Nandes bisa dibilang ketua geng, meskipun bukan gengster seperti di film-film Hongkong bertema mafia. Dia hanya suka bikin onar di sekolahnya. Dia bukan anak nakal yang suka berbuat kriminal dia hanya remaja yang doyan membolos dan jarang mengerjakan tugas. Tingkahnya sering membuat guru di kelas pusing tujuh keliling.
Nandes remaja berusia 17 tahun, lumayan ganteng kata cewek-cewek di sekolah. Tubuhnya tinggi tegap, otot perut mulai terbentuk sempurna maklum anak remaja masih seneng-senengnya olahraga. Dia paling suka olahraga basket, tidak hanya suka tapi jago, Nandes dan teman-temannya sering menyabet juara dan mengharumkan nama sekolah dalam bidang olahraga.
Namun sayang kelincahannya dalam bermain basket tidak berbanding lurus dengan nilai pelajaran yang lain. Remaja itu mendapat nilai jelek disetiap mata pelajaran. Walau begitu Nandes tetap populer di kalangan remaja cewek. Terlalu ganteng kayak selebritis sih tidak, wajahnya itu just nice masih banyak kok yang lebih tampan menawan dari Nandes.
Ada daya tarik yang dimiliki Nandes namun tidak dimiliki oleh cowok-cowok tampan lainnya. Aura Nandes itu dominan, banyak yang bilang Nandes memiliki tatapan memikat.
"I feel his gaze more than skinship."
Begitu kata cewek-cewek yang mendambakan si Nandes.
Namun sayang sekali cewek-cewek itu harus patah hati, ketika cowok pujaan mereka mengumumkan bahwa dia tak lagi single. Nandes in relationship. Dengan cewek paling cantik, paling kaya, paling pintar di sekolah. Kecantikanya itu sebelas dua belas sama Nia Ramadhani.
Kalau sudah begitu, mereka bisa apa. Yakin mau bersaing dengan cewek bernama Nadira itu, sudah secantik dia belum, sudah tinggi semampai seperti dia belum, sudah sekaya dia belum. Jika belum baiknya mengundurkan diri. Gak kuat jika harus bersaing dengan Nadira.
Apalagi Nadira itu terpesona sama Nandes, dia bahkan rela menyatakan cinta duluan dan meminta Nandes untuk jadi pacarnya. Padahal banyak sekali cowok di sekolah atau dari sekolah lain ngantri bak antrian sembako untuk jadi pacar Nadira. Namun, sang tuan putri hanya mau Nandes seorang. Gak mau yang lain.
xxxx
Nandes sekarang dengan gengnya sedang ada di kelas Nadira. Biasalah kalo sudah punya cewek di sekolah pasti punya tugas rutin. Menyambangi kelas pacar. Untuk menunjukan bahwa dia cowok yang perhatian.
Saat ini Nandes sedang duduk di atas meja kelas. Buat anak remaja duduk di atas meja kelas itu suatu yang keren loh menurut mereka, padahal kan gak sopan ya. Tapi begitulah remaja, biar dibilang keren hal salah pun dilakukan. Maklum masih mencari jati diri. Saat usia mereka beranjak dewasa, mereka pasti menyadari akan kesalahan itu.
Selain Nandes, di situ juga ada dua sahabatnya. Namanya Alsaki dan Enda. Bukan Enda gitaris ungu band itu ya. Ini Enda sahabat Nandes. Sahabat rasa asisten. Gimana gak di sebut asisten, dia kebagian disuruh-suruh terus. Seperti ngerjain PR, bikin catatan pelajaran kalau lagi bolos, atau beli makanan di kantin.
Semua karena Enda itu nurut dan lebih pintar dari kedua sahabatnya. Dia punya hobi membaca makanya dia pakai kaca mata minus. Sebenernya kalo masalah nurut gak hanya Enda saja. Si Alsaki juga gak kalah nurut. Apa kata Nandes dia lakukan asal dia bisa tentunya.
Yah maklum diantara mereka Nandes lah yang menonjol di kalangan cewek-cewek. Bisa dikatakan aji mumpung ikut kebagian terkenal selama jadi teman Nandes.
Ketiga cowok remaja itu tertawa terpingkal, entah apa yang sedang mereka bahas. Yang jelas ketiganya sedang menertawakan sesuatu yang menurut mereka lucu.
Tak lama tawa mereka mereda saat Nadira datang. Gadis remaja itu masuk kelas dengan senyum ceria yang melekat di wajah cantiknya. Tidak ketinggalan ada si Davina, sahabat Nadira yang selalu mengikuti kemana Nadira berada.
"Udah dari tadi di sini?" tanya Nadira saat dia sudah berdiri depan Nandes
"Iya, tumben kamu agak telat, kesiangan ya?"
"Iya, gak denger pas alarm bunyi. Kamu sih gak mau bangunin aku."
"Terus kamu maunya aku gimana?"
"Maunya kamu bangunin aku tiap pagi."
"Jadi alarm buatmu?"
Nadira manggut-manggut.
"Iya deh mulai besok aku bakal bangunin kamu tiap pagi, jadi alarm buat kamu. Love alarm gitu kan..." Nandes menatap ke arah Nadira sembari tersenyum.
Nadira tersipu malu, kedua pipinya bersemu merah.
"Pengen muntah gue." Alsaki melakukan gerakan seakan dia mau muntah betulan.
"Jangan duduk di atas meja Ndes, gak sopan tahu," kata Nadira mengalihkan omongan. Dia gak mau jadi bahan ejekan si Alsaki.
"Gak apa-apa lah, lagian meja dipakai buat nulis. Kali aja ada ilmu pelajaran yang diserap meja terus pindah ke kepalaku hehehe ...."
"Ngaco banget kamu, mana ada kayak gitu." Nadira tersenyum geli, lalu duduk di bangkunya.
"Tuh ... dengerin kalau cewek lo ngomong Ndes, Jangan duduk di atas meja, gak sopan. Jadi duduk aja lo di atas Nadira hahhaha ...." Ledek Alsaki, diiringi gelak tawa siswa lain di sekitar mereka.
"Eh tunggu, gue bayangin dulu gimana posisinya," sahut Enda sok ikut-ikutan.
"Bayangin apa! Anak kecil gak boleh sok tahu." Alsaki memukul pelan kepala Enda dengan buku yang dipegangnya.
"Apa sih, emang lo doang yang boleh bayangin," sungut Enda.
"Pokoknya lo gak boleh."
"Bodo amat ..." Enda gak peduli.
"Kalian masih pagi omongan sudah ke mana-mana. Amit-amit deh ... dasar cowok," cibir Davina dari bangkunya.
"Lo jomblo diem aja, gak usah ikut ngomong," balas Alsaki balik mengejek.
"Hahahhaha"
Suara gelak tawa memenuhi kelas yang mulai ramai. Suara tawa mereka mendadak reda saat ada seorang siswa masuk kelas. Suasana yang tadinya ramai jadi hening seketika dan beberapa siswa lain kasak kusuk entah apa yang mereka bisikan satu sama lain.
Semua pandangan tertuju pada siswa itu, namun siswa yang jadi pusat perhatian tak acuh. Dia hanya diam dan tidak bicara sepatah kata pun. Cowok remaja itu langsung duduk di bangkunya, mengeluarkan beberapa buku pelajaran lalu menyimpan tas ranselnya di dalam laci meja.
"Hei ... kok gak kedip gitu lihatnya?" Nadira melambaikan tangannya di depan wajah Nandes.
"Tumben memperhatikan orang sampai kayak gitu."
Nandes hanya tersenyum tipis. Nandes memang tipe orang yang tidak begitu peduli dengan sekitarnya, dia hanya akan memberi perhatian lebih pada sesuatu yang sekiranya menarik perhatiannya.
Seperti sekarang ini, selama sebulan pacaran dengan Nadira, dia hampir tiap hari datang ke kelas pacarnya ini. Namun, baru kali ini Nandes melihat cowok yang baru saja masuk itu. Bukankah dia cowok kemarin yang hampir saja lompat dari jembatan. Ternyata dia satu kelas dengan Nadira. Kenapa selama ini dia gak pernah lihat tuh anak. Gumam Nandes dalam hati.
"Al, lo tahu nama dia siapa?" tanya Nandes pada Alsaki seraya menunjuk siswa yang baru datang dengan dagunya.
"Tahu lah, dia Janu. Elu mah tahunya Nadira doang."
"Janu..." ulang Nandes pelan. Berarti dia gak salah orang.
"Dia anaknya cerdas, tapi emang pendiem gitu. Jarang bergaul," imbuh Nadira.
"Ohhh gitu ..."
"Kenapa sih lo? Tumben amat?" heran Alsaki.
Belum sempat Nandes menjawab bel masuk berbunyi.
"Kringggggggg... kriiiinggggg..... kringggggg"
Siswa-siswi berhamburan masuk ke kelas masing-masing untuk memulai pelajaran. Begitu juga dengan Alsaki dan Enda, dua cowok itu langsung kabur masuk kelasnya meninggalkan Nandes yang masih belum juga beranjak. Remaja itu turun dari meja lalu meraih pergelangan tangan Nadira.
"Aku masuk kelas dulu ya, nanti istirahat aku ke sini lagi."
"Eummm ...." Nadira menganggukkan kepala sambil tersenyum lembut.
"Beneran masuk kelas ya, jangan bolos."
"Gak janji," kata Nandes sambil meringis memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Kamu mau masuk universitas yang sama gak sama aku?"
"Mau dong ... "
"Kalau gitu belajar yang rajin."
"Iyaa...iya... bawel banget pacar aku ini." Nandes mencubit ujung hidung Nadira dengan gemas.
"Nandes!!!! Ini sekolahan bukan biro jodoh. Cepat keluar! Kembali ke kelasmu!!" teriak Bu Siti, guru fisika yang berbadan besar dan terkenal tegas dan galak.
"Udah sana buruan masuk kelasmu, sudah ada Bu Siti tuh ..."
"Tapi masih kangen ..."
"Labay aah udah sana," usir Nadira.
Nandes masih betah berdiri di dekat Nadira yang mulai mengeluarkan buku pelajarannya.
"Ini anak satu paling bandel, keluar gak kamu."
Bu Siti menghampiri Nandes lalu menarik telinga remaja itu untuk keluar kelas.
"Aaaaauuuuuhh Bu...Ampun Bu.. sakit!" ringis Nandes sembari memegangi telinganya.
"Hahhaha huuuuuuuu....." sorak seisi kelas menyoraki Nandes.
Nandes keluar dari kelas Nadira untuk kembali ke kelasnya. Saat berjalan melewati jendela kelas, Nandes menoleh dalam. Matanya memandang ke arah seseorang yang duduk di barisan pojok belakang kelas.
Kedua tatapan mereka bertemu, mereka saling pandang untuk sesaat. Tak lama kemudian dia yang di dalam kelas memutus kontak mata antara mereka berdua. Cowok remaja itu kembali fokus melihat buku pelajaran.
Bersambung...