorak ria melafalkan nama Janu. Seperti ponsel yang di isi daya penuh, begitu juga Nandes remaja itu kembali bersemangat, senang tak terkira melihat si pemilik mata sendu itu berdiri di sana diantara teman-temannya. Melihat ke arahnya, meski samar Nandes bisa melihat Janu tersenyum, bibir indah itu tersenyum ke arahnya. Senyum paling indah di antara yang terindah. Senyum bagai candu membuat ia ingin terus melihatnya.
Mungkinkah sang cupid mulai melakukan tugasnya, mungkinkah sang dewa cinta menyapa kedua remaja itu. Menancapkan panah cinta tepat di hati dua remaja laki-laki itu.
Apa namanya jika itu bukan cinta, kedua tatapan mata mereka sudah mengatakan segalanya mewakili ribuan kata untuk menjelaskan isi hati mereka.
Nadira melihat itu, gadis cantik itu melihat Nandes sedang berbahagia namun bukan bahagia karena ada dirinya. Nandes tidak melihat ke arahnya. Pacarnya itu sedang melihat orang lain. Dunia Nandes sedang berpusat pada remaja laki-laki yang tak jauh darinya. Janu.
Nadira menggigit bibirnya, menahan sesak. Ia seakan terhempas ke Padang pasir tandus. Seseorang akan mencuri miliknya. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak akan kehilangan. Dia akan pertahankan miliknya. Bagaimana pun caranya.
Nandes merogoh saku celana kostum basketnya.
"Al, tolong ikat ini ke tangan gue." Menyodorkan sapu tangan ke arah Alsaki.
Alsaki sempat tertegun. Namun, kemudian remaja itu menuruti apa yang diperintahkan Nandes.
"Setelah ini kalau kita gak menang gue bakal marah sama lo Ndes," ucap Alsaki setelah selesai mengikatkan sapu tangan di pergelangan tangan Nandes.
"Lebih dari menang. Gue bakal cetak poin sebanyak mungkin." tukas Nandes dengan semangat.
Tak lama setelah itu wasit utama memberi kode time in sebagai isyarat permainan segera di mulai lagi.
Ke dua tim kembali ke tengah lapangan untuk berlaga. Tidak seperti babak pertama dan kedua, di babak ketiga dan keempat performa Nandes begitu memukau. Ia menampilkan permainan terbaiknya. Seperti yang Nandes janjikan pada Alsaki remaja itu banyak mencetak poin dengan kerap melakukan long shoot sepanjang permainan.
Di akhir permainan Nandes dan tim keluar sebagai juara dengan poin 170:70. Sorak Sorai dari penonton pendukung SMA Nusa Bangsa memenuhi gedung olahraga. Kedua tim saling berjabat tangan setelah permainan usai.
Tak lama setelah itu sebagian penggemar tim SMA Nusa Bangsa berhambur ke tengah lapangan untuk memberikan selamat. Bahkan ada sebagian remaja putri yang secara terang-terangan meminta foto bareng. Seolah tim SMA Nusa Bangsa juara liga basket Nasional.
Sampai di halaman depan gedung olahraga Nandes dan teman-temannya masih dikerubungi oleh penggemar mereka terutama remaja putri.
"Kak minta foto bareng dong," kata salah satu remaja putri pada Nandes.
"Aku juga mau dong foto sama kak Alsaki," ucap remaja putri lainnya.
"Kak tolong fotoin ya." Seseorang menyodorkan ponsel ke arah Enda yang berdiri di samping Alsaki.
Enda menerima ponsel itu dengan bibir merengut.
Cekrek … cekrek
Enda mengambil beberapa kali jepretan. Setelah itu ia mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.
"Lho … Kak, kok ngambil fotonya gini badan Kak Alsaki setengah aja," keluh si remaja putri. Kecewa dengan hasil gambar.
"Ya mana gue tahu tadi kayaknya udah pas kok!" sahut Enda dengan wajah jutek
"Yah … ulangi lagi dong kak tolong fotoin yang bagus."
"Udah sore, Alsaki mau anter gue pulang. Lain kali aja." tolak Enda masih dengan wajah jutek.
Alsaki tersenyum geli melihat tingkah Enda. Akhirnya sebagian remaja putri yang ingin berfoto dengan Asaki harus pulang dengan kecewa.
"Ngapain lo senyum-senyum? Seneng dikerumuni cewek-cewek!" Enda memberikan tatapan membunuh ke arah Alsaki.
"Kok ngamuknya sama gue, sudah sore ayo gue anter pulang," kata Alsaki dengan sabar.
"Mukanya gak usah di tekuk gitu kan gue hari ini menang."
"Bodo!" Enda berjalan ke arah area parkir dengan wajah kesal.
"Kenapa lagi itu anak." Alsaki menggeleng heran.
"Ndes, gue balik duluan ya, lo mau bareng Janu kan"
Nandes menoleh ke arah sahabatnya.
"Duluan deh, iya gue anter Janu pulang." sahut Nandes.
Alsaki kemudian berlari kecil menyusul Enda ke area parkir.
"Aku bawa motor sendiri, ngapain di antar pulang?"
"Gak apa-apa, aku ikuti kamu dari belakang nanti."
"Aku ini cowok gak perlu kamu perlakukan seperti itu."
"Gak peduli kamu cewek atau cowok kalau aku mau anterin kamu ya aku anterin. Titik."
Seketika wajah Janu merona merah hingga telinga. Ada rasa senang membuncah di hatinya.
"Nandes …." panggil Nadira.
Gadis itu berjalan mendekati Nandes dan Janu.
"Ra …"
Nadira mengulas senyum, "selamat ya, kali ini kalian menang lagi."
"Makasih ya Ra …oh ya kok belum pulang? Sopir belum jemput?"
Nadira menggeleng.
"Sudah aku telpon dari tadi tapi gak nyambung."
Nandes jadi bingung, sebagai pacar dia harus mengantar pulang Nadira apalagi hari mulai sore. Gak baik buat cewek kalau harus menunggu kelamaan di halaman gedung olahraga. Apa lagi naik kendaraan umum lebih bahaya lagi. Tapi gimana sama Janu.
"Anterin Nadira pulang, kasihan ini sudah sore keburu gelap." kata Janu menyarankan.
"Davina sudah pulang duluan ya Ra, kok gak bareng dia aja tadi?" Pertanyaan Nandes membuat Nadira sedikit kecewa.
"Kalau gak mau anterin aku pulang gak apa-apa kok, aku bisa pulang sendiri."
"Kok gitu ngomongnya, ya udah aku anterin pulang." Nandes jadi gak enak hati akan jawaban Nadira yang seolah menunjukan dia bukan pacar yang bertanggung jawab.
"Nu, aku anterin Nadira pulang dulu ya, kamu jangan kemana-mana. Tunggu aku di sini."
Janu menganggukan kepala pelan.
"Yuk Ra …"
Nandes mengantar Nadira pulang. Sedangkan Janu berdiri di tempat yang sama untuk menunggu Nandes.
Jika Nandes berpikir hanya mengantar Nadira saja, dia salah besar. Nyatanya sesampainya di rumah Nadira gadis itu memaksa Nandes untuk mampir dulu.
"Tapi Ra, badanku lengket keringetan masa mau mampir sih, lain kali aja ya."
"Kamu bisa mandi, kebetulan aku kemarin belikan kamu baju, belum sempat aku kasih ke kamu. Ayo Ndes, kamu udah lama kan gak main ke rumah."
Nandes menimang-nimang tawaran Nadira. Ia ingin sekali menolak tapi dia juga gak tega melihat tatapan memohon gadis cantik di depannya itu.
"Sebentar aja ya."
Nadira mengangguk mengiyakan.
Kedua remaja itu masuk ke rumah. Rumah Nadira besar sesuai dengan predikat tuan Putri yang ia sandang di sekolah. Rumah gadis itu besar dan bagus. Namun, suasana dalam rumah begitu sepi.
"Ayah kamu gak di rumah?"
"Ayah kerja, dia memang jarang di rumah."
Nadira memberikan satu paper bag berisi pakaian ke arah Nandes.
"Pakai aja kamar mandi tamu, aku juga mau mandi dulu."
Nandes menerima paper bag yang Nadira berikan padanya. Lalu pergi ke kamar mandi tamu.
Selang beberapa menit Nandes selesai mandi. Remaja itu menunggu Nadira di ruang tamu.
"Mau minum apa Ndes?"
Nadira keluar dari kamarnya berjalan menghampiri Nandes di ruang tamu. Nandes tertegun melihat penampilan gadis yang menjadi pacarnya itu.
Nadira mengenakan pakaian rumah yang sangat transparan sehingga mencetak bra warna merah yang sedang ia kenakan.
Sebagai seorang cowok tentu saja Nandes tidak melewatkan pemandangan itu. Baru kali ini dia melihat Nadira mengenakan pakaian seperti itu.
"Mau minum apa?" tanya Nadira lagi.
Nandes berdehem beberapa kali. Mencoba menenangkan jantungnya.
"Apa saja Ra …"
Nadira ke arah dapur untuk membuatkan Nandes minuman dingin.
Taka lama kemudian Nadira kembali ke ruang tamu sembari membawa dua gelas minuman dingin. Gadis itu lalu duduk di samping Nandes. Ia merapatkan tubuhnya untuk lebih dekat pada cowok yang membuatnya jatuh hati.
"Ehumm Ra …" Nandes berusaha menghindar ketika Nadira terus merapat pada tubuhnya.
"Kenapa? Kamu gak suka dekat-dekat aku?"
"Gak gitu Ra, tapi …"
"Tapi kenapa? Kita pacaran gak apa-apa kan bersentuhan sedikit."
Nandes menelan ludah. Ia membuang pandangannya kemana saja asal tidak fokus pada warna merah di balik baju transparan yang Nadira kenakan.
"Ndes …" panggil Nadira lembut.
"Heumm …" untuk sekedar menyahut 'heum' saja Nandes kepayahan.
"Cium aku …."
Glekk …Nandes kembali menelan ludah.
"Kamu gak pernah lakuin itu ke aku, aku ini kan pacar kamu," ucap Nadira dengan suara semakin melembut setengah berbisik.
"Lihat ke aku Fahreza Fernandes" Nadira menangkup wajah Nandes lalu memaksa remaja itu melihat ke arahnya. Kini mereka saling berhadapan satu sama lain.
"Cium aku," minta Nadira lagi.
Wajah cantik Nadira semakin menggoda pertahanan Nandes. Membuat cowok remaja itu lupa, ada seseorang yang sedang menunggunya. Yang mungkin saja sedang sibuk menepuk nyamuk karena hari mulai gelap.
Perlahan Nandes memajukan wajahnya untuk melakukan apa yang Nadira minta. Sesuatu hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Nadira memejamkan mata seiring dengan Nandes yang semakin dekat dengannya. Gadis itu mulai merasakan hembusan napas Nandes, sebentar lagi Nandes akan menciumnya seperti yang diharapkan.
Namun hingga beberapa saat, Nadira tak kunjung merasakan bibir Nandes menyentuh bibirnya. Gadis itu lalu membuka matanya.
"Ada apa Nandes?" tanya Nadira ketika menyadari Nandes menjauhkan diri darinya.
"Maaf Ra, aku gak bisa lakuin itu ke kamu."
"Tapi kenapa? Aku ini pacar kamu!"
"Aku tahu, tapi tetap saja aku gak bisa. Maaf." Nandes lalu bangkit dari duduknya.
"Aku pulang Ra," pamit Nandes.
Remaja itu langsung bergegas keluar dari rumah besar Nadira.
"Nandes!!!" panggil Nadira.
Nandes tak menghiraukan panggilan Nadira. Dia justru mempercepat langkahnya.
Nadira adalah gadis yang cantik, baik juga pintar. Betapa beruntungnya Nandes bisa memiliki pacar seperti Nadira. Namun, Nandes tidak bisa menyentuh gadis itu hatinya menolak. Apa lagi ketika akan mencium gadis itu justru bayangan orang lain datang dalam benaknya.
Bayangan seseorang yang hampir saja ia lupakan. Seseorang yang mungkin saja sekarang ini sedang menunggunya.
Nandes menambah kecepatan motornya. Hari mulai gelap. Sepanjang perjalanan Nandes merutuki dirinya sendiri.
Dia yang meminta Janu untuk menunggunya, namun dia justru hampir saja melupakan Janu.
Nandes langsung menghentikan motornya ketika masuk gerbang gedung olahraga. Gak mau buang waktu Nandes memarkirkan motornya di sembarang tempat. Nandes berlari mengitari area halaman gedung olahraga. Menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sosok Janu. Namun, tidak ia temukan.
Nandes mulai putus asa, mungkin saja Janu sudah pulang karena hari sudah gelap. Ah … Nandes menyesal andai saja dia tidak mengantar Nadira pulang.
Remaja bertubuh tinggi tegap itu berjalan lunglai, ada sesal teramat sangat bercokol dalam hati. Namun, di tengah-tengah rasa sesal itu Nandes dikejutkan oleh seseorang yang sedang duduk sendirian di bawah tiang lampu penerang. Satu tangannya sibuk menepuk nyamuk yang menggigit tubuhnya.
"Janu!"
Janu bangkit berdiri ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Ia lalu menoleh ke datangnya suara itu.
"Janu …" Nandes berlari ke arah Janu. Lalu memeluk tubuh Janu erat.
"Maafkan aku Nu, maaf aku sudah bikin kamu menunggu. Maafkan aku, maafkan aku Nu …"
Entah dorongan dari mana, Janu secara reflek membalas pelukan Nandes. Kedua tangannya ia lingkarkan pada punggung kokoh Nandes. Balas memeluk Nandes erat meresapi hangat tubuh kokoh itu. Jauh berbeda rasanya dibanding dengan tubuh wanita yang pernah memeluknya. Tidak ada rasa mual tak ada rasa takut. Yang ia rasakan hanya hangat dan nyaman dan merasa dilindungi.
"Kamu nyuruh aku buat gak pergi kemana-mana. Makanya aku nunggu kamu di sini" kata Janu pelan.
"Terimakasih, kamu nunggu buat aku."
Mereka berdua saling memeluk satu sama lain cukup lama. Tidak peduli beberapa orang mulai berdatangan untuk melakukan olahraga malam di sekitar halaman gedung olahraga.
Meskipun Janu heran dengan penampilan Nandes yang tak lagi mengenakan pakaian olahraganya, akan tetapi Janu tak mau ambil pusing. Baginya sekarang ini Nandes sudah datang menepati janjinya.
Bersambung ….