"Kau membuangnya?!" seru Lin Xiang panik.
Gu Changdi mengangguk lagi. "Ponselmu sudah ketinggalan zaman. Sebagai gantinya, kubelikan ponsel keluaran terbaru yang lebih canggih," jawabnya santai sambil menyodorkan paperbag pada Lin Xiang.
"Kau pikir kau ini siapa, hah?!" Lin Xiang mengepalkan kedua tangannya. "Ponsel itu kubeli dengan uang hasil keringatku sendiri. Kau tidak punya hak untuk membuang barangku!"
"Aku adalah calon suamimu. Kelak, aku berkewajiban untuk menafkahimu." Gu Changdi terdiam sebentar. "Lagipula, aku hanya membuang ponselmu saja. Kartu nomor ponselmu yang lama sudah kumasukkan ke dalam ponselmu yang baru."
Lin Xiang yang bersiap melayangkan pukulan, segera menurunkan tangannya. "Kenapa tidak bilang dari tadi?!"
"Kau sendiri yang langsung emosi begitu mendengar aku membuang ponselmu." Gu Changdi berlagak sok polos dengan memasang wajah tanpa dosa.
"Kau pria menyebalkan!" gerutu Lin Xiang kemudian mulai membuka paperbag. Jujur saja dia masih kesal mengingat Gu Changdi sudah membuang ponsel lamanya. Namun, di satu sisi Lin Xiang bernapas lega setelah mengetahui kartu nomor ponselnya masih tetap ada.
Lin Xiang mengambil sesuatu dari dalam paperbag, lalu menatap kagum pada ponsel terbaru yang dibelikan Gu Changdi.
Lin Xiang tersenyum miris. Butuh beberapa bulan baginya untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli ponselnya yang lama. Tapi Gu Changdi, hanya dalam satu hari pria itu bisa membeli ponsel mahal seperti ini.
Orang kaya memang bisa mendapatkan apapun yang mereka mau.
Lin Xiang berniat menghubungi Shen Wanwan, tetapi dia tersadar belum terbiasa menggunakan ponsel model terbaru.
Menyadari ekspresi wajah Lin Xiang, Gu Changdi menuntun gadis itu untuk duduk di sofa. "Aku akan mengajarimu cara memakainya," tangan Gu Changdi melingkari tubuh Lin Xiang hingga ikut memegangi ponsel yang digenggam gadis itu.
Jangan tanya bagaimana reaksi Lin Xiang. Sudah pasti dia kaget karena punggungnya bersandar pada dada bidang Gu Changdi.
Aroma bunga dan musky dari parfum yang digunakan Gu Changdi sungguh memabukkan. Hampir saja Lin Xiang kehilangan fokus untuk mendengarkan Gu Changdi yang sedang mengajarinya.
"Kau ingin menelepon seseorang?"
"Eum." Lin Xiang melirik Gu Changdi sekilas, "Aku ingin menelepon temanku."
"Shen Wanwan?"
Seketika mata rusa Lin Xiang membulat lucu. "Dari mana kau tahu?" tanyanya dengan pandangan penuh selidik.
"Aku tahu semua tentang dirimu." Gu Changdi menjawab dengan bangga. Ia tetap fokus mengarahkan jari tangan Lin Xiang yang menyentuh layar ponsel. "Sudah terhubung."
Lin Xiang buru-buru menempelkan ponsel di telinga. Sambil sesekali memandangi Gu Changdi yang sedari terus menatapnya.
"Lin Xiang!"
Seruan keras Shen Wanwan membuat Lin Xiang refleks menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia menatap horor pada layar, mengumpat kesal atas kebiasaan Shen Wanwan yang selalu berteriak.
"Kau membuat telingaku sakit, Wanwan."
Selanjutnya terdengar tawa dari seberang. "Maaf, aku terlalu senang karena kau meneleponku. Kupikir seharian ini aku tidak akan mendapat kabar darimu. Aku berusaha meneleponmu, tapi ponselmu tidak aktif."
"Maaf ponselku mati," jawab Lin Xiang sambil melirik Gu Changdi. "Bagaimana keadaan di kafe? Pasti kalian repot karena aku tidak masuk bekerja. Sampaikan permintaan maafku pada Kak Yiyi."
"Oh, kau jangan khawatir soal itu. Kebetulan ada seorang pria yang tadi datang menggantikanmu. Kau tahu, dia pria yang sangat tampan. Kafe sangat terbantu berkat kedatangannya."
Lin Xiang mengernyitkan dahi. "Seorang pria datang menggantikanku? Siapa?"
"Dia tidak mau memberitahu kami siapa namanya. Yang pasti, dia suruhan calon suamimu." Shen Wanwan kembali berteriak. "Hei, tega sekali kau padaku. Tidak pernah memberitahuku kalau sudah mempunyai calon suami."
"Tunggu—kau bilang suruhan calon suamiku?" tanya Lin Xiang mengabaikan cerocosan Shen Wanwan.
"Itu yang dikatakan pria yang datang menggantikanmu. Dia bahkan menyampaikan pesan kalau kau akan berhenti bekerja di kafe ini. Apa itu benar? Wah, aku tidak menyangka kalau kau—"
"Aku akan meneleponmu lagi, Wanwan."
PIP!
Lin Xiang memutus sambungan secara sepihak, kemudian menatap tajam pada Gu Changdi yang tetap terlihat tenang. Seolah sudah menduga reaksi Lin Xiang akan marah seperti sekarang.
"Apa yang sebenarnya sudah kau lakukan di belakangku?"
Gu Changdi menghela napas panjang. "Aku hanya menyuruh bawahanku untuk menggantikanmu bekerja di kafe hari ini, lalu menyampaikan pesan pada atasanmu bahwa kau akan berhenti bekerja di sana."
"Kau tidak bisa seenaknya mengambil keputusan atas hidupku!"
"Aku berhak karena aku adalah calon suamimu!"
"Aku tidak sudi menjadi istrimu!"
Teriakan Lin Xiang tidak membuat emosi Gu Changdi terpancing. Sebaliknya, Gu Changdi justru senang sekali menggoda Lin Xiang. Lihat bagaimana ekspresi kemarahan Lin Xiang yang membuat gadis itu tampak begitu lucu.
"Yakin tidak mau?" goda Gu Changdi. "Aku bisa membuatmu luluh dan jatuh dalam pesonaku."
"Kau benar-benar ... ugh~" Lin Xiang mengerang kesakitan karena tiba-tiba merasakan kepalanya kembali berdenyut.
Wajah Gu Changdi yang semula tampak jahil berubah panik dalam hitungan detik. "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil memeriksa kondisi Lin Xiang.
"Pusing ...."
Belum selesai Lin Xiang meredam rasa sakitnya, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya seperti terangkat. Gadis itu kembali melotot mengetahui Gu Changdi kembali menggendongnya.
"Sudah kubilang untuk beristirahat. Kau itu belum sembuh benar," decak Gu Changdi kesal.
"Kau yang membuatku seperti ini!" Lin Xiang meronta ingin turun, tapi kembali mengerang karena rasa pusing di kepalanya semakin menjadi.
"Diamlah!" Gu Changdi ikut emosi, tapi dalam hati sebenarnya sangat mengkhawatirkan Lin Xiang. "Kita masih punya banyak waktu untuk membahas masalah tadi. Sekarang pulihkan dulu kondisi kesehatanmu."
Lin Xiang tidak melakukan protes lagi, menuruti kata-kata Gu Changdi. Membiarkan pria itu membaringkannya di atas ranjang.
"Tidur." Gu Changdi menarik selimut Lin Xiang kemudian bersiap pergi.
Grep!
Pria itu terkesiap ketika merasakan sesuatu menarik tangannya. Gu Changdi menoleh, kemudian terkejut mendapati tangan Lin Xiang tengah menggenggam tangannya erat.
"Ka-kau ... mau pergi ke mana?"
"Aku akan tidur di kamar lain," jawab Gu Changdi dengan raut wajah tenang. "Kenapa?"
Lin Xiang menghindari tatapan Gu Changdi, "Tetaplah di sini sampai aku tidur. Aku ... tidak terbiasa dengan kamar yang terlalu luas. Ini terlihat sedikit menakutkan," cicitnya pelan.
Mata Gu Changdi bersinar geli. "Bagaimana jika aku tidur di sampingmu? Aku tidak keberatan memelukmu sepanjang malam agar kau tidak merasa ketakutan."
Sejurus kemudian mata Lin Xiang kembali melotot tajam, memancing gelak tawa Gu Changdi.
"Hanya bercanda." Gu Changdi duduk di tepian ranjang, "Baiklah, aku akan tetap di sini sampai kau tidur."
Lin Xiang tidak berkata lagi. Ia mulai menikmati sentuhan tangan Gu Changdi yang sedang membelai kepalanya. Kalau boleh jujur, sentuhan tangan pria itu mengingatkannya pada sentuhan tangan ayahnya. 'Hangat sekali, rasanya seperti Ayah yang sedang mengusap kepalaku.'
Bibir Gu Changdi melengkung sempurna kala mendapati Lin Xiang sudah tertidur. Ia bisa melihat wajah Lin Xiang tampak begitu damai dan tenang. Sangat kontras jika sedang dalam kondisi bangun.
"Saat tidur, kau tampak semakin cantik. Benar-benar seperti bidadari," gumam Gu Changdi.
Perlahan Gu Changdi memajukan tubuhnya, kembali menggunakan kesempatan untuk mencium bibir mungil Lin Xiang, sebelum beralih mencium keningnya.
"Aku berjanji akan selalu menjaga dan melindungimu," ujar Gu Changdi penuh keyakinan. "Tidak ada yang boleh mengusik kehidupan gadisku."
TO BE CONTINUED