Selesai ganti baju, Nandes kembali ke lapangan. Kembali bergabung dengan teman-temannya. Pak Adi selaku pelatih tim basket Nusa Bangsa mulai memberi arahan, mengatur strategi untuk babak final turnamen basket antar sekolah beberapa hari lagi.
Sekolah Nusa Bangsa memiliki tim basket yang patut diacungi jempol. Tim basket sekolah Nusa Bangsa kerap menjadi juara jika ada turnamen antar sekolah. Tidak hanya di bidang olahraga, SMA Nusa Bangsa juga sering mendapat juara dalam bidang akademi yang lain. Karena itu SMA Nusa Bangsa menjadi salah satu sekolah swasta favorite. Para orang tua rela membayar mahal untuk bisa menyekolahkan anak mereka di SMA Nusa Bangsa. Dan buat mereka yang berasal dari keluarga sederhana SMA Nusa bangsa membuka jalur beasiswa.
Seperti Janu contohnya, Janu adalah salah satu murid yang masuk dengan jalur beasiswa. Sampai hingga tahun terakhir di SMA Nusa Bangsa Janu bertahan dengan nilai yang lumayan memuaskan. Meskipun dia tak pernah lagi menjadi juara pertama seperti tahun pertama. Namun, Janu masih terbilang murid cerdas kebanggaan SMA Nusa Bangsa.
Janu melangkahkan kaki melewati beberapa ruang kelas menuju lapangan basket. Bergabung dengan siswa lain untuk melihat tim basket Nusa bangsa berlatih. Hal yang sudah lama tak pernah ia lakukan karena kesibukan. Janu tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler apapun. Jika ada waktu luang dia lebih senang ke perpustakaan. Buat Janu perpustakaan adalah tempat paling nyaman. Hening. Tak akan ada orang yang akan mengajaknya bicara.
Meskipun ragu, Janu tetap melangkah mendekati lapangan, beberapa siswi melihat ke arah Janu, ada yang langsung berbisik satu sama lain, ada juga yang hanya melihat sekilas dan tak peduli dengan kedatangan Janu.
Remaja itu berdiri di antara siswa yang lain, melihat ke arah tengah lapangan.
Pandangan matanya tertuju pada Nandes, remaja cowok yang sebenarnya dari dulu ia perhatikan. Ya betul... Janu sudah lama memperhatikan Nandes, andaikan bisa Janu ingin hidup bebas seperti Nandes. Remaja cowok itu hidupnya terlihat tanpa beban.
Nandes melakukan apa yang dia suka, tanpa peduli dengan aturan. Seolah hidupnya sungguh tidak memiliki beban apapun. Janu ingin seperti itu, Janu ingin bisa bebas seperti Nandes. Tertawa lepas melakukan apapun yang ia mau tanpa harus tertekan dengan sesuatu yang membelenggu hati, mengikat hati dalam ruang sepi.
"Nandes!!! Konsentrasi mu di mana?! Kalau kamu gak mau latihan keluar dari lapangan!!" teriak pak Adi.
Guru olahraga sekaligus pelatih itu geram, Nandes si kapten basket terlihat loyo, ogah-ogahan dalam berlatih.
"Lo Kenapa sih Des, masih marah sama gue perkara Miss Lian?" tanya Alsaki, remaja itu mendekati Sahabatnya yang terlihat tidak semangat berlatih.
"Sejak kapan gue peduli dengan guru yang nyuruh gue keluar."
"Terus kenapa lo kayak kurang sajen gini??"
Belum sempat Nandes menyahut, permainan kembali dimulai. Keduanya kembali fokus pada permainan basket. Kali ini Nandes berusaha bermain lebih baik. Dia adalah kapten tim, harusnya tak ada hal yang bisa mempengaruhi semangatnya ketika berada di lapangan sekalipun ini hanya sesi latihan bukan pertandingan. Dia memfokuskan pandangannya pada bola yang digiring oleh lawan main, berusaha merebut bola dari lawan.
Di saat-saat Nandes merebut bola, matanya sekilas melihat Janu, cowok bermata sendu itu berdiri di pinggir lapangan bersama kerumunan siswa lainnya. Memandang ke arah Nandes untuk beberapa detik kedua mata mereka bertemu, menatap satu sama lain. Nandes tersenyum senang. Lalu kemudian ia kembali fokus pada bola yang berhasil ia rebut.
"Eeeeeeeaa!!" teriak remaja putri ketika Nandes berhasil melakukan jump shoot.
Teriakan para siswi SMA Nusa Bangsa kembali histeris ketika Nandes menyeka keringat di keningnya dengan ujung kaus. Memperlihatkan otot perut yang mulai terbentuk sempurna,ditambah tetesan keringat di sekitar area pusarnya. Membuat para penggemar Nandes semakin menggila.
"Priittttttttttt!!!!" Pak Adi meniup peluit.
Permainan babak pertama usai. Semua anggota tim basket istirahat sejenak sambil membicarakan strategi untuk babak final nanti.
Nandes jalan menghampiri Janu. Mereka berdua berdiri saling berhadapan. Remaja bertubuh tegap itu kembali tersenyum kearah Janu.
"Kirain beneran mau langsung pulang," ucap Nandes.
Janu tak menyahut. Ia ulurkan satu tangannya ke arah Nandes.
"Nih …. " Janu memberi Nandes satu botol air mineral. Sebelum ke lapangan Janu beli air mineral di kantin.
"Thanks ya …" ucap Nandes seraya menerima air mineral dari tangan Janu lalu meneguk air mineral itu hingga hampir habis.
"Jangan biasain belikan air minum Nu, ntar kebiasaan. Terus Nandes bakal suruh-suruh lo buat beliin ini dan itu percaya sama gue."
Nandes dan Janu menoleh kedatanganya suara itu.
Enda jalan mendekati dua cowok yang berdiri saling berhadapan.
"Janu gak akan gue suruh-suruh," sahut Nandes.
"Lah kenapa kalo sama gue berasa kacung lo."
"Muka lo cocok buat di suruh-suruh hehehe,"
Enda mencebikkan bibirnya.
"Pilih kasih lo Des."
"Gue jarang kali nyuruh lo, tuh..suami lo yang sering nyuruh lo ini dan itu." Menunjuk Alsaki yang berjalan ke arah mereka dengan dagunya.
"Suami dari Jonggol amit-amit deh," cibir Enda gak suka.
"Lo kemana-mana bawain tas Saki, apa dong itu namanya," goda Nandes.
Enda melepas tas Alsaki dari bahunya. Baru saja dia akan melempar tas itu ke lantai lapangan, dari belakang Alsaki buru-buru mencegahnya. Alsaki meraih tas miliknya dari belakang.
"Sembarangan sih Nda...ada HP-nya di dalam sini," Alsaki berdiri tepat di belakang Enda. Satu tangannya kedepan mencegah Enda melempar tas miliknya ke lantai.
Enda menoleh kebelakang, jarak antara dirinya dan Alsaki begitu dekat. Remaja itu buru-buru maju satu langkah kedepan ketika ia merasakan sesuatu menyentuh bagian belakangnya.
"Kenapa Lo?" tanya Alsaki saat melihat wajah Enda terlihat aneh.
"Jangan nempel-nempel gue." jawab Enda, sambil menaikkan kacamatanya.
"Emang kenapa kalau gue nempelin lo, gak bakal bunting juga lo. Heran deh kenapa baru sekarang protes gak mau di tempelin." ujar Alsaki.
"Lo gak lihat apa, cewek-cewek seneng kalo liat lo deket-deket gue."
"Ya karena kita teman gimana gak deket, lagian kenapa sih?"
Enda menarik nafas panjang lalu ia hembuskan cepat.
"Gue gak mau mereka mikir gue homo. Karena lo sering nempelin gue terus."
Alsaki mengerutkan kening. Lalu tertawa terbahak.
"Hahaha... sekarang gue tanya lo homo gak?"
"Enak saja, amit-amit!" sahut Enda cepat.
"Ya udah terus masalahnya apa, biarin aja orang bilang apa yang penting lo gak merasa ya gak Des?" Alsaki mengedipkan satu mata ke arah Nandes.
"Betul….nah buat buktiin ke orang kalau gosip itu gak bener lo harus cari cewek. Pacarin tuh cewek biar kelihatan lo laku juga kan hehehe," sengaja makin memanasi.
"Nah bener tuh usul Nandes, buktiin lo punya cewek."
"Dah ahhh males gue ngomong sama lo berdua, awas aja kalau ada tugas gue gak Sudi kasih contekan." ancam Enda. Jurus terakhir ketika sudah terpojok.
"Lah kok gitu, ngancam?" kata Alsaki remaja itu terlihat panik.
"Bodo amat!!" Enda melirik sebal ke arah Alsaki.
"Nu, ikut gue yuk," ajak Enda pada Janu.
"Mau kemana Nda…" tanya Alsaki. Namun diabaikan oleh Enda.
Remaja berkacamata itu menarik tangan Janu untuk ikut dengannya.
"Belikan es teh ya Nda!" teriak Alsaki.
Enda tak menyahut. Pura-pura gak dengar.
Nandes dan Alsaki tertawa merasa puas mengerjai Enda.
Mereka berdua lalu duduk bersila di lantai lapangan, hari mulai sore masih ada waktu untuk istirahat sebentar sebelum mereka mulai latihan basket lagi.
"Des...gue boleh tanya gak?"
"Sejak kapan Lo harus izin dulu kalau mau tanya gue."
Nandes memandang kearah Enda dan Janu berjalan ke arah kantin.
"Gue heran deh… sejak kapan sih lo peduli sama Janu? Dulu aja lo gak tahu dia itu ada di sekolah ini."
Nandes tersenyum tipis.
"Kenapa? Lo gak suka sama dia?"
Alsaki berdecak.
"Gak gitu lah, apa alasan gue buat gak suka tu anak. Cuma gue heran aja sama lo, apa yang buat lo jadi penasaran sama dia dan apa yang bikin lo kayak pengen lindungi dia?"
Nandes diam sejenak, dia tak langsung menjawab.
Alsaki sabar menunggu sahabatnya itu menjawab rasa penasarannya.
"Dia pernah mau bunuh diri. Kalo gue gak tepat waktu narik dia, mungkin kita gak bisa liat dia sekarang ini."
Alsaki melotot, remaja itu kaget dengan apa yang barusan dia dengar.
"Apa?! Dia pernah nyoba mau bunuh diri??" ulang Alsaki.
Nandes mengangguk, "di jembatan tempat biasa kita bolos, kebetulan sore itu gue di sana. Dan gue liat itu anak mau terjun ke sungai," jelas Nandes.
"Ta-tapi masalah apa yang bikin dia mau bunuh diri Des?" Alsaki benar-benar gak bisa percaya. Ada orang di sekitarnya hampir saja mati bunuh diri.
Nandes mengedikkan bahu.
"Gue juga gak tahu masalah hidup apa yang dia hadapi, yang jelas pasti berat banget. Makanya sampai dia mau akhiri hidup dia."
"Dan itu alasan kenapa lo deketin dia, karena lo penasaran?"
"Iya, gue penasaran masalah hidup apa yang dia hadapi. Dan gue juga penasaran kenapa dia gak pernah melawan kalau si cewek tengil itu ngebully dia. Lo lihat kan dia cowok, badannya kelihatan lebih kuat dibanding Enda, harusnya dia gak diam aja." terang Nandes.
"Iya juga ya Des." Alsaki manggut-manggut apa yang dikatakan Nandes ada benarnya. Namun, beberapa detik kemudian...
"Eh..maksud Lo apa bilang Janu lebih kuat dari Enda. Lo kata Enda lemah gitu."
"Sekarang gue tanya, lo tega gak liat Enda keliling lapangan bola 8 kali?" Nandes melihat ke arah Alsaki.
"Ya..ya…. Mana tega gue, lagian dia bakal nangis."
Nandes menyungingkan senyum mengejek.
"Kalo gitu jangan protes kalo gue bilang Enda tuh lemah. Harusnya itu lo yang digosipkan homo makin hari makin mencurigakan lo." Nandes melempar air botol mineral ke arah Alsaki.
"Homo sama Lo ya Des...ya...ya..ya…" Alsaki merangkak ke arah Nandes lalu menimpa tubuh sahabatnya.
"Najis!!!!! Minggir Al!!"
"Lo curiga sama gue kan, ya sini lo buat uji coba dulu."
Alsaki semakin merapatkan tubuhnya ke arah tubuh Nandes yang ada di bawahnya.
"Eh..lepasin gue Saki bangsat!!!" Nandes berusaha meloloskan diri dari tindihan tubuh Alsaki.
"Saki sialan minggir gak Lo!!"
Alsaki tak mendengarkan teriakan Nandes. Ia justru semakin memiting sahabatnya itu semakin kuat.
Siswa dan siswi yang melihat kelakuan dua cowok remaja itu hanya tertawa. Buat mereka hal seperti itu sudah biasa terjadi. Alsaki dan Nandes memang sering begitu kalau sedang bercanda.
xxxx
Hari mulai sore latihan basket dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya usai. Semua murid SMA Nusa Bangsa satu persatu kembali ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan keempat cowok remaja yang saat ini sedang bersama-sama jalan ke arah parkiran.
Mereka mengeluarkan motor masing-masing dari area parkir yang mulai sepi. Kecuali Enda, cowok berkacamata itu menunggu di depan pintu area parkir. Dia gak pernah sekolah bawa motor, karena Alsaki hampir tiga tahun ini setia antar jemput, hanya ketika terdesak saja Enda bawa motor sendiri ke sekolah. Untuk apa repot-repot bawa motor kalau dia punya tukang ojek yang bisa diandalkan. Sekalipun mereka pernah sesekali bertengkar Alsaki tak akan lalai dengan tugasnya. Antar jemput Enda.
"Kenapa Nu?" tanya Nandes saat melihat Janu tampak memeriksa ban motornya.
"Ban kempes," sahut Janu.
"Bawa aja ke bengkel dekat sini." kata Alsaki memberi solusi.
"Ini sudah hampir jam lima sore, pasti sudah tutup." tukas Nandes.
Mendengar itu Janu diam berpikir.
"Gue antar lo pulang, motor lo titipin aja di rumah pak Sodiq." kata Nandes memberi kepuasan.
Pak Sodiq adalah penjaga sekolah SMA Nusa Bangsa.
Janu masih diam berpikir lagi.
"Udah jangan banyak mikir, ini sudah sore."
Nandes turun dari motornya lalu mengambil alih motor bebek milik Janu. Cowok bertubuh tegap itu mendorong motor Janu ke arah rumah pak Sodiq di belakang gedung sekolah.
"Nandes benar Nu, mending lo pulang diantar dia aja. Besok lo bisa bawa motor lo ke bengkel," Alsaki meyakinkan Janu.
Janu tak menyahut. Hanya diam.
Tak lama setelah itu Nandes kembali, remaja itu lalu mengambil helm dan ia pakaikan ke Janu tak lupa sekalian ia pasangkan pengaitnya. Janu nurut gak protes diperlakukan seperti itu depan kedua teman Nandes.
Enda yang berdiri dekat pintu area parkir mengernyitkan kening melihat perlakuan Nandes ke Janu. Remaja berkacamata itu merasa aneh dengan pemandangan yang dia lihat.
Berbeda dengan Alsaki. Remaja itu justru senyum-senyum, sambil menundukkan kepala.
"Dasar Nandes," gumam Alsaki.
Alsaki menghidupkan mesin motornya lalu keluar dari area parkir terlebih dulu menghampiri Enda.
"Buru naik, liat apa lo," Alsaki mengejutkan Enda.
"Sabar sih…" gerutu Enda sembari naik ke atas motor Alsaki.
Di belakang mereka, motor Nandes mulai keluar dari area parkir. Saat akan keluar dari pintu area parkir, Nandes mengendarai motornya terlalu dekat dengan pagar kawat yang sebagian rusak. Akibatnya tangan Nandes tergores. Nandes menghentikan motornya lalu memeriksa luka gores di punggung tangan.
Luka gores itu cukup dalam, terlihat dari darah yang keluar lumayan banyak. Menggunakan tangan satunya lagi Nandes mengusap darah di tangan kirinya. Namun, darah masih keluar terus.
"Jangan," Janu menghentikan tangan Nandes yang akan kembali mengusap lukanya.
Janu lalu turun dari motor, merogoh saku celana.
Dengan sapu tangan miliknya Janu membalut luka gores di punggung tangan Nandes.
"Sampai rumah cepat di bersihkan dan di obati," ucap Janu pelan.
Nandes tak jemu memandang wajah Janu yang menunduk ke arah luka di tangannya.
Tak jauh dari mereka berdua. Alsaki dan Enda disuguhi adegan drama ala Korea versi nyata.
Enda kembali heran, semakin heran.
"Al…" panggil Enda pelan.
"Hmmm.."
"Gue gak pernah lihat Nandes anterin pulang Nadira."
"Karena hanya orang spesial yang boleh naik di belakang motor Nandes."
"Terus maksud lo Janu itu…."
"Dah ayok pulang, itu kepala mending buat mikir tugas fisika entar malem biar gue bisa nyontek," potong Alsaki.
Alsaki lalu menarik gas motornya, melaju lebih dulu meninggalkan Nades dan Janu.
Membiarkan dua cowok itu puaskan diri saling pandang satu sama lain tanpa ada yang mengganggu.
Bersambung….