Setelah memarkirkan motor bebeknya, Janu lalu berjalan untuk menuju kelas. Namun langkah Janu terhenti ketika ada beberapa murid menghalangi langkahnya.
"Heiiii sini lo!" panggil seorang gadis remaja berambut panjang ikal warna cokelat alami. Mulutnya bergerak-gerak sibuk mengunyah permen karet.
Janu tak menghiraukan panggilan itu ia memilih menggeser langkah menghindari beberapa siswa-siswi siswi yang menghalangi jalannya.
"Sreeetttttttttt" Gadis remaja berambut ikal itu menarik kasar pergelangan tangan Janu.
"Berani lo ya!!!!" desis gadis bernama Sefria dengan tatapan benci.
Janu menghempaskan cengkraman tangan Sefria tak kalah kasar.
"Masih pagi, biarin aku masuk kelas hari ini tanpa hambatan," kata Janu pelan. Tapi tidak menunjukkan rasa takut.
Sefria tersenyum licik, ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Janu lalu meniup permen karet yang ia kunyah hingga membuat gelembung dan pecah tepat di ujung hidung Janu.
"Hahhaaa...." Sefria tertawa keras saat menangkap mata Janu mengerjap kaget.
"Sayangnya gue gak pengen tuh biarin pagi lo lancar tanpa hambatan," kata Sefria dengan senyum menyeringai.
Gadis remaja berambut ikal itu lalu melepeh permen karet dari mulutnya, kemudian menempelkan bekas permen karet yang ia kunyah itu ke rambut Janu.
"Nahhh...gini kan bagus rambut lo ada hiasannya ya gak."
"Hhahahaha...." suara tawa dua orang cowok remaja yang berdiri di belakang Sefria.
"Sana pergi lo! Hari ini cukup ini aja," usir Sefria.
Janu menatap kesal ke arah gadis di depannya itu. Namun dia tidak protes atau melawan. Dia hanya diam, membiarkan perbuatan tak sopan Sefria padanya.
"Ngapain lo liat gue kayak gitu. Lo gak terima? Lo gak suka!!??" teriak Sefria marah ketika ditatap seperti itu oleh Janu.
Murid lain di sekitar tempat parkir hanya melihat sekilas kearah Janu dan Sefria. Mereka tidak tertarik untuk ikut campur, lagi pula malas berurusan dengan cewek berambut ikal itu.
Janu diam tak menyahut ia memilih segera menyingkir dari hadapan gadis remaja itu. Malas meladeni. Toh Sefria sudah melakukan apa yang dia mau, Sefria tak akan mencegahnya lagi untuk masuk kelas.
Perlakuan seperti itu sudah biasa Janu terima dari Sefria. Dulu gadis itu baik-baik saja tidak mengenal Janu dan tidak mengganggu Janu. Namun, belakangan ini sikap Sefria berubah.
Gadis itu selalu mengganggu Janu setiap hari. Seakan hidupnya tidak lengkap jika sehari saja dia tidak mengerjai Janu. Apa lagi tatapan matanya. Gadis itu menatap Janu benci. Tak tahu apa yang membuat gadis remaja itu begitu membenci Janu.
Masih ada waktu beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Janu pergi ke toilet untuk membersihkan permen karet yang menempel di rambutnya.
Ketika berjalan ke arah toilet, Janu melewati beberapa siswa sedang duduk-duduk sambil bersendau gurau satu sama lain. Entah apa yang mereka lakukan betah sekali duduk dan berdiri di situ. Apa aroma toilet membuat mereka betah. Hal bodoh dan membuang waktu menurut Janu.
Diantara sekelompok siswa itu, ternyata ada Nandes dan dua sahabatnya. Nandes melihat ke arah datangnya Janu yang melintas tanpa menyapa untuk sekedar basa basi.
"Eh...liat rambut tu anak gak?" tanya salah satu siswa pada temannya.
"Iyaaa hahha... dia pasti dikerjain sama geng-nya Sefria," jawab siswa lain sambil tergelak diikuti teman yang lainnya.
"Emang punya masalah apa tu anak sama Sefria?" tanya Nandes menimpali obrolan.
"Gak tau, pernah nolak cintanya Sefria mungkin."
"Atau pernah utang Sefria tapi gak mau bayar hahah," sahut yang lain.
Tak ada satupun jawaban yang memuaskan Nandes.
"Kalian berdua tahu gak?" kali ini Nandes bertanya pada kedua sahabatnya Alsaki dan Enda.
"Gue juga sering sih liat dia di kerjain sefria dan temen-temennya, tapi masalahnya apa gue gak tau," jawab Alsaki, diikuti anggukan Enda.
Nandes, manggut-manggut tanda mengerti.
"Dari kemarin deh kayaknya lo itu jadi peduli sama tu anak."
"Gak sih penasaran aja gue," jawab Nandes cuek.
"Lo sama Nadira aja gak pernah penasaran, kok sama Janu penasaran. Aneh.." heran Enda.
"Sok tau banget jadi anak," kata Nandes sambil menjitak pelan kepala Enda.
"Mau kemana?" teriak Enda saat melihat Nandes melangkah pergi.
"Toilet," jawab Nandes tanpa menoleh.
Janu berdiri di salah satu wastafel. Dengan bantuan cermin di depannya, cowok remaja itu berusaha untuk membersihkan sisa-sisa permen karet yang masih menempel pada rambutnya. Ia sampai tidak menyadari ada seseorang yang masuk ke dalam toilet dan berdiri di dekatnya.
"Mau gue bantu?"
Janu melonjak kaget. Ia menoleh kedatanganya suara itu.
Berdiri Nandes tepat di depannya.
"Gak usah," jawab Janu tak acuh.
"Itu masih ada permen karetnya dibagian belakang kepala lo." Nandes menunjuk bagian rambut Janu yang masih ada sisa-sisa permen karetnya.
Janu diam saja tidak menghiraukan Nandes.
Nandes meraih bahu Janu lalu memutar tubuh remaja itu untuk menghadap ke arahnya.
"Kamu mau ngapain sih?" Janu menghentakkan bahunya untuk menyingkirkan tangan Nandes.
"Diem! atau gue kasih tau seluruh sekolahan kalo lo kemarin lusa mau bunuh diri di jembatan sungai itu!" ancam Nandes.
Ancaman Nandes berhasil membuat Janu terdiam.
Nandes maju selangkah berdiri semakin dekat dengan Janu. Lalu kedua tangannya terulur ke arah kepala Janu, pelan-pelan Nandes membersihkan sisa permen karet. Janu hanya berdiri diam tanpa ada niatan bergerak sedikitpun.
jarak tubuh mereka begitu dekat kira-kira hanya satu jengkal, membuat Janu bisa menghirup wangi parfum yang Nandes pakai. Wajah Janu tepat berhadapan dengan dada Nandes. Dua kancing teratas seragam Nandes yang terbuka membuat Janu bisa melihat sedikit kulit dada cowok itu.
"Lo kenapa bisa dikerjain sama cewek begini, lo kan cowok harusnya lo lawan dong," kata Nandes sembari mengurai helaian rambut Janu yang saling menempel karena lengket oleh permen karet.
"Karena aku cowok makanya aku gak balas," jawab Janu datar.
Nandes tersenyum. "Ohhh pantang laki-laki sejati ribut sama cewek ya?" Nandes mencuci tangan di wastafel setelah selesai membersihkan rambut Janu.
Janu melakukan hal yang sama, mencuci tangannya di wastafel. Ia hendak melangkah keluar dari toilet tapi Nandes mencegahnya.
"Setidaknya lo bilang terimakasih, dua kali gue nolong lo."
"Aku gak pernah minta pertolongan sama kamu."
"Tetap aja lo hutang budi sama gue dua kali, dan lo harus bayar itu."
"Kamu lagi meres aku?"
"Kalo lo merasa begitu ya gak apa-apa."
"Kringgggg....."
Suara bel masuk berbunyi. Janu melepas paksa tangan Nandes yang memegang pergelangan tangannya. Ia lalu keluar toilet meninggalkan Nandes. Tanpa mengatakan satu patah kata pun.
"Lo harus traktir gue kapan-kapan!" teriak Nandes sebelum tubuh Janu menghilang dari balik tembok.
"Dasar cowok aneh sejak kapan sok kenal sok deket," gerutu Janu dalam hati.
Betul, ada apa sama Nandes. Dia adalah anak yang kurang peduli dengan sekitarnya. Apa lagi sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan dirinya, Nandes tak akan peduli.
Itu kenapa Nandes baru menyadari Janu satu sekolah dengannya bahkan satu kelas dengan Nadira pacarnya, saat setelah ia menyelamatkan cowok remaja itu dari aksi bunuh diri.
Dan sekarang Nandes mendadak jadi mau tahu tentang Janu. Entahlah mungkin Nandes penasaran. Hal apa yang dilalui Janu, kenapa sampai dia ingin mengakhiri hidupnya.
Bersambung...