Gu Jinglei dan Meimei masih bertahan di kamar, sementara Su Rongyuan langsung berlari keluar kamar untuk menyusul Gu Changdi. Mereka masih bisa mendengar umpatan-umpatan kesal Su Rongyuan yang terus memanggil nama putranya.
Lin Xiang terkesiap menyadari ranjang sedikit bergoyang. Matanya membulat sempurna ketika mengetahui Gu Jinglei sudah duduk di tepi ranjang.
"Meimei?"
Gadis itu menatap tak percaya ke arah Gu Jinglei yang mengadahkan tangan, memberi isyarat agar menyerahkan nampan yang dibawanya.
"Perlukah aku suapi?" tanya Gu Jinglei kemudian yang disambut mulut Lin Xiang yang membuka lebar.
"Ti-Tidak perlu. Aku bisa makan sendiri," cicit Lin Xiang sambil menerima nampan yang semula ada di tangan Gu Jinglei.
Sebelum makan, Lin Xiang meminum air putih terlebih dahulu. Hanya dalam satu kali tenggak gelas itu sudah kosong. Ia mulai menikmati bubur yang disiapkan khusus untuknya. Maklum, Lin Xiang sudah 3 hari tidak makan. Perlu makanan yang lembut untuk mengisi perutnya yang kosong. Wajar sekarang Lin Xiang makan secara brutal seperti orang kelaparan.
"Maaf atas sikap cucuku."
Gerakan tangan Lin Xiang terhenti. Ia memandangi Gu Jinglei dengan sorot mata bertanya.
Sungguh, Lin Xiang bingung atas perubahan sikap Gu Jinglei yang begitu drastis. Sepertinya bukan Lin Xiang saja yang menyadari hal itu. Meimei yang masih tinggal pun ikut menatap heran ke arah Gu Jinglei.
"Dia memang mewarisi sikap ayahnya." Gu Jinglei tidak sadar baru saja tersenyum di hadapan Lin Xiang. "Dulu Rongyuan juga pernah berada dalam posisimu. Dipaksa untuk menikah, diklaim di hadapan semua pekerja mansion ini sebagai calon istrinya. Dia bahkan tanpa ragu langsung mempublikasikan rencana pernikahan mereka di depan publik."
"Benarkah?"
Gu Jinglei mengangguk. "Rongyuan juga tidak langsung menerima sikap Jiangzen. Persis seperti yang kau lakukan pada Changdi sekarang. Tetapi seiring berjalannya waktu, Rongyuan mulai menerima cinta putraku, hingga akhirnya mereka menikah dan memiliki Changdi," jelas Gu Jinglei lagi.
Lin Xiang terdiam. Cerita yang dibeberkan Gu Jinglei berhasil menyentuh hatinya.
"Lin Xiang?"
Hati Lin Xiang menghangat mendengar pertama kalinya Gu Jinglei memanggil namanya dengan sangat lembut.
"Kau benar-benar ingin pulang?"
Lin Xiang mengangguk.
"Kenapa? Kau tidak betah berada di sini?"
Lin Xiang menggeleng. "Aku hanya ingin pulang. Paman dan bibi pasti mencariku," jawabnya lirih. Ada keraguan dalam benaknya ketika mengingat sosok Dong Liwen dan Mu Tiansu.
Apa benar mereka mencarinya?
"Begitu, ya? Ssayang sekali." Gu Jinglei beranjak dari ranjang dan berjalan pelan dengan tongkatnya mendekati pintu. Ia menoleh sebentar pada Lin Xiang yang masih menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan.
"Padahal aku sudah menerima keberadaanmu di sini. Sangat disayangkan bila kau memutuskan untuk pergi."
Selepas mengatakannya, Gu Jinglei berjalan keluar dari kamar Lin Xiang. Meninggalkan gadis itu yang masih terdiam di atas ranjang dengan tatapan kosong.
Sekilas, Lin Xiang juga sempat menangkap raut kekecewaan di wajah Meimei, tak jauh berbeda dengan apa yang terlihat di wajah Gu Jinglei sebelum kakek itu pergi.
Apa keputusan yang kuambil sudah benar?
***
Su Huangli tersenyum miris ketika menoleh ke belakang. Sejak pergi meninggalkan mansion Gu, Lin Xiang hanya diam seribu basa. Gadis itu lebih memilih menjadikan objek di sepanjang jalan sebagai titik fokusnya.
Su Huangli sudah bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Lin Xiang. Ia masih ingat bagaimana Su Rongyuan menangis ketika mengantar Lin Xiang yang memutuskan pulang ke rumahnya malam ini. Bagaimana wajah datar Gu Jinglei dan juga wajah Lin Xiang yang tampak merasa bersalah. Bahkan Meimei dan pekerja lainnya turut merasa bersedih atas kepergian Lin Xiang.
Satu hal yang membuat Su Huangli heran adalah sikap Gu Changdi yang menolak mengantar kepergian Lin Xiang. Namun, dia sempat melihat pria itu mengintip dari jendela ruang kerja yang langsung menghadap halaman depan mansion.
Su Huangli tidak tahu apa yang ada dalam pikiran adik sepupunya itu. Ia hanya ditugaskan untuk mengantar Lin Xiang pulang ke rumahnya.
"Kita sudah sampai."
Helaan napas panjang keluar dari bibir Su Huangli. Ucapannya yang kesekian kali sama sekali tidak digubris oleh Lin Xiang. Gadis itu tetap fokus menatap luar dari balik kaca jendela mobil.
"Lin Xiang?"
Sedikit menaikkan nada, Su Huangli sukses membuat Lin Xiang terperanjat. Gadis itu terlihat kikuk saat aksi melamunnya ketahuan oleh Su Huangli.
"Oh, sudah sampai," ucapnya sambil buru-buru keluar dari mobil. Ia langsung berjalan mendekati pagar pintu rumahnya, berbalik sejenak untuk berpamitan dengan Su Huangli.
"Terima kasih sudah mengantarku pulang," ucap Lin Xiang seraya membungkuk.
"Tunggu!"
Teriakan Su Huangli kembali menghentikan langkah Lin Xiang.
"Aku hanya ingin berpesan satu hal padamu." Su Huangli tersenyum tipis. "Changdi ... dia bersungguh-sungguh atas perasaannya, Lin Xiang. Percayalah, suatu saat nanti kau akan menemukan jawaban di balik sikapnya padamu."
Meninggalkan Lin Xiang yang masih berdiri mematung dengan wajah bingung, Su Huangli segera masuk ke dalam mobil. Ia pergi begitu saja tanpa berkata lagi pada Lin Xiang.
Sepeninggalan Su Huangli, Lin Xiang berjalan melewati pagar rumah dengan langkah gontai. Dahinya berkerut ketika menyadari rumah tampak gelap dari luar.
Lin Xiang memencet bel, dan kembali dilanda kebingungan karena tidak ada satu pun yang membukakan pintu untuknya.
Lelah menunggu, Lin Xiang memeriksa tempat yang biasa digunakan untuk menyimpan kunci pintu rumah. Ia menghela napas lega setelah berhasil menemukan kunci cadangan di bawah pot tanaman hias.
CKLEK!
Lin Xiang melangkah pelan memasuki rumah. Tangannya meraba dinding, berusaha mencari saklar lampu. Tepat saat lampu menyala, Lin Xiang dikejutkan dengan kondisi rumah yang sepi dan sedikit kotor.
"Paman ... Bibi ...."
Hening.
Tak ada satupun yang menyahut panggilan Lin Xiang. Ia berjalan menuju kamar Dong Liwen dan Mu Tiansu hanya untuk menemukan kamar dalam kondisi kosong. Tidak ada siapapun di sana.
"Apa mereka sedang pergi?"
Lin Xiang berjalan lesu setelah meyakini rumah dalam keadaan kosong. Ia pun masuk ke kamarnya, merogoh isi tasnya untuk mengambil ponsel.
Lin Xiang termenung memandangi ponsel pemberian Gu Changdi. Tanpa sadar jemarinya bergerak lincah membuka kontak Gu Changdi yang sengaja dia namai 'Mr. Crazy'
Bibir Lin Xiang melengkung sempurna. Lin Xiang kembali mengingat momen saat dia dan Gu Changdi berdebat tentang pemberian nama kontak di ponsel masing-masing.
*
"Ini nomor ponselku dan aku sudah mengaturnya menjadi panggilan cepat nomor 1 di ponselmu."
Lin Xiang melihat nama kontak yang tertera di layar dan seketika matanya melotot. "My Husband?"
Gu Changdi mengangguk sambil tersenyum menyeringai, lalu dengan santai memamerkan ponselnya di depan wajah Lin Xiang. Kali ini Lin Xiang melihat nama kontak bertuliskan 'My Wife' di ponsel Gu Changdi. Apa itu nomor ponselnya?
"Kau benar-benar tidak waras." Dengan penuh emosi, Lin Xiang mengotak-atik ponselnya, lantas tersenyum puas sambil mengarahkan layar ponsel kepada Gu Changdi. "Ini baru cocok untukmu."
Giliran mata Gu Changdi yang melotot tajam, "Mr. Crazy?"
Tawa Lin Xiang berderai. Ia benar-benar puas melihat wajah marah Gu Changdi.
"Hei, kemarikan ponselmu!"
"Tidak mau!"
"HEI!"
Lin Xiang berteriak heboh sambil berlari menghindari kejaran Gu Changdi. Sesekali dia tergelak melihat bagaimana ekspresi Gu Changdi yang menurutnya tampak lucu ketika marah. Kedua orang itu akhirnya saling berkejaran di dalam kamar Lin Xiang.
Grep!
"KYAAAA~" Lin Xiang menjerit panik ketika tangan kekar Gu Changdi berhasil mengunci pergerakannya. Pria itu memeluknya dengan erat bahkan langsung menggendong tubuhnya hingga terhempas ke atas ranjang.
Lin Xiang beringsut ketakutan hingga punggungnya menempel pada headboard ranjang.
Gu Changdi merebut ponsel di tangan Lin Xiang dengan sangat mudah. Namun, ia hanya meletakkan benda persegi panjang itu di atas nakas, lalu tersenyum penuh arti pada Lin Xiang yang menatap was-was.
"Ma-Mau apa kau?"
Gu Changdi semakin mendekatkan wajahnya dan membuat Lin Xiang kian panik.
"Aku hanya ingin mencicipi sesuatu yang manis."
Sejenak mata Lin Xiang berkedip polos. "Sesuatu yang manis?"
Gu Changdi mengangguk. "Rasanya kenyal dan manis. Aku berani jamin akan membuatmu ketagihan. Kau ingin mencobanya?"
"Aku—" belum selesai Lin Xiang menjawab, bibirnya sudah lebih dulu dibungkam oleh bibir Gu Changdi. Lin Xiang terkesiap. Otaknya dengan cepat mencari cara untuk mengakhiri ciuman yang dilakukan Gu Changdi, akan tetapi batinnya justru berkata lain.
Mata Lin Xiang perlahan terpejam. Ia tidak mau munafik bahwa dirinya ikut menikmati ciuman tersebut.
Sial, Gu Changdi benar.
Ciuman itu terasa manis sekali.
*
Lin Xiang tersenyum kecut mengingat salah satu momen yang dia alami selama tinggal di mansion Gu. Ia meletakkan ponselnya di atas meja kecil samping kasur lipatnya, kemudian berbaring karena merasa lelah.
Sebelum Lin Xiang, bayang-bayang sosok Gu Changdi kembali melintas dalam kepalanya. Terutama ekspresi wajah Gu Changdi yang begitu marah hingga mengucapkan kata-kata tajam sebagai perpisahan mereka.
Desahan frustrasi itu keluar lagi bibir Lin Xiang. "Untuk apa aku memikirkan pria gila itu?"
TO BE CONTINUED