Klintung…
Suara pesan WhatsApp masuk ke ponsel Janu. Remaja itu meraih ponsel yang tak jauh dari tempat ia berbaring.
"Janu, Tante ingin bertemu kamu malam ini."
Janu mendesah pelan ketika membaca pesan masuk yang ternyata dari Tante Sarah. Janu terdiam, tak langsung segera membalas pesan itu. Ia enggan untuk membalas pesan Tante Sarah. Dadanya terasa sesak, membayangkan dia akan kembali menghabiskan malam bersama wanita yang jauh lebih tua darinya. Namun, apa yang harus ia katakan untuk menolak ajakan wanita itu.
Jika Tante Sarah memintanya untuk bertemu, seolah itu adalah kewajiban yang harus ia laksanakan. Tante Sarah telah memberinya uang, memberinya barang mewah. Tentu dia harus membalas semua itu dengan melakukan apa yang Tante Sarah minta.
Janu mulai mengetik balasan untuk Tante Sarah. Namun baru saja akan menekan tombol send. Satu pesan masuk, membuat Janu mengurungkan niatnya membalas pesan Tante Sarah.
"Malam Minggu, tepati janji lo, gue rela gak makan. Nunggu lo traktir gue malam ini." Begitu bunyi pesan yang dikirim oleh Nandes.
Janu berpikir sejenak. Menimang nama siapa yang harus ia jawab kata 'iya' untuk malam Minggu kali ini.
Setelah berpikir beberapa saat Janu lalu mengetik pesan balasan.
"Tunggu aku di gang depan." Lalu Janu menekan tombol kirim.
Hitungan detik pesan terkirim ke nomor Nandes.
"Gang mana?" Satu pesan lagi dari Nandes.
"Gang Rajawali." Janu kembali membalas pesan Nandes.
"Oke. Gue jalan sekarang. Dandan yang cakep."
"Aku bukan Nadira kalau kamu lupa!"
"Hahaha gue selalu ingat kok lo itu Janu."
Janu tak lagi membalas pesan Nandes. Remaja yang bulan depan genap berusia 18 tahun itu bangkit berdiri. Kemudian berjalan ke arah lemari pakaian. Ia mengambil celana jeans dan kemeja flanel terbaik miliknya.
Selesai berganti pakaian Janu menyisir rambutnya gak lupa pakai parfum. Tanpa ia sadari, dia menuruti apa kata Nandes. Dandan cakep.
"Mau kemana kamu?" tegur Tante Melda. Wanita itu duduk di ruang tamu. Matanya memandang selidik ke arah Janu.
"Tante Sarah mau ketemu." jawab Janu berbohong .
"Ohh….jangan lupa minta uang. Buat bayar tagihan listrik dan lainnya. Uangku sudah mulai habis." Tante Melda mengingatkan Janu.
"Iya Tante…" jawab Janu lalu melangkah keluar melewati tantenya di sofa ruang tamu.
"Janu….sttttt, Janu…."
Janu menoleh ke kanan dan kiri.
Ricky keluar diam-diam dari samping rumah.
"Ini, buat jaga-jaga." Ricky menyelipkan dua saschet kondom ke saku celana saudara sepupunya.
"Ini buat apa sih Ky?"
"Safe sex Nu, aku gak mau kamu kena penyakit."
"Aku gak butuh ini, kamu ya yang masukin kondom ke tas ku." Janu teringat Senin lalu dia dihukum lari lapangan karena ada kondom dalam tasnya.
"Hehehehe...kamu harus selalu bawa buat jaga-jaga."
Janu berdecak kesal.
"Gak perlu. Dah sana masuk." perintah Janu pada Ricky sepupunya.
"Kamu mau kemana? Tante Sarah minta ketemuan ya."
"Gak perlu tau, sana masuk kamar. Gak usah keluar main. Jaga Tante di rumah."
"Nginep gak? Bawain makanan ya pulangnya."
"Iya...aku bawain."
"Sippp." Ricky mengacungkan ibu jarinya memberi tanda setuju. Lalu dia kembali mengendap-endap kembali ke kamarnya.
Gang kompleks rumah tak jauh dari rumah Tante Melda. Hanya sekitar 500 meter. Janu meminta Nandes untuk menunggunya di ujung gang kompleks perumahan. Agar Tante Melda tidak tahu. Jika malam ini Janu sebenarnya tidak keluar dengan Tante Sarah.
Nandes duduk diatas motor ninja miliknya sambil menghisap rokok, untuk menghilangkan rasa bosan selama menunggu kedatangan Janu.
Remaja itu mengenakan hoodie warna merah maroon dengan bawahan celana jeans sobek bagian kedua lututnya warna hitam. Gak ganteng banget, tapi terlihat cool. Apapun yang Nandes kenakan selalu membuat remaja itu terlihat keren.
Melihat kedatangan Janu, Nandes membuang sisa rokok di tangannya lalu menginjak puntung rokok itu hingga api mati.
"Mau traktir gue makan di mana?" Memberikan helm ke arah Janu.
"Terserah." Jawab Janu singkat. Mirip seorang gadis, jika ditanya sang pacar mau kemana jawabnya 'terserah'.
"Kamu aja yang pakai ini." Janu mengembalikan helm yang Nandes berikan padanya.
"Pake aja, biar gak dingin."
"Harusnya kamu yang pake, kan kamu yang depan."
"Ya ampun tinggal pake aja kenapa bawel banget." Nandes memakaikan helm ke Janu.
"Aku bisa pake sendiri." Janu berusaha menolak.
"Diem." tegas Nandes.
Janu diam. Menurut. Membiarkan Nandes memakaikan helm untuknya.
"Dah, naik." ucap Nandes setelah selesai memakaikan helm pada Janu.
Janu lalu naik ke atas motor kesayangan milik Nandes.
Tanpa Janu tahu, dia lah orang pertama yang naik di atas motor Nandes selama Nandes memiliki motor itu. Nadira gadis cantik yang sebulan ini jadi pacar Nandes gak pernah diajak naik motor ninja miliknya.
Jika ingin malam mingguan dengan Nadira, Nandes akan meminjam motor yang biasa dipakai oleh ibunya. Lalu mengapa malam ini Nandes membiarkan Janu duduk diatas motornya. Sedangkan sang pacar saja tidak pernah. Entahlah hanya ingin saja. Nandes sendiri pun tak tahu.
Motor melaju perlahan meninggalkan gang perumahan. Selang beberapa menit Nandes menambah kecepatan motor menembus malam.
Selama tinggal tinggal di rumah Tante Melda, baru kali ini Janu merasakan keluar malam hari bersama teman sekolah. Bukan karena Janu tidak ingin berkumpul dengan teman sebayanya. Namun, keadaan yang membuatnya tidak punya waktu untuk kesenangan diri sendiri.
Janu tahu diri, di rumah Tante Melda dia hidup menumpang. Dia tidak bisa hidup sesuka hati seperti remaja seusianya. Walaupun dulu saat Pamannya masih hidup mengizinkan untuk hal itu. Namun, Janu tetap tidak enak hati. Dia bisa tinggal, sekolah dan makan gratis sudah sangat berterima kasih.
"Pegangan, nanti jatuh." Nandes menarik tangan Janu untuk melingkar di pinggangnya. Janu ingin menarik tangannya. Namun, Nandes menggenggam erat. Janu diam.
Angin malam menerpa wajah keduanya. Sesekali tubuh Janu menempel pada punggung kokoh Nandes. Wangi tubuh Nandes menyapa Indra penciuman Janu. Harum parfum Nandes lembut, menenangkan. Tidak seperti wangi parfum Tante Sarah atau wanita lainnya. Yang terkadang membuat perutnya mual.
"Kita mau kemana?" Janu mendekatkan wajah ke telinga Nandes.
"Cari tempat makan paling asik" jawab Nandes sedikit menoleh kebelakang. Agar suaranya bisa terdengar oleh Janu. Namun, gerakan yang mendadak itu justru membuat hidung mereka berdua hampir saja bersentuhan.
"Liat depan." ucap Janu sambil menarik wajahnya menjauh.
Nandes mengulum senyum. lalu kembali fokus pada jalan di depan. Menambah kecepatan motor supaya segera sampai tujuan.
Selang beberapa menit, Nandes menghentikan laju motornya. Remaja itu berhenti tepat di sekitar area penjual makanan kuliner. Banyak penjual makanan di sekitar tempat itu. Berjejer tenda-tenda penjual makanan dari yang makanan cemilan hingga berat. Dan yang pasti harganya ramah dompet.
Itu kenapa area itu banyak dikunjungi remaja. Namun, tak hanya pasangan muda mudi. Banyak juga keluarga kecil makan di tempat itu.
Selain penjual kuliner area itu juga tidak jauh dari taman kota. Hanya perlu berjalan beberapa meter untuk sampai ke taman kota. Bisa melihat taman kota yang begitu asri, rapi dan juga bersih. Dihiasi lampu lentera warna-warni terlihat sangat indah ketika malam hari. Banyak orang duduk-duduk santai di sana, ada juga yang berjalan-jalan dan juga Selfie bersama teman atau keluarga.
Janu turun dari motor, lalu melepas pengait helm yang ia pakai. Namun, sayangnya sampai hampir satu menit remaja itu tidak juga berhasil melepas pengait helm.
Melihat itu Nandes yang masih duduk diatas motornya, menggunakan jari memberi isyarat Janu untuk mendekat ke arahnya. Janu menurut, ia melangkah mendekati Nandes lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, mendekatkan kepalanya ke arah Nandes. Kedua wajah remaja itu kembali berdekatan untuk kesekian kalinya.
Nandes mengulurkan kedua tangannya ke arah leher Janu. Melepas pengait helm. Mungkin keduanya bisa saling merasakan hembusan nafas masing-masing.
"Gak pernah pake helm ya?"
Janu melirik tajam ke arah Nandes. Yang dilirik hanya senyum-senyum.
"Bercanda … gitu aja udah mau ngambek. Serius amat hidup lo." kata Nandes sambil turun dari motor. Lalu melangkah ke salah satu tenda yang menjual ayam bakar sambal setan.
"Doyan pedes gak?" tanya Nandes.
"Aku gak pilih-pilih makanan." Sahut Janu. Mengikuti kemana langkah Nandes.
"Bang … pesen dua porsi sama es jeruk ya," kata Nandes pada Abang penjual ayam bakar ketika sudah masuk ke tenda.
"Eh..lo mau es jeruk apa es teh?" lanjut Nandes.
"Samain aja." jawab Janu singkat. Ia lalu duduk di sebuah kursi panjang terbuat dari kayu. Kebetulan saat itu hanya mereka berdua pembeli di tempat itu.
Mereka berdua duduk saling berhadapan. Tak lama kemudian ayam bakar pesanan Nandes datang. Dua Piring nasi dan dua piring ayam bakar setan, serta dua gelas es jeruk.
"Ini gak kemahalan kan buat lo nanti pas bayar?" tanya Nandes sambil mulai menyantap ayam bakar miliknya.
"Kamu tambah lima piring lagi sekalipun duitku masih cukup." ketus Janu.
"Heheh … lo gak bisa apa senyum. Muka lo itu cakep tapi sayang gak mau senyum."
Janu terdiam. Nandes benar. Ia lupa kapan terakhir ia tersenyum.
"Sorry deh kalo gue nyinggung lo." sesal Nandes setelah ia melihat perubahan wajah Janu.
Janu tak menyahut. Remaja itu melanjutkan acara makanya dalam diam. Ahhh, dia menyesal kenapa tidak jujur mengatakan kalau dia tidak seberapa suka makanan pedas. Ternyata ayam bakar yang dipesan Nandes tidak hanya pedas. Melainkan pedas sekali.
Hingga membuat Janu menghabiskan es jeruk miliknya.
Janu berkali-kali berhenti makan. Keringat mulai membasahi kening. Bibir tipisnya mulia merah dan sedikit bengkak.
Melihat itu Nandes melongo.
"Lo gak doyan pedes ya, kenapa tadi gue tanya lo bilang gak pilih-pilih makanan." Nandes khawatir. Ia memberikan gelas es jeruk miliknya.
Dengan telaten Nandes menyisihkan sambal yang terlanjur tercampur menjadi satu dengan daging ayam bakar milik Janu.
Sambil kepedasan Janu memperhatikan apa yang dilakukan Nandes untuknya.
Ia jadi teringat akan ayahnya. Dulu saat dia kecil jika sedang makan ayahnya akan melakukan hal sama seperti yang Nandes lakukan. Membersihkan sambal pada makanannya. Janu terus memandangi wajah Nandes. Perlahan mata Janu berkaca-kaca.
"Kalo gak bisa makan pedes bilang dong, jangan dipaksakan nanti sakit perut," ujar Nandes.
"Dah bersih nih, lanjutin makannya."
Janu menundukkan kepala berusaha menutupi kesedihan yang merayapi hatinya. Dia rindu ayah.
Keduanya melanjutkan makan dalam diam. Janu tidak berani mendongak. Remaja itu terus menunduk hingga nasi dan ayam bakar di piringnya habis.
Nandes sempat bingung, kenapa Janu tak berani mengangkat wajah. Namun, Nandes memilih tidak menghiraukan. Janu pasti punya alasan sendiri kenapa mendadak jadi sangat diam, tidak mau bicara.
Setelah selesai makan Janu membayar makanan yang mereka makan. Lalu dia bergegas keluar dari warung tenda itu. Meninggalkan Nandes dalam kebingungan. Nandes berlari kecil mengejar langkah Janu cepat ke arah parkiran.
"Kok buru-buru." Nandes menarik pergelangan tangan Janu.
"Masih sore, apa udah mau pulang?" lanjut Nandes.
Janu tak segera menjawab, dia hanya menatap sendu ke arah Nandes.
"Jalan-jalan dulu yuk." ajak Nandes. Ia bisa melihat ada kesedihan dari sorot mata sendu itu.
Nandes ingin menghibur, menghilangkan kesedihan dari mata itu. Walaupun ia tak tahu pasti mengapa Janu jadi berubah sedih.
Janu menganggukan kepala pelan tanda remaja itu setuju.
Tanpa pikir panjang Nandes menarik pergelangan tangan Janu. Mereka jalan jalan keliling taman kota berdua.
"Lapas Des, jangan digandeng gini." Janu melepaskan tangan Nandes yang menggenggam pergelangan tangannya.
Bibir Nandes melengkung, membentuk garis senyuman. Untuk pertama kalinya Janu menyebut namanya.
"Hehe..iya juga. Nanti dipikir orang kita homo lagi." Kata Nandes sambil tertawa kecil.
Mereka kembali melangkah melewati beberapa orang yang juga menghabiskan waktu di taman itu.
Untuk menemani langkah santai mereka Nandes dan Janu menghampiri penjual Sempol ayam yang mangkal di pinggir taman. Mereka beli sepuluh tusuk dibuat jadi dua plastik. Satu plastik untuk Nandes dan satu lagi untuk Janu. Mereka berdua terus melangkah tanpa tujuan sambil makan Sempol ayam hangat yang rasanya manis pedas dan gurih.
"Duduk sini, Nu," ajak Nandes saat mereka melewati kursi kosong.
Janu menurut. Ia pun langsung duduk. Mulutnya sibuk mengunyah cemilan yang ia pegang. Rasanya enak.
"Enak?" tanya Nandes sambil melihat ke arah Janu.
"Iya…" jawab Janu singkat.
Nandes tersenyum lega. Raut wajah sedih yang tadi Janu perlihatkan memudar.
"Nu…." panggil Nandes pelan.
"Hmmm…"
"Bisa kan kita berteman?"
"Apa kamu kekurangan teman?"
"Bukan gue, tapi lo."
"Aku gak butuh teman. Aku ada di sini sekarang ini karena kamu yang terus maksa aku buat traktir kamu. Sekarang aku gak punya hutang lagi sama kamu. Jadi mulai besok gak usah sok dekat sama aku lagi."
"Tapi kenapa? bukanya sepi banget hidup gak ada teman."
"Aku dah biasa." jawab Janu cepat.
"Setuju atau gak mulai malam ini lo temen gue." ujar Nandes maksa.
Janu menoleh ke arah Nandes.
"Kamu kenapa tiba-tiba jadi peduli sama aku? bukannya dulu kamu bahkan gak tahu aku ini satu sekolah sama kamu. Apa kamu kasihan sama aku, karena kamu pernah liat aku mau bunuh diri?" berondong Janu.
"Iya, gue takut lo mengulangi hal itu lagi."
"Apa peduli kamu?"
"Gue manusia, gue punya hati. Wajar gue khawatir. Hidup itu berharga Nu. Sayang banget kalo lo sia-siain gitu aja."
"Kamu gak tahu apa-apa tentang hidupku."
"Itu kenapa kita harus berteman biar gue tahu tentang hidup lo"
"Gak ada yang akan berubah sekalipun kamu tahu tentang hidupku."
"Dari mana lo tahu? Apa Lo cenayang yang bisa tahu masa depan."
"Setidaknya kalo lo punya temen lo punya tempat buat cerita. Jangan semua beban hidup, lo pendam sendiri." imbuh Nandes.
Ahhh, aneh..lagian sejak kapan juga Nandes peduli pada hidup orang lain. Dia saja tidak peduli ibunya marah atau tidak yang penting dia senang. Dia saja tidak peduli ada seseorang yang sedang menunggunya. Dia lupa akan janjinya. Janji pada pacarnya.
"Baiklah kita lihat apa kamu masih mau jadi teman ku setelah kamu tau gimana hidupku." ujar Janu sambil menggigit satu sempol ayam terakhir di tangannya.
Mereka saling pandang satu sama lain untuk sesaat.
Janu memberi Nandes kesempatan untuk menjadi teman. Guna melihat apakah Nandes bisa bertahan menjadi temannya ketika tahu siapa dirinya dan bagaimana hidupnya.
Jika Nandes tetap bertahan artinya dia layak untuk mempunyai teman. Namun jika Nandes menjauhinya artinya dia tak perlu teman seperti yang ia lakukan selama ini.
Janu gak tahu malam itu dalam hati Nandes berjanji dia akan menghapus sorot kesedihan dari mata Janu. Berjanji akan membuat bibir Janu tersenyum seperti teman yang lain.
Bersambung….