Di mana aku?
Kenapa semuanya penuh dengan kabut?
"Lin Xiang ..."
Suara ini ... aku mengenalnya. Ini suara Ayah dan Ibu.
"Lin Xiang ..."
Aku berlari menerobos kabut putih yang menghalangi penglihatanku. Langkah kakiku semakin cepat ketika aku menangkap dua orang yang sangat aku rindukan.
"Ayah! Ibu!" Aku berteriak memanggil mereka.
Namun, mereka tak mendengarkan panggilanku. Aku terus berlari menyusul mereka, hingga berhenti di depan sebuah goa. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara mereka. Perlahan aku melangkahkan kakiku memasuki goa tersebut.
Hawa dingin mulai menjalar di sekujur tubuhku. Aku sedikit menggigil, ditambah rasa takutku yang kian menyeruak karena pemandangan gelap yang hanya kulihat di sekelilingku.
"Ayah! Ibu!"
Aku benar-benar ketakutan. Tak ada siapapun di sini.
"Hiks ... Ayah ... Ibu ...."
"Lin Xiang ...."
Kurasakan tubuhku sedikit menegang saat mendengar suara lain dari belakang. Aku berbalik dan seketika hanya diam setelah melihat sesuatu yang bercahaya di depanku.
"Lin Xiang, jangan pergi ...."
Tanpa sadar tubuhku bergerak sendiri mengikuti suara itu. Perlahan aku melihat cahaya terang seolah menyambut kedatanganku.
"Tetaplah di sisiku ...."
Aku mempercepat langkah kakiku, tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melihat siapa pemilik suara itu.
"Aku membutuhkanmu ...."
Aku bisa merasakan hawa hangat di sekitarku. Hanya dalam satu kedipan mata, aku melihat seseorang berdiri di hadapanku sembari mengulurkan tangannya.
"Aku mencintaimu ... Lin Xiang ...."
Tanpa sadar air mataku menetes. Tanganku bergerak dengan sendirinya menyambut uluran tangan pria itu yang terasa begitu hangat.
"Gu Changdi ...."
***
"Dokter! Pasien sudah membuka matanya!"
"Denyut nadinya sudah kembali. Tekanan darahnya mulai stabil. Kita berhasil menyelamatkan nyawanya!"
Seruan kegembiraan itu memenuhi ruang ICU. Mereka tak henti-hentinya mengucap syukur karena berhasil menyelamatkan nyawa Lin Xiang.
"Syukurlah, Nona. Kami senang sekali Anda sudah sadar."
Hanya respon dari pergerakan mata yang diberikan Lin Xiang. Namun, semua orang bisa melihat gadis itu tengah mencari seseorang.
"Ch-Chang ... di ...."
Dokter tersebut menoleh pada rekannya, lantas mengangguk kecil.
"Kami akan segera memanggil Tuan Gu untuk Nona." Dokter itu tersenyum pada Lin Xiang, "Tapi kami mohon, Nona jangan terlalu banyak bicara. Nona baru saja sa—"
BRAK!
Semua orang sudah bisa menebak siapa pelaku yang baru saja membanting pintu dengan sangat keras.
"LIN XIANG!"
Seperti sebuah komando, semua orang langsung menyingkir saat Gu Changdi datang mendekat. Tak sedikit dari mereka yang terperangah melihat penampilan Gu Changdi yang tampak sangat kacau.
Rambut acak-acakan, kemeja yang dipakai kusut masai, serta wajah sembap beruraian air mata dan dibanjiri keringat,
"Gu ... Chang ... di ...."
Air mata Gu Changdi kembali mengalir deras. Ia sontak memeluk tubuh wanita itu dengan sangat erat.
Takut jika ini hanyalah mimpi atau ilusi semata.
Gu Changdi mengusap wajah Lin Xiang, lantas mencium kening gadis itu. "Syukurlah kau sudah sadar. Kau benar-benar membuatku takut ...."
Tak ada yang lebih membahagiakan dari Gu Changdi selain melihat senyuman Lin Xiang.
***
"Nona Lin Xiang sudah sadar dan kondisinya perlahan mulai stabil. Kalian bisa menjenguknya secara bergantian setelah kami memindahkan Nona Lin Xiang ke ruang rawat biasa."
Helaan napas lega diiringi jerit kebahagiaan terdengar di luar ruang ICU.
Su Rongyuan langsung menghambur ke pelukan Gu Jinglei. Tak jauh berbeda dengan Shen Wanwan dan Zhang Yiyi yang saling berpelukan dengan wajah bahagia mereka.
Wang Chen, Feng Yan, dan Su Huangli mewakili semua orang menyampaikan ucapan terima kasih pada tim medis yang sudah bekerja keras untuk menyelamatkan nyawa Lin Xiang.
Feng Yan tertawa kecil melihat bagaimana Shen Wanwan masih saja menangis sesenggukan dalam pelukan Zhang Yiyi.
Zhang Yiyi tak bisa berbuat banyak selain membiarkan Shen Wanwan meluapkan segala emosinya. Ia sendiri melirik sekilas pada Su Huangli yang kembali tersenyum padanya.
"Aku benar 'kan? Nona Lin Xiang pasti baik-baik saja."
Mendengar suara bass milik Feng Yan, Shen Wanwan melepaskan diri dari pelukan Zhang Yiyi. Selanjutnya, gadis itu berlari memeluk Feng Yan tanpa peduli dengan tatapan kaget semua orang.
Shen Wanwan tidak sadar jika tindakannya barusan telah berhasil membuat debaran kecil pada jantung Feng Yan.
***
Senyum bahagia terus menghiasi wajah Gu Changdi. Ia masih mengawasi beberapa suster yang membantu menyiapkan ruang rawat Lin Xiang yang baru. Gu Changdi memilih kamar VVIP agar Lin Xiang bisa mendapatkan perawatan yang maksimal, sehingga kondisinya lekas membaik seperti sedia kala.
"Tuan, Nona sedang tidur. Kami harap Anda juga beristirahat," tutur salah seorang suster yang diangguki oleh Gu Changdi.
"Terima kasih. Kalian boleh keluar," ucapnya yang dibalas senyuman ramah kedua suster tersebut.
Tak lama setelah mereka pergi, Su Rongyuan dan Gu Jinglei datang. Gu Changdi yang melihat keduanya langsung menghambur memeluk mereka. Tak ayal tingkahnya tersebut mengingatkan mereka pada kebiasaan Gu Changdi ketika masih kecil.
"Kau senang, hm?"
"Tentu saja." Gu Changdi melepas pelukannya lantas tersenyum lebar pada Su Rongyuan dan Gu Jinglei. "Aku benar-benar bahagia Lin Xiang berhasil melewati masa kritis dan akhirnya sadar. Tadi aku benar-benar ketakutan sekali. Aku ...."
"Kami mengerti." Gu Jinglei menepuk halus bahu Gu Changdi. "Bukan hanya kau saja. Kami pun juga ketakutan melihat Lin Xiang berada di ambang kematian. Syukurlah semua sudah kembali seperti semula. Sekarang kita hanya tinggal mengawasi pemulihan kondisi Lin Xiang."
Gu Changdi mengangguk semangat. "Kalau begitu, sebaiknya Ibu dan Kakek pulang saja. Aku yang akan menjaga Lin Xiang di sini."
"Tapi, Ibu juga ingin menjaga Lin Xiang," rengek Su Rongyuan.
Gu Changdi menggeleng, "Ibu sudah berada di sini sejak tadi pagi. Aku tidak mau Ibu kelelahan dan jatuh sakit," bujuknya.
Su Rongyuan berdecih, "Memangnya kau sendiri tidak kelelahan? Kau bahkan sudah menginap di sini selama 1 minggu!"
Gu Jinglei tertawa. Rasanya senang sekali melihat perdebatan menantu dan cucunya yang sudah lama tidak dia lihat.
Semua ini berkat Lin Xiang. Sejak gadis itu datang di keluarga mereka, Gu Jinglei seolah kembali menemukan hangatnya sebuah keluarga setelah kepergian putra kesayangannya.
"Sudahlah, Rongyuan. Kau tahu sendiri bagaimana sifat putramu yang memang sangat mirip dengan ayahnya." Gu Jinglei merangkul Su Rongyuan. "Kita pulang dan beristirahat. Besok, aku akan menyuruh Meimei ke sini mengantarkan pakaian ganti untukmu dan juga Lin Xiang."
Anggukan Gu Changdi membuat Su Rongyuan dan Gu Jinglei kembali tersenyum. Keduanya pun berpamitan pada Gu Changdi yang segera kembali menghampiri ranjang Lin Xiang.
Gu Changdi juga sempat mengirim pesan pada Su Huangli, agar Zhang Yiyi dan Shen Wanwan menjenguk Lin Xiang keesokan harinya saja.
Lin Xiang masih harus beristirahat total setelah sadar dari masa komanya.
***
"Eungh~"
Gu Changdi terkesiap mendengar suara lenguhan kecil dari samping. Ia segera meletakkan ponselnya di atas nakas dan meraih tangan kanan Lin Xiang.
"Lin Xiang ...."
Mata Lin Xiang mengerjap secara perlahan. Gu Changdi menunggu dengan penuh rasa gugup, hingga tatapan mereka bertemu di satu titik.
Senyum penuh kebahagiaan kembali terukir di bibir Gu Changdi setelah melihat binar mata rusa Lin Xiang yang amat dia rindukan.
"Apa yang kau rasakan sekarang? Katakan padaku, mana yang sakit, hm?"
Lin Xiang belum menjawab. Ia hanya menggulirkan pandangan ke samping sampai melihat gelas air minum di atas nakas. "Ha-haus ..." ucapnya dengan suara serak.
Secepat kilat Gu Changdi mengambil gelas air minum. Teringat akan pesan dokter yang mengatakan bahwa Lin Xiang belum boleh banyak bergerak, Gu Changdi memasukkan sedotan ke dalam gelas minuman tersebut.
"Ada lagi yang kau butuhkan?" tanya Gu Changdi seraya membelai wajah Lin Xiang. Hatinya berdenyut sakit menyadari pipi gadis itu mulai tirus.
Lin Xiang menggeleng, kemudian menatap langit kamar. Ia menyadari dirinya sudah berada di ruangan yang berbeda.
"Berapa lama ...."
Gu Changdi mendekat agar bisa mendengar suara Lin Xiang yang sangat lirih.
"Berapa lama aku tertidur?"
Ada keterkejutan dari wajah Lin Xiang ketika Gu Changdi justru meraih tangannya lantas menggenggamnya dengan sangat erat.
"1 minggu." Gu Changdi tersenyum getir, "Kau tidur lama sekali. Aku bahkan nyaris gila saat melihatmu berjuang melawan maut. Kau benar-benar membuatku takut."
Lin Xiang menolehkan kepalanya dengan sorot mata bingung.
"Aku takut, kau pergi dari sisiku ...."
Hati Lin Xiang berdenyut sakit mendengar suara Gu Changdi yang berubah parau. Ia menggerakkan tangannya, mengusap wajah Gu Changdi yang tampak kelelahan.
"Kau ... selalu menjagaku?"
Gu Changdi mengangguk, "Tentu saja. Aku tidak pernah meninggalkanmu barang sedetik pun," ucapnya sembari mencium tangan Lin Xiang.
TO BE CONTINUED