Nandes berjalan melewati lorong sekolahan menuju parkiran, diikuti dua sahabatnya mengekor di belakangnya. Langkah remaja bertubuh atletis itu terhenti saat ia melintasi ruang perpustakaan, seseorang yang duduk di sudut ruang perpustakaan di sana mengusik pandangan, menarik perhatiannya.
Melihat Nandes menghentikan langkahnya, Alsaki merenggangkan satu tangannya, memberi kode Enda untuk berhenti melangkah.
"Apaan sih," gerutu Enda.
"Tuh..." Alsaki menunjuk Nandes yang berdiam diri depan pintu perpustakaan dengan wajahnya.
Melihat Nandes mengarahkan pandangannya ke dalam perpustakaan Enda jadi ikut penasaran. Apa sih yang menarik perhatian sahabatnya yang satu itu.
"Apa dia pengen belajar di perpus?" bisik Enda ke telinga Alsaki.
"Liat aja," jawab Alsaki setengah berbisik.
Nandes memutuskan untuk masuk kedalam ruang perpustakaan, berjalan menghampiri seseorang yang duduk seorang diri di sudut ruangan sambil membaca buku di tangannya.
Janu mendongak ke atas ketika ia merasakan kehadiran seorang di sekitarnya. Kedua matanya langsung bertemu dengan kedua mata Nandes yang kata cewek-cewek 'penuh daya pikat' mereka saling tatap satu sama lain untuk sesaat.
Bibir tipis Nandes membentuk sebuah senyuman. Remaja itu menarik satu kursi dan kemudian ia duduk tepat di depan Janu.
Janu hanya diam seolah tak peduli dengan kedatangan Nandes di depannya.
"Kok lo gak tanya sih kenapa gue kesini?" kata Nandes membuka percakapan.
"Ini perpustakaan siapa saja boleh masuk dan duduk disini," jawab Janu tanpa menoleh ke arah Nandes. Remaja itu tetap fokus membaca buku di tangannya.
"Gue bukan anak teladan, bukan kutu buku juga. Harusnya lo surprise liat gue masuk perpustakaan." Nandes mencari cara untuk menarik perhatian remaja cowok di depannya.
Sejak kapan ada orang lebih tertarik sama barisan kata dalam buku daripada berbicara dengannya.
"Biasa aja aku gak peduli sama kamu," sahut Janu tak acuh.
Kalau saja Janu itu salah satu penggemar Nandes sudah dipastikan akan berguling bahagia karena di samperin Nandes seperti ini. Penggemar Nandes itu gak hanya cewek. Cowok di sekolah sebagian juga ingin bisa berteman dengan cowok remaja yang terkenal cool itu.
Bukan ingin ketularan pintar, Nandes bukan murid pintar nilai pelajarannya selalu jelek. Mereka berharap bisa berteman dengan Nandes hanya ingin bisa ikutan tersohor di kalangan para cewek di sekolah Nusa Bangsa. Lihat saja Alsaki dan Enda dua sahabat Nandes itu ikut terkenal. Mereka juga seperti bintang sekolah. Padahal yang lebih cakep juga banyak.
"Jangan cuekin gue, gue gak biasa di cuekin." Nandes menarik buku yang dibaca oleh Janu.
Janu menatap sebentar ke arah Nandes. Nandes meringis memamerkan deretan giginya.
"Gue denger pagi ini lo di-bully lagi" Tanpa permisi Nandes memegang rahang Janu lalu menggerakkan wajah Janu ke kiri dan kanan memeriksa apakah kabar yang terdengar itu benar atau tidak. Sekalian memeriksa ada luka atau tidak.
"Kita gak cukup dekat, buat kamu sok perhatian begini." Janu melepaskan tangan Nandes dari wajahnya.
"Kita emang gak cukup deket, tapi gue dua kali tolongin lo, dan lo punya hutang budi sama gue kan."
"Aku gak pernah minta tolong sama siapapun. Kamu pergi aja aku gak suka kamu dekati aku," kata Janu pedas.
"Gak bisa, gue udah terlanjur tolongin nyawa lo, jadi lo otomatis punya hutang budi sama gue. Kalau lo belum balas budi gue bakal terus nempelin lo."
"Kamu mau uang berapa?"
"Wahhhhhh.....lo banyak uang ya?" Nandes pura-pura terkejut.
Padahal dia tahu Janu tak sekaya itu. Bukankah tadi ada yang bilang cowok ini bisa masuk sekolah ini karena beasiswa.
"Asal dengan itu kamu gak deketin aku lagi. Akan aku usahakan." Janu kembali membaca buku di tangannya.
Ada Tante Sarah dia bisa minta uang sama Tante Sarah nanti. Yang penting dia gak punya hutang budi sama siapapun. Kalau sama Tante Sarah setidaknya dia bisa bayar pakai tubuhnya. Hutang budi sama Tante Melda sudah cukup membuat hidupnya seperti di neraka.
"Tapi sayangnya gue gak mau di bayar pake uang"
Janu menarik nafas dalam lalu menutup bukunya. Ia kembali menatap kearah Nandes. Cowok remaja yang duduk di depannya dengan sisa keringat masih membasahi wajah dan bagian dadanya. Karena gerah Nandes memang sengaja tidak mengancingkan seragamnya hingga atas.
"Terus mau kamu apa?"
"Traktir gue," sahut Nandes sambil tersenyum.
"Aku kasih uang, kamu bisa beli makanan apa saja yang kamu mau."
Janu tidak mau terlibat dengan orang lain, lebih tepatnya tidak mau menjalin hubungan apapun dengan orang lain. Sekalipun hubungan teman. Untuk itu dia menjauhi semua hal yang akan membawanya dekat dengan seseorang.
Ia menutup diri. Menutup hati. Berteman pun dia tak mau.
Namun Janu tidak tahu jika cowok remaja di depannya itu justru semakin penasaran dengan sikapnya yang tak acuh.
Nandes akan melakukan apa saja untuk menjawab rasa penasarannya.
Nandes bangkit berdiri lalu berjalan ke arah belakang Janu, ia membungkukkan punggungnya, lalu satu tangannya meraba kedua saku celana Janu.
"Kamu ngapain sih," protes Janu tak suka.
Nandes berhasil mengeluarkan ponsel baru dari saku celana Janu. Ia sempat terkejut dengan seri tipe ponsel milik Janu. Ponselnya saja tak sebagus milik Janu. Apa info yang dia dengar itu kurang valid. Janu tak seperti siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Nandes meraih jari Janu lalu menempelkan telunjuk remaja itu pada bagian belakang ponsel. Setelah itu Nandes mengetik nomor ponselnya sendiri lalu menekan kata simpan.
"Ini," Nandes mengembalikan benda segi empat itu ke si pemiliknya.
"Lo bisa hubungi gue kapan aja, asal lo dah siap buat traktir gue," kata Nandes sambil mengedipkan satu matanya dan tersenyum nakal.
Janu mengambil ponselnya dari tangan Nandes dengan wajah kesal. Cowok remaja itu lalu mengemasi bukunya dan melangkah pergi keluar dari ruang perpustakaan.
Depan pintu perpustakaan Janu memergoki dua sahabat Nandes berdiri saling dorong. Janu melirik sekilas ke arah Alsaki dan Enda. Dua orang itu hanya bisa nyengir menutupi rasa canggung mereka karena ketahuan mengintip dari pintu. Setelah itu Janu kembali melangkahkan kakinya meninggalkan ruang perpustakaan untuk pulang.
"Kalian ngapain di sini?" tegur Nandes pada dua sahabatnya, remaja itu sudah berdiri depan pintu ruang perpustakaan.
"Nungguin lo lah..." jawab Enda
"Buat apa? Biasanya juga kalian berdua pulang duluan."
"Ya hari ini kita mau pulang bareng bertiga," sahut Alsaki.
Nandes berdecak malas.
"Gue belum mau pulang," kata Nandes seraya melangkah melewati dua sahabatnya.
"Mau kemana lo?" Alsaki berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Nandes.
"Biasa ...."
"Ikut!!" seru Alsaki dan Enda serempak.
xxxx
Dan disinilah mereka bertiga, duduk di gubuk dekat jembatan. Tempat persembunyian paling nyaman. Nandes mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasnya.
"Wew..... berani masukin rokok dalam tas ya..." kata Enda sambil ikut mengambil sebatang rokok milik Nandes.
"Gak ada jadwal pemeriksaan juga," jawab Nandes sambil menghisap rokok miliknya.
"Lo gak usah." Alsaki menyambar sebatang rokok yang Enda selipkan di bibirnya.
"Ngapa sih..." protes Enda. Dia kan ingin coba juga.
"Ya Lo gak usah ikutan gue aja," kata Alsaki sambil menyelipkan bagian ujung rokok itu ke bibirnya sendiri.
"Ya masalahnya apa? Lo bisa ikutan kok gue gak?"
"Lo gak pantes jadi anak bandel, lo baik-baik aja jadi anak teladan."
"Alasan lo gak mendasar Al...sini gue mau coba."
"Gue bilang gak usah." Alsaki memasukkan sebungkus rokok itu ke saku celana Nandes.
"Jangan kasih dia Ndes."
"Ihhh..apaan sih Al. Lo kayak Emak gue aja rempong banget." Enda jadi kesal.
"Ini demi kebaikan lo, tahu." Alsaki menjentikkan jari ke kening Enda.
"Udah si Nda nurut aja sama suami," seloroh Nandes sambil menghisap rokoknya lalu menghembuskan asap rokok itu ke atas membentuk lingkaran seperti cincin.
"Idih....suami siapa, enak aja lo kalau ngomong. Ogah!"
"Ohhhh Alsaki bukan suami lo ya, kirain kalian lagi main istri istrian hahha ..."
"Hiiiiii...amit amit tujuh turunan delapan tanjakan," cibir Enda dengan gaya sok jijik.
"Siapa juga yang mau jadi laki lo, gue Juga gak sudi." Alsaki memukul kepala Enda.
Kedua cowok remaja itu berakhir dengan saling pukul satu sama lain.
Di kala dua sahabatnya sedang bergurau, mata Nandes memandang ke arah jembatan, tempat di mana ia pertama kali melihat sosok Janu sedang berdiri di sana. Mereka memang satu sekolah tapi Nandes mengenal cowok itu saat dia akan melakukan tindakan bunuh diri.
Dan sekarang Nandes jadi penasaran, apa yang membuat Janu ingin mengakhiri hidupnya, kenapa Janu seperti enggan untuk berbicara dengan orang lain, kenapa tatapan matanya menyiratkan rasa kesepian yang mendalam. Dan hal itu mengusik hatinya. Nandes ingin tahu, ia ingin mendekati remaja itu bagaimana pun caranya.
Tanpa ia tahu rasa penasaran itu akan membawanya pada satu hubungan yang akan sulit untuk diabaikan.
Bersambung...