Ketika hari mulai sore Bu Mira mulai menyibukkan diri di dapur. Melakukan tugas rutin. Menyiapkan makan malam untuk suami dan anak-anaknya. Sore ini Bu Mira akan membuat hidangan makan malam agak lebih dari biasanya karena kedua anaknya yang lain akan datang makan malam bersama di rumahnya. Yah..anak Bu Mira bukan hanya Nandes. Wanita sederhana itu punya tiga anak.
Anak sulung Bu Mira bernama Vera, sudah berkeluarga. Sedangkan anak keduanya bernama Rangga. Anak kedua Bu Mira sedang kuliah. Tempat kuliahnya lumayan jauh dari rumah dan mengharuskan anak kedua Bu Mira itu kos. Hanya ketika libur kuliah Rangga akan pulang kerumah.
"Masak banyak banget Bu, apa Mbak Vera mau kesini?" Tanya Nandes. Remaja itu baru saja pulang dari main volly di lapangan dekat rumah pak lurah. Tubuh atletis tanpa baju itu penuh keringat.
Tanpa mencuci tangannya terlebih dahulu, Nandes nyomot satu tempe goreng diatas meja.
Melihat itu Bu Mira mendelik.
"Jorok kamu! Cuci tangan dulu Des."
"Hehehe laperrrrr." Nyengir tanpa merasa berdosa.
"Kamu itu jawab aja kalo diomongin." Bu Rina kembali fokus pada wajan penggorengannya.
"Jadi bener Mbak Vera mau kesini Bu?" Tanya Nandes lagi. Buat memastikan. Lumayan jika kakak perempuannya itu datang dia bisa minta uang jajan lebih.
"Iya, mas mu Rangga juga pulang. Besok kan libur tanggal merah."
"Mas Rangga pulang palingan minta uang jatah." Tanpa sepengetahuan ibunya Nandes kembali nyomot satu tempe goreng diatas meja makan.
"Namanya anak kuliah, kebutuhannya banyak." Bela sang ibu.
"Tapi kalo aku yang minta uang ibu pelit."
"Itu karena kamu boros. Uang..uang terus tiap hari. Gak pernah bantuin ibu, nilai sekolah gak ada yang bagus."
Nandes bosan. Setiap hari selalu diomelin dengan kalimat yang sama seperti itu. Dari pada telinganya panas lebih baik Nandes segera pergi dari dapur. Namun sebelum pergi meninggalkan dapur, suara Bu Mira menghentikan langkah Nandes.
"Tunggu Des, mau kemana kamu? Tolong ibu."
"Mau cuci motor." jawab Nandes dengan wajah malas.
"Gak usah cuci motor. Besok aja. Besok kan gak sekolah. Ini, kamu belikan ibu santan instan di warung ujung gang itu, yang dekat."
Nandes terdiam sejenak. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Seketika wajahnya berubah jadi berseri.
"Aku belikan di pasar ya Bu?" Pikirannya langsung teringat seseorang yang ada di pasar.
"Lah….kelamaan, beli satu bungkus aja kenapa sampai pasar segala." Bu Mira merasa anaknya gak masuk akal.
"Lebih murah Bu, lumayan selisih seribu dua ribu. Bisa hemat kan." Sejak kapan Nandes memikirkan uang belanja ibunya.
"Aku mau mandi dulu Bu, sebentar aja lima menit. Tunggu ya."
Secepat kilat Nandes langsung melesat pergi dari hadapan ibunya. Remaja itu lari ke kamarnya mengambil handuk, lalu bergegas ke kamar mandi.
Bu Mira melongo. Terheran dengan tingkah anak bungsunya yang aneh itu. Sejak kapan anak bujangnya itu semangat ke pasar.
Seperti yang ia janjikan, hanya dalam waktu lima menit Nandes selesai mandi. Dari kamarnya Nandes berlari ke arah dapur. Menghampiri ibunya.
"Mana uangnya?" Dengan terburu-buru Nandes meminta uang pada ibunya.
Bu Mira mengulurkan tangannya. Memberikan uang lima ribu rupiah pada Nandes.
"Gak usah ke pasar Des, kejauhan. Oh ya itu nanti kembali dua ribu ya. Jangan kamu ambil kembaliannya." Belajar dari pengalaman. Anak bungsunya itu suka mengambil uang kembalian jika disuruh beli sesuatu.
"Sisa dua ribu doang Bu, buat jajan juga gak cukup."
"Halah….kayak ibu gak tahu kamu kalo sama duit. Dah sana buruan berangkat."
"Sama anak sendiri perhitungan banget." Gerutu Nandes sambil berlalu dari hadapan ibunya.
Tak lama setelah itu remaja bertubuh tegap itu melesat pergi menggunakan motor kesayangannya. Remaja itu mengabaikan perintah ibunya untuk beli di warung ujung gang. Nandes justru memilih ke pasar, yang jarak dari rumahnya sekitar 3 km. Hanya untuk beli satu bungkus santan instan.
Sesampainya di pasar, Nandes langsung menuju arah deretan toko sembako. Sebelum masuk gang toko ia parkiran motornya terlebih dahulu. Karena gang yang sempit Nandes tidak bisa membawa motor miliknya masuk ke dalam pasar. Nandes merapikan kaus yang ia pakai, tidak lupa memastikan tidak ada yang aneh di wajahnya dari kaca spion motor. Ketika semua dianggap oke, remaja itu mulai berjalan masuk gang sempit pasar.
Sekarang Nandes berdiri tepat di depan toko dimana Janu bekerja paruh waktu. Untung saja toko sudah mulai sepi. Mungkin karena hari mulai sore dan sebentar lagi toko akan tutup.
"Cari apa Mas?" tanya Dicky, yang kebetulan berdiri di sekitar etalase toko.
"Cari Janu." jawab Nandes lugas.
Dicky mengerutkan kening. Namun beberapa detik kemudian pemuda itu tersenyum mengerti.
"Janu..ada yang cariin kamu nih."
Tak lama kemudian Janu keluar dari arah belakang.
"Siapa?" Janu menepuk-nepuk bagian depan bajunya yang kotor karena dia baru saja merapikan beberapa barang sebelum toko tutup.
Janu sempat tertegun ketika orang yang mencarinya adalah Nandes. Cowok yang belakangan ini kerap mendekatinya tanpa alasan yang jelas. Cowok yang dulu tidak mengenalnya meskipun mereka sering berpapasan.
Namun sejak hari itu, sejak Nandes menyelamatkan hidupnya, Nandes berubah jadi SKSD alias sok kenal sok dekat.
"Ngapain?" Seperti biasa pasang wajah tak ramah.
"Beli lah." jawab Nandes santai.
"Cari apa?"
"Santan instan."
"Berapa?"
"Satu."
Janu mengambil satu bungkus santan instan. Lalu ia letakkan di meja kasir berbahan kayu. Dicky yang duduk depan meja kasir diam-diam memperhatikan gerak-gerik dua remaja di depannya itu.
"Apa lagi?" tanya Janu tanpa menoleh ke arah Nandes.
"Udah itu aja."
Mendengar jawaban itu Janu menolehkan kepala ke arah Nandes.
"Jauh-jauh ke pasar cuma mau beli satu bungkus santan instan ini?"
"Iya, emang kenapa?"
"Kurang kerjaan banget sih kamu, buang waktu."
Nandes tersenyum.
"Aku gak merasa buang waktu, lagian walaupun cuma sebiji gini tapi ini tetap jadi rejeki buat toko orang tua kamu kan"
"Ini bukan toko orang tua ku, aku di sini kerja."
Nandes terbengong.
"Kerja??" Ulang Nandes.
"Iya kerja. Kenapa? Aneh?"
"Enggak….malah bagus dong, inget punya hutang buat traktir gue makan." Nandes mengangkat-angkat satu alisnya sambil senyum-senyum.
Janu sama sekali tidak menanggapi omongan Nandes. Remaja itu mengambil satu plastik kecil lalu ia memasukkan satu santan instan ke dalam plastik.
"Dua ribu lima ratus," kata Janu sembari menjulurkan plastik di tangannya ke arah Nandes.
Nandes mengambil uang lima ribu dari saku celananya. Lalu ia berikan pada Janu.
"Kembali dua setengah Mas," kata Janu pada Dicky.
Dicky memberikan uang kembalian sejumlah yang Janu sebutkan.
"Nah kan, hemat lima ratus rupiah. Coba kalau gue beli di warung, harganya tiga ribu nih." ujar Nandes sambil senyum-senyum.
Janu memutar bola mata malas. Aneh saja menurut Janu. Hanya hemat lima ratus rupiah tapi mengorbankan waktu jarak tempuh dari rumahnya.
"Tapi kamu buang waktu tau."
"Gue gak buang waktu, kan gue bisa ketemu lo."
Mendengar itu Dicky terkikik menahan tawa.
"Gak ada yang lucu Mas," Janu menoleh ke arah Dicky.
Dengan susah payah Dicky berusaha tidak tertawa. Berusaha bersikap biasa. Walau sebenarnya pemuda itu geli melihat Janu dan Nandes.
"Mungkin rumah dia di sekitar sini Nu," ucap Dicky ikut menimpali obrolan Janu dan Nandes.
"Di sekitar sini mana, jangan sok tau Mas," sahut Janu.
"Ohhh jadi lo tau rumah gue di mana, jadi diam-diam lo meratiin gue ya."
"Sudah selesai kan belanjanya, pulang sana, toko mau tutup," usir Janu.
Remaja itu kembali menyibukkan diri, merapikan toko untuk segera tutup. Begitu juga dengan Dicky pemuda itu membuat laporan hasil penjualan toko sembako Bu Ninik dan sekaligus menghitung uang dari laci meja kasir.
"Kalo gitu aku tunggu, kita pulang bareng." Nandes masih enggan untuk keluar dari toko.
"Aku bawa motor sendiri." jawab Janu singkat.
"Gak masalah, bisa tetap jalan beriringan kan." gak nyerah terus berusaha. Agar bisa berlama-lama sama Janu. Padahal dia juga gak tahu kemana arah pulang cowok remaja yang membuatnya penasaran itu.
"Kita gak searah, apanya yang mau beriringan sih.." Janu mulai lelah meladeni.
"Gak apa-apa, keluar dari gang ini ke parkiran motor pasti searah kan."
"Uhuk...uhuk..uhuk…" Dicky terbatuk-batuk.
Janu menatap tajam ke arah Dicky.
"Ini, aku keselek air." Dicky menunjukkan botol mineral ditangganya ke arah Janu.
"Kamu cepat pulang, ibumu pasti nungguin ini santan." kata Janu mengingatkan.
Nandes tercengang. Dia menyadari sesuatu.
"Mati gue!!!!!" Nandes menepuk keningnya sendiri. Baru ingat dia sudah cukup terlalu lama. Ibunya pasti akan menggorengnya ketika dia sampai rumah.
"Gue balik ya. Bye.." Nandes lalu segera pergi dari toko sembako Bu Ninik. Remaja bertubuh tegap dan tinggi itu lari ka area parkir motor.
Janu menggeleng kepala pelan. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Setelah kepergian Nandes. Dicky keluar dari meja kasir yang menghalangi jarak antara dirinya dan Janu.
"Nu, dia siapa sih?" tanya Dicky kepo. Mau tahu.
"Dia satu sekolah sama aku." jawab Janu tanpa menoleh ke arah Dicky.
"Kalian dekat ya?"
"Gak."
"Tapi cara dia melihat mu, kayak cara Mila melihat ke kamu Nu."
Janu menghentikan aktivitasnya, remaja itu mendesah pelan lalu melihat ke arah Dicky.
"Terus maksud Mas Dicky apa?"
Dicky hanya nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya..dia kayaknya naksir kamu Nu."
Janu menggeleng kepala, heran dengan pemikiran teman kerjanya itu.
"Mas gak lihat dia itu cowok?"
"Ya lihat lah, tapi aku juga bisa lihat dia naksir kamu. Kalo gak percaya lihat saja nanti," jawab Dicky yakin dengan apa yang ia lihat.
"Dia itu punya pacar Mas Dicky, Nandes bukan homo. Cewek dia itu cantik, dia itu idola, dia bintang lapangan. Untuk apa dia naksir aku yang juga punya kelamin yang sama seperti dia. Lagian sekarang ini aku gak mikirin cinta cintaan. Yang aku pikirkan gimana cepat lulus dengan nilai terbaik lalu cari uang sebanyak-banyaknya," kata Janu panjang lebar dengan wajah serius.
Dicky bengong untuk sesaat, lalu menelan ludah.
"Kok jadi serius gitu nanggepinnya, aku bercanda kok Nu." Berharap Janu gak marah "kamu bilang gak dekat, tapi kamu kayaknya tahu banyak tentang dia ya." lanjut Dicky.
Yang awalnya Janu gak marah, mendengar kalimat Dicky yang kedua remaja itu mendengus kesal. Lalu berlalu pergi meninggalkan Dicky. Kembali melanjutkan pekerjaannya. Merapikan dagangan toko Bu Ninik.
"Cowok tadi mamanya Nandes ya Nu? Dia keren ya..pake kaus tanpa lengan gitu kelihatan macho"
"Buruan buat laporannya mas." teriak Janu dari bagian belakang toko. Tanpa ada niatan menanggapi kata-kata teman kerjanya.
xxxx
Nandes menambah kecepatan motornya. Berusaha sebisa mungkin segera sampai rumah. Ibunya saat ini pasti sedang menunggunya. Awalnya niatnya hanya ingin melihat Janu di pasar sebentar. Tapi tanpa ia duga ternyata dia cukup lama di pasar tadi. Entahlah sosok Janu belakangan ini menyita perhatiannya. Bahkan Nadira sang pacar tak pernah merebut perhatian ya seperti ini.
Nandes tidak pernah melakukan hal konyol demi pacarnya yang cantik itu. Tapi pada Janu, remaja bertubuh tegap itu rela kepasar beli satu bungkus santan instan.
Nandes mendadak jadi penasaran ingin lebih dekat, ingin mengenal Janu. Ingin menjadikan Janu seperti Alsaki dan Enda. Namun tentu saja tak akan ia perlakuan seperti dua sahabatnya itu. Jika Janu bergabung menjadi teman gengnya Janu tak akan ia suruh-suruh seperti Alsaki dan Enda.
Atau lebih baik Janu ia tarik untuk jadi pemain cadangan di tim basketnya. Ahh gak mungkin, teman lainnya belum tentu setuju.
Lalu bagaimana caranya supaya Janu menjadi temannya, dekat dengannya. Nandes menambah kecepatan motornya sambil memikirkan Janu, alih-alih memikirkan apa yang akan terjadi setelah dia sampai rumah.
Dan benar. Bu Mira berkacak pinggang dengan spatula di tangan kanannya. Wanita itu berdiri depan teras menunggu anak bungsunya dengan wajah marah.
Bu Mira mendelik ketika mendengar suara motor ninja milik anak bungsunya mulai memasuki pelataran rumah. Lalu berhenti tepat depan teras.
"Kamu itu beli santan instan di mana??!!! Apa warungnya pindah ke Nusa Kambangan??!!!" Sembur Bu Mira dengan wajah marah.
Nandes turun dari motornya, lalu melangkah mendekati ibunya. Remaja bertubuh atletis itu mengulurkan plastik berisi satu santan instan pada ibunya.
"Aku beli di pasar, ini kembaliannya. Hemat lima ratus rupiah. Kalo beli di warung kan harganya tiga ribu." Menundukkan kepala. Menyerahkan uang kembalian dari saku celananya.
"Kamu hemat uang lima ratus rupiah tapi buang waktu ibu tiga puluh menit Nandes. Ibu nungguin kamu lama banget. Jadi gak selesai-selesai masaknya."
"Kamu itu aneh kalau di suruh ke pasar gak mau, gak disuruh ke pasar malah beli sampai pasar. Buang waktu aja" sewot Bu Mira sambil berlalu pergi.
Nandes mendongakkan kepala saat ia tahu ibunya sudah berlalu pergi lalu menjulurkan lidahnya untuk membalas omelan ibunya.
Bersambung...