Beijing, 2009
Orang-orang berpakaian serba hitam masih memenuhi area pemakaman yang terletak di pinggiran kota Beijing. Beberapa orang terlihat berusaha menenangkan sosok wanita yang kini tengah menangis tersedu-sedu di dekat pusara mendiang suaminya.
"Hiks ... Jiangzen ...."
Isakan tangis yang begitu pilu mengundang kesedihan semua orang. Tak terkecuali sosok pria paruh baya yang berdiri di sampingnya.
Gu Jinglei, pendiri dari Royal Groupโkerajaan bisnis yang menguasai pasar Asiaโkini tengah dirundung duka karena kehilangan putra kesayangannya, Gu Jiangzen. Kecelakaan tragis yang dialami Gu Jiangzen kemarin membuat pria berusia 40 tahun itu mendapat cidera serius di bagian kepala. Semua upaya sudah dilakukan untuk menyelamatkan nyawa sang pewaris Royal Group tersebut.
Sayang, takdir berkehendak lain. Tuhan memanggil Gu Jiangzen untuk berpulang ke sisi-Nya.
Di antara mereka yang sedang berduka, keberadaan sosok pemuda berkulit pucat tampak menarik perhatian semua orang.
Gu Changdi, pemuda berusia 16 tahun itu hanya menatap makam ayahnya dalam kebisuan. Ia abaikan suara bising di sekitar, seolah menyalahkan ekspresi wajahnya yang datar, sama sekali tidak menunjukkan kesedihan seperti yang diperlihatkan ibu dan kakeknya.
Gu Changdi berdecih dalam hati. Orang-orang hanya bisa melihat dari luar, tanpa tahu perasaan Gu Changdi yang sebenarnya. Kesedihan yang Gu Changdi rasakan tidak jauh berbeda dengan kesedihan yang dirasakan ibu dan kakeknya, bahkan bisa dibilang lebih dalam.
Sejak kecil Gu Changdi begitu mengidolakan sosok ayahnya. Gu Changdi sangat dekat dengan Gu Jiangzen. Ia menganggap Gu Jiangzen bukan hanya sekedar ayah, melainkan sosok sahabat dan panutan untuknya.
"Changdi ...."
Tepukan halus di pundak membuat Gu Changdi menoleh. Ada sosok Su Huangli, kakak sepupu Gu Changdi dari pihak ibunya yang senantiasa mendampingi. Sejak mereka masih kecil, pemuda berusia 18 tahun itu sudah mendeklarasikan diri akan menjadi orang kepercayaan Gu Changdi di masa depan.
Masa itu akhirnya datang. Hari di mana tugas berat telah menanti di depan mata. Sudah dipastikan Gu Changdi akan menggantikan posisi Gu Jiangzen sebagai pewaris Royal Group selanjutnya.
Inilah yang membuat Gu Changdi enggan memperlihatkan kesedihannya di depan semua orang. Beban berat yang ada di pundaknya memaksa Gu Changdi harus terlihat kuat dan tegar.
"Ayo kita pergi, Kak."
Su Huangli melihat Gu Changdi langsung pergi meninggalkan area pemakaman. Ia tak punya pilihan selain mengikuti adik sepupunya itu. Di samping rasa khawatir, juga ada tanggung jawab yang siap dia emban sebagai orang kepercayaan Gu Changdi. Su Huangli sempat menangkap tatapan sinis yang dilayangkan untuk Gu Changdi. Untung saja Gu Changdi tidak terpengaruh, ia malah terkesan cuek dan terus berjalan meninggalkan kerumunan orang.
Gu Changdi melangkah hati-hati, menghindari deretan batu nisan di area pemakaman. Mendadak dia berhenti ketika tak sengaja menangkap sebuah pemandangan di depan sana.
Ada gadis kecil yang sedang menangis seorang diri di depan dua batu nisan. Meski dari kejauhan, Gu Changdi bisa melihat bagaimana bahu mungil itu bergetar hebat, bersamaan isak tangisnya yang terdengar menyayat hati.
"Gadis itu baru saja kehilangan orang tuanya," tutur Su Huangli dari belakang.
Gu Changdi menoleh kaget, menghadiahi sorot mata bertanya untuk pemuda itu.
"Sebelum prosesi pemakaman Paman Jiangzen, aku tadi sempat melihat gadis itu bersama kerabatnya." Su Huangli mulai menjelaskan. "Karena penasaran, aku menghampiri mereka dan menanyakan apa yang terjadi. Mereka menceritakan kalau orang tua gadis itu meninggal karena kecelakaan."
"Kecelakaan?" Gu Changdi menautkan kedua alisnya. "Kenapa bisa kebetulan seperti apa yang dialami ayahku?"
Su Huangli mengedikkan bahu. Ia hendak membuka mulut, tetapi urung saat mengetahui gadis yang sedang dibicarakan memandang ke arah mereka. Gu Changdi yang menyadari arah pandangan Su Huangli, akhirnya kembali menoleh.
DEG!
Jantung Gu Changdi serasa berdetak liar. Ada perasaan aneh yang bergejolak dalam tubuhnya, ketika dihadapkan pada sepasang mata rusa yang sangat cantik. Sekalipun masih dipenuhi dengan cairan bening yang turun dramatis membasahi pipi.
Senyum mengembang di bibir Su Huangli. Ia melihat gadis itu buru-buru mengusap matanya, sebelum berlari kecil menghampiri mereka.
"Kakak!"
Su Huangli mengusap lembut kepala gadis itu, lalu sedikit berbisik di telinganya, "Kakak butuh bantuanmu."
"Bantuan?"
Su Huangli mengangguk, kemudian tersenyum geli melihat ekspresi polos di hadapannya. "Adik sepupuku ini sedang bersedih. Ayahnya baru saja meninggal, sama seperti orang tuamu."
Mata gadis itu berkedip-kedip, "Benarkah?" tanyanya sambil melirik Gu Changdi.
Su Huangli mengangguk lagi, lantas memposisikan tubuhnya berdiri seperti semula. Ia memandangi gadis itu yang kini berjalan mendekati Gu Changdi.
"Kakak," gadis itu menyuruh Gu Changdi agar sedikit berjongkok. Gu Changdi mengikuti saja ucapannya. Padahal pria itu tak pernah peduli dengan ucapan orang lain. Terutama orang yang baru pertama kali Gu Changdi temui.
GREP!
Tubuh Gu Changdi menegang. Rasanya seperti ada sengatan listrik ketika gadis itu memeluknya dengan sangat erat. Namun detik berikutnya, sengatan itu tergantikan dengan kehangatan yang menjalar di sekujur tubuh.
"Kata ibuku, sebuah pelukan bisa membantu mengurangi kesedihan orang lain."
Gu Changdi tertegun. Kata-kata yang terdengar polos itu berhasil masuk ke relung hatinya. Tanpa sadar menuntun Gu Changdi untuk menggerakkan tangannya, membalas pelukan gadis itu.
"Terima kasih." Gu Changdi tersenyum dengan mata terpejam. Menikmati kenyamanan dalam pelukan gadis mungil itu.
Su Huangli terpana melihat pemandangan langka di depannya. Untuk pertama kali, Gu Changdi tersenyum tulus kepada orang lain.
Gadis itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara yang memanggil-manggil namanya. Secepat kilat, ia melepaskan pelukannya dari Gu Changdi.
"Aku harus pergi." Bibir mungil itu melengkung sempurna. Membuat wajahnya terlihat semakin cantik. "Kakak janji, ya? Tidak boleh bersedih lagi."
Gu Changdi mengangguk. Jemari tangannya terulur ke depan, menghapus jejak air mata di wajah gadis itu. "Kau juga. Berjanjilah untuk tidak menangis lagi," ucapnya.
Gadis itu terdiam sebentar, kemudian mengangguk dengan senyuman mempesona. Ia pun berlari menghampiri dua orang dewasa yang sudah menunggu di dekat pintu keluar. Selama beberapa detik, gadis itu sempat menoleh sambil melambaikan tangan untuk Gu Changdi dan Su Huangli. Sebelum akhirnya pergi bersama kerabatnya meninggalkan area pemakaman.
Dahi Su Huangli berkerut melihat Gu Changdi berjalan mendekati dua makam yang diyakini makam orang tua gadis tadi.
"Lin Hangeng ... Mu Yianwei ...." Gu Changdi mengeja dua nama tersebut, kemudian menoleh ke arah Su Huangli. "Kak?"
"Hm?"
"Cari tahu soal Lin Hangeng dan Mu Yianwei. Aku ingin kau mendapatkan informasi tentang mereka selengkap-lengkapnya," Gu Changdi tersenyum penuh arti, "termasuk gadis itu."
Su Huangli terlalu terkejut mendengar permintaan Gu Changdi, sampai-sampai mengabaikan ekspresi wajah Gu Changdi yang menyiratkan aura berbeda dari biasanya. Ah, seharusnya Su Huangli bisa menyadari lebih awal.
Itu adalah ekspresi seseorang yang sedang jatuh cinta.
TO BE CONTINUED