Chereads / My Janu ( BEING WITH YOU) / Chapter 9 - Pasar

Chapter 9 - Pasar

Dari sudut mata, jantung hati mulia terjaga bisik ditelinga.

Coba ingat semua.

Dan bangunkanlah aku, dari mimpi-mimpi ku.

Sesak aku di sudut Maya dan tersingkir dari dunia nyata.

Dan kau menawarkan rasa cinta dari hati...

By. Letto

Setiap hari Minggu Janu akan bangun lebih awal dari biasanya, karena setiap hari minggu Janu akan pergi membantu Bu Ninik tetangga depan yang memiliki toko sembako di pasar. Dalam satu Minggu Janu akan membantu di toko Bu Ninik setiap hari Senin, Rabu dan Minggu. Selain hari Minggu Janu hanya akan membantu Bu Ninik selepas remaja itu pulang sekolah hingga jam lima sore.

Lumayan uang jajan yang diberikan Bu Ninik jika Janu kumpulkan dalam satu bulan bisa tersimpan tiga ratus ribuan. Bisa Janu kirimkan untuk membantu keuangan ibunya di desa. Bila hari Minggu seperti hari ini Janu akan membantu Bu Ninik dari jam enam pagi hingga jam empat sore, dan uang jajan yang Bu Ninik berikan bisa delapan puluh ribu atau lebih jika toko sangat ramai pembeli.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 05.30 Janu mempercepat diri untuk segera bersiap. Pukul 6 pagi dia harus sudah berdiri di depan rumah Bu Ninik. Remaja itu sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah yang biasa ia kerjakan. Dari mengepel lantai, menyiapkan sarapan dan mencuci pakaian. Yah..Janu melakukan semua pekerjaan itu sendiri di pagi buta.

Jadi ketika tantenya bangun semua pekerjaannya sudah beres. Dengan begitu Tante Melda tidak akan marah dan melarangnya untuk membantu Bu Ninik di tokonya.

Setelah bersiap Janu melangkah ke pintu depan. Baru saja ia akan membuka pintu suara Tante melda mengejutkannya.

"Mau nguli lagi kamu?" tanya Tante Melda sambil berdiri di pojok pintu antara ruang tamu dan ruang keluarga. Wanita itu melipat kedua tangannya di dada.

"Iya Tante."

"Heh…..nyari susah kamu ya, emang uang yang Tante Sarah kasih ke kamu kurang ya, sampai kamu harus susah payah nguli di tokonya si Ninik itu," ketus Tante Melda. Padahal uang yang Janu dapat dari Tante Sarah selalu ia berikan pada wanita itu.

"Terserah kamu deh.." sambil melambaikan tangan ke udara membuat gekstur tanda masa bodoh.

"Kamu udah di kasih kerjaan enak masih aja mau nguli di pasar," lanjut Tante Melda.

"Janu pergi dulu Tante," pamit remaja itu tanpa ada niat menanggapi kata-kata tantenya.

"Tunggu Janu!" cegah Tante Melda sebelum Janu melangkahkan kaki keluar rumah.

"Ingat ya...jangan sampai kulit kamu lecet. Pastikan telapak tangan kamu tetap halus. Aku gak mau tahu," ucap Tante Melda memperingatkan.

Kalo saja Tante Melda mengatakan itu tulus dari dalam hatinya karena khawatir akan Janu, remaja itu pasti senang mendengarnya. Namun, Tante Melda berkata seperti itu karena dia tidak mau asetnya turun nilai jualnya jika lecet sedikit saja.

Wajah dan tubuh Janu adalah aset. Sumber penghasilan jangan sampai luka walau sedikit.

Janu mengangguk lemah. Remaja itu kemudian membuka pintu dan keluar rumah, berjalan menuju rumah Bu Ninik.

"Eh Janu...kirain gak bisa bantu lagi hari ini, hampir saja ibu cari orang lain," kata Bu Ninik ketika melihat Janu datang dan berjalan mendekatinya saat sedang menyusun sebagian barang dagangan yang harus dibawa ke tokonya.

"Maaf Bu rabu kemarin aku gak bisa bantu ibu gak sempat kabarin juga, ehmm ada kesibukan lain di rumah."

"Iya gak apa-apa, ibu paham. Sekarang bisa bantu ibu sampai sore kan?"

"Bisa Bu."

"Ya udah kalo gitu bantu ibu nyusun barang ke mobil ya."

"Iya.." jawab Janu.

Lalu kemudian Janu mulai membantu Bu Ninik menyusun beberapa barang dagangan dari gudang belanjaan ke dalam mobil pick up warna biru milik Bu Ninik. Wanita mandiri itu punya satu toko sembako di pasar, selain di pasar Bu Ninik juga membuka toko sembako di depan rumah, oleh karena itu terkadang Bu Ninik membawa sebagian dagangannya pulang ke rumah.

Wanita mandiri itu tidak punya anak, dulu ia punya satu anak namun Janu dengar anak Bu Ninik meninggal saat masih usia anak-anak dan setelah itu Bu Ninik tidak memiliki momongan lagi. Sedangkan suaminya jarang di rumah, hanya dalam tempo beberapa hari saja suami Bu Ninik akan terlihat ada di rumah. Janu tidak tahu sibuk kerja apa.

Sejauh ini Bu Ninik adalah wanita yang baik karena memberi Janu pekerjaan paruh waktu yang uangnya bisa Janu kirimkan untuk ibu dan adiknya di kampung. Bisa saja Janu mengirimi ibu dan adiknya dari uang yang ia dapat dari para Tante yang pernah ia layani. Tapi Janu tak tega jika membantu ibunya dengan uang itu.

Karena itu setiap diberi uang oleh Tante Sarah Janu akan memberikan uang itu pada Tante Melda, setidaknya untuk membantu biaya hidup setelah pamannya tiada.

"Nu...kamu yang setir mobilnya, ibu masih ngantuk." kata Bu Ninik saat Janu sudah selesai menyusun barang di belakang bak mobil pick up milik Bu Ninik.

"Iya.. Bu," jawab Janu sambil segera masuk kedalam kursi kemudi. Di ikuti Bu Ninik duduk di samping Janu.

"Sekarang kamu sudah kelas berapa Nu?" tanya Bu Ninik di tengah perjalanan mereka menuju pasar.

"Kelas 12 sekarang."

"Gak kerasa ya Nu… sebentar lagi kamu lulus sekolah, setelah lulus sekolah kamu pulang kampung ya?"

"Iya, aku akan kembali ke kampung," jawab Janu sambil tetap fokus menyetir mobil.

"Kamu gak ingin lanjut kuliah Nu? Jaman sekarang ijazah SMA apa bisa buat cari kerjaan yang mapan?"

"Gak ada biaya buat kuliah Bu, lagian aku harus bantu ibu buat sekolahin adikku."

"Kamu bisa kuliah sambil kerja Nu.. seperti sekarang yang kamu lakukan."

Janu diam sejenak.

"Lihat aja nanti Bu kalo ada rejeki lebih," kata Janu tanpa menoleh ke arah Bu Ninik.

"Amin.. semoga kamu sukses kedepannya ya," harap Bu Ninik tulus.

Di mata Bu Ninik Janu itu anak yang baik rajin dan tekun, sekalipun anaknya pendiam tapi Bu Ninik tahu sebenarnya Janu itu ramah. Dia hanya sedang menyembunyikan sesuatu sehingga membuatnya menjadi pendiam.

xxxxx

"Nandes.. bangun!!"

Nandes menggeliatkan badan saat mendengar suara ibunya dari luar pintu kamar.

"Udah siang Nandes bangun..antar ibu ke pasar yuk," kali ini sang ibu membuka pintu kamar Nandes.

"Bangun Nandes...ayo antar Ibu ke pasar dulu."

"Masih ngantuk Bu..aku mau tidur bentar lagi," jawab Nandes malas malasan.

"Makanya kamu itu jangan suka begadang, sudah mau ujian sekolah masih aja suka begadang. Ayo bangun," Wanita yang dipanggil Ibu Mira itu masuk ke kamar putranya, lalu membuka gorden jendela kamar. Nandes merasa terganggu dengan silau sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela kamarnya.

"Kenapa gak pergi ke pasar sendiri sih Bu, biasanya juga pergi sendiri," keluh Nandes.

"Sekali-kali kamu antar ibu ke pasar, ibu juga pingin dianterin anak bujang ibu ke pasar kaya ibu-ibu lainnya Des."

"Ahhh ibu ada-ada aja sih…"

"Kamu itu kalo dimintai tolong Ibu malas banget, tapi kalo minta uang jajan rajin," omel Bu Mira sambil merapikan pakaian yang berserakan di lantai.

"Udah besar harusnya kayak gini bukan ibu lagi yang beresin, gak malu, udah punya pacar tapi kamar berantakan masih Ibu yang beresin"

Nandes bangkit dari tempat tidur dengan malas lalu segera berjalan keluar kamar untuk ke kamar mandi. Kalau ibunya sudah mulai mengomel Nandes lebih baik gerak cepat, dari pada harus mendengar omelan ibunya yang bisa berlanjut hingga nanti jam makan siang.

Bu Mira duduk di teras rumah, wanita itu menunggu Nandes anaknya selesai mandi dan berpakaian sambil mengamati suaminya pak Rudi yang sedang mencuci mobil kesayangannya.

"Nandes mau antar ke pasar Bu?" tanya pak Rudi di sela-sela pria itu mencuci mobil kesayangannya.

"Mau, itu juga karena ibu paksa, heh..gak tahu lah.. Nandes itu harus dipaksa dulu baru mau bantu-bantu rumah," keluh Bu Mira.

Pak Rudi hanya tersenyum menanggapi keluhan istrinya itu.

"Karena ibu yang terlalu memanjakan anak itu, jadi jangan mengeluh kalau hasilnya seperti itu."

"Ayah kok jadi menyalahkan ibu, Nandes saja yang emang begitu yah."

Tak lama kemudian Nandes keluar dari dalam rumah. Sudah mandi, wangi dan seperti biasa terlihat cool.

"Naik motor bebek aja, ibu gak mau naik motor kamu itu." Bu Mira menunjuk motor Kawasaki ninja warna hitam dan merah milik Nandes.

Motor baru milik Nandes hadiah dari kakaknya.

"Yang boleh duduk di motor itu cuma orang spesial Bu.." bahkan Nadira gadis remaja yang menjadi pacarnya satu bulan ini belum pernah merasakan naik motor miliknya.

"Jadi maksud mu Ibu mu ini gak spesial buat kamu?"

"Ya bukan begitu...ibu sensi banget deh."

"Makanya gak usah ngomongin orang spesial, beresin kamar sendiri aja gak bisa!"

Nandes garuk kepala. Dah ahh diam saja. Ibu sedang tidak dalam mood yang baik.

Nandes mendorong motor bebek milik ibunya dari teras rumah, ia lalu duduk di atas motor siap untuk mengantar ibunya ke pasar.

"Jangan ngebut Des, hati-hati bawa ibumu," kata pak Rudi mengingatkan Nandes.

"Ibu pergi dulu ya yah, kalau mau sarapan semua sudah ibu siapkan di meja makan," kata Bu Mira sebelum wanita itu naik ke atas motor.

"Pegangan Bu," kata Nandes saat ibunya duduk di atas motor.

"Jangan ngebut ya Des."

"Yang penting ibu pegangan."

Perlahan Nandes mulai meninggalkan halaman rumah. Pergi ke pasar mengantar Ibunya. Hal yang selalu Nandes hindari. Karena dulu dia pernah mengantar ibunya ke pasar dan dia merasa bosan menunggu ibunya berbelanja. Sejak itu Nandes gak pernah mau jika diminta ibunya untuk mengantar pergi ke pasar.

Namun entah hari ini ada perasaan yang membuatnya ingin mengantar ibunya berbelanja di pasar.

Sesampainya di pasar Nandes mencari tempat parkiran.

"Kamu ikut ibu keliling cari belanjaan ya Des…" ajak Bu Mira pada putra bungsunya.

"Ahhh aku nunggu di sini aja deh Bu, aku tunggu sambil makan bakso." kata Nandes sambil menunjuk penjual bakso dekat tempat parkir.

"Ibu belanjanya bakalan banyak Des, kamu harus bantu bawa."

Nandes ingin terus menolak, namun lagi-lagi di sebagian isi hatinya mengatakan untuk menuruti keinginan ibunya. Rasanya berdebar seakan ada sesuatu yang sedang menunggunya.

Cowok remaja itu kemudian berjalan mengekor di belakang ibunya sambil membawa beberapa kantong plastik berisi sayuran dan lainnya.

"Ini anak bujangnya ya Bu Mira?" tanya seorang penjual ayam sayur langganan Bu Mira.

"Ohh...iyaaa Bu..hehhee saya paksa buat anterin saya belanja"

"Duh...ya ampun gagah, ganteng kayak bintang film anak bujangnya Bu.." puji si penjual ayam sayur di tengah kesibukannya memotong motong daging ayam.

"Buruan Bu Agus...jadikan mantu. Gagah loh anak Bu Mira ini," sahut ibu-ibu penjual ikan yang berada tepat di depan penjual ayam sayur.

"Hahaha….walah...gak bisa saya ambil mantu. Lah gimana anak saya juga laki-laki," jawab Bu Agus penjual ayam sayur sambil tertawa.

"Saya punya anak gadis tapi masih umur lima tahun," sahut penjual lainnya.

"Kalau itu sih masih ada harapan, usia bukan masalah ya….." sahut si penjual ikan.

"Ehhh bener juga, Bu Mira kalo anaknya yang gagah itu sukses kabar-kabar ya Bu."

"Iyaaa iyaa...nanti saya kabari kalau bujang saya sukses," jawab Bu Mira mengimbangi candaan ibu-ibu pasar.

Dalam hati sih, Bu Mira bangga sekali hari ini. Sudah lama dia ingin pamer ke ibu-ibu pasar kalau dia punya anak laki-laki yang gagah dan ganteng. Begitulah seorang ibu. Di matanya anak laki-lakinya adalah yang paling tampan sejagat.

Remaja yang sedang dibicarakan hanya senyum-senyum. Makin membuat ibu-ibu gemas ingin menjadikan menantu.

"Duluan ya Bu ibu….saya mau cari gula dan minyak goreng dulu," pamit Bu Mira setelah menerima satu kantong plastik ayam sayur pesanan miliknya.

"Iyaa terimakasih loh..sudah mampir belanja," jawab Bu Agus penjual ayam sayur.

Bu Mira tersenyum ramah, lalu ia dan Nandes kembali berjalan ke arah deretan toko penjual sembako.

Deg.. deg..deg..

Suara debaran jantung Nandes.

Bersambung...