Rentetan pertanyaan yang terlontar dari bibir Lin Xiang hanya ditanggapi senyuman oleh Gu Changdi. Pria itu mengambil alih album foto dari tangan Lin Xiang, menutupnya, kemudian meletakannya di atas meja kecil dekat sofa. Ia sedikit mengatur posisi tubuh Lin Xiang agar mereka saling berhadapan satu sama lain.
Perlahan, Gu Changdi mulai meraih jemari tangan Lin Xiang.
"Sejujurnya aku kecewa karena kau tidak mengenaliku." Gu Changdi terkekeh pelan melihat kedua alis Lin Xiang tertaut sempurna.
"Apa?"
"Tidak masalah. Aku memakluminya. Bagaimanapun aku yang memilih mengawasimu dari kejauhan, wajar jika kau tidak mengenaliku. Tapi aku punya satu cara untuk membuatmu bisa mengenaliku," lanjut Gu Changdi.
"Jangan berbelit-belit. Kau membuat kepalaku pusing," protes Lin Xiang. Ia mulai kehabisan kesabaran.
Gu Changdi nyaris tertawa melihat mata Lin Xiang begitu tampak lucu dan menggemaskan ketika melotot. Ia tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya, memposisikan bibirnya tepat di telinga kanan Lin Xiang.
Hingga satu kalimat itu berhasil tertangkap oleh Lin Xiang, dan sukses membuat kedua matanya membulat sempurna.
"Berjanjilah kau tidak boleh menangis lagi."
Lin Xiang mematung di tempat, sedangkan Gu Changdi memilih mengalihkan pandangannya.
"Seseorang pernah berpesan padaku. Ibunya mengatakan, sebuah pelukan bisa membantu kesedihan orang lain." Gu Changdi melirik sekilas pada Lin Xiang. "Bukan begitu?"
DEG!
Bibir Lin Xiang bergetar hebat. Memori masa kecilnya dengan mudah menyeruak dalam kepalanya. Seperti rekaman kaset yang diputar berulang kali, Lin Xiang tidak bodoh untuk mengenali siapa sosok pria yang ada di hadapannya.
Ekspresi wajah itu ... Lin Xiang mengingatnya.
"Kakak ..." Lin Xiang memberanikan diri untuk menyentuh wajah Gu Changdi. "Kaukah pemuda itu?"
"Area pemakaman menjadi tempat pertemuan pertama kita. Waktu itu, aku kehilangan ayahku," Gu Changdi balas membelai wajah Lin Xiang, "dan kau kehilangan orang tuamu."
Tes!
Cairan bening itu turun dramatis mengaliri pipi Lin Xiang. "Hiks ... jadi kau benar-benar pemuda itu?" tanyanya tidak percaya sekaligus merasa bahagia. Lin Xiang selalu mengingat sosok Gu Changdi 11 tahun silam, terlebih kalimat menenangkan yang pernah diucapkan pria itu.
Kata-kata penyemangat dalam kehidupannya.
Lin Xiang jelas tidak menyangka, sosok penting di masa lalunya selama ini berada di dekatnya.
"Iya, ini aku." Gu Changdi mengecup kening Lin Xiang.
GREP!
Gu Changdi terperanjat karena Lin Xiang langsung menerjangnya, memeluknya dengan erat disertai isak tangis.
"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?!"
Kali ini Gu Changdi kaget karena teriakan Lin Xiang. Gadis itu tiba-tiba meraih album foto kembali, membukanya dengan kasar, lalu menunjuk salah satu foto di mana dia sedang berada di area pemakaman seorang diri. Bukan hanya sewaktu usianya masih kecil, tetapi saat dia mulai beranjak remaja.
"Kau tahu aku selalu mengunjungi makam orang tuaku?"
Gu Changdi mengangguk.
"Kenapa kau tidak muncul di hadapanku?"
Gu Changdi menunduk. "Waktu itu aku harus berjuang keras agar posisiku diakui oleh orang-orang yang bekerja pada kakek dan juga mendiang ayahku. Beban berat sebagai pewaris Royal Group sudah menanti di depan mata. Itu sebabnya, aku hanya bisa mengawasimu dari kejauhan. Aku menunggu waktu yang tepat untuk muncul di hadapanmu."
Gu Changdi terkesiap merasakan sesuatu yang lembut menyentuh tangannya. Ia mati-matian menahan napas saat Lin Xiang menuntun wajahnya untuk menghadap gadis itu.
"Tidakkah kau tahu jika selama ini aku menunggumu?"
Mata Gu Changdi membelalak, "Ka-Kau menungguku?" tanyanya kaget.
Lin Xiang mengangguk, rona merah sedikit terlihat di kedua pipinya.
"Aku sering datang ke sana bukan hanya untuk menemui orang tuaku." Lin Xiang memalingkan wajahnya yang kian merah padam. "Jauh di dalam lubuk hatiku, aku berharap bisa bertemu lagi denganmu."
"Be-Benarkah itu?" Gu Changdi menatap tak percaya. "Kau menungguku?"
"Iya."
"Kenapa?"
Lin Xiang menggigit bibir bawahnya gelisah. Setelah menarik napas panjang, ia menatap Gu Changdi lamat-lamat. Sungguh, Lin Xiang ingin tertawa melihat ekspresi kaget pria itu yang menurutnya tampak konyol.
"Aku melihatmu tersenyum ketika kau menghapus air mataku."
Lin Xiang memberanikan diri menggenggam tangan Gu Changdi.
"Setiap malam saat aku menangisi orang tuaku, aku selalu teringat akan pesanmu, dan itu berhasil menghentikan tangisanku. Aku selalu memakai pesanmu sebagai penyemangat ketika aku berada dalam titik terendah. Ketika aku merasa tidak sanggup lagi menjalani hidup dan hanya bisa menangisinya."
Gu Changdi tertegun mendengar penuturan Lin Xiang.
"Awalnya aku pikir ini hanya sugesti dalam diriku supaya aku tetap bertahan, tetapi jika diingat kembali,." Lin Xiang menatap Gu Changdi, "sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu."
Mata Gu Changdi membelalak lebar.
"Ini memang konyol, terlebih waktu itu aku masih kecil." Lin Xiang menyelipkan helaian rambutnya di telinga. "Aku berusaha menepisnya, tetapi semakin lama keinginanku untuk bertemu denganmu semakin besar. Aku selalu berkunjung ke makam, berharap bisa bertemu denganmu walau hanya sekali saja."
Wajah Lin Xiang berubah murung.
"Tapi kesempatan itu tak pernah datang. Satu-satunya kenangan yang kumiliki tentangmu hanya pertemuan pertama kita waktu itu. Aku memilih untuk menghentikan perasaan itu—"
Lin Xiang terkesiap menyadari Gu Changdi memeluknya dengan sangat erat.
"Kakak ...."
"Maaf." Gu Changdi menciumi pucuk kepala Lin Xiang berulang kali. "Seharusnya aku menemuimu lebih awal. Kau tidak akan menderita seperti sekarang."
Gu Changdi menyesali keterlambatannya. Gadis itu menjalani kehidupan yang sangat berat. Andai saja Gu Changdi muncul lebih awal, andai saja dia tidak begitu bodoh karena mudah percaya pada Dong Liwen dan Mu Tiansu, Lin Xiang tidak akan mengalami kejadian buruk seperti beberapa hari lalu.
Lin Xiang tersenyum. Ia balas memeluk Gu Changdi, menyamankan posisinya dalam pelukan pria itu.
"Jadi, apa kau mau menikah denganku?"
"APA?!" Lin Xiang spontan berteriak, "Kenapa tiba-tiba kau melamarku?"
Gu Changdi mengernyitkan dahi. "Ada yang salah? Bukankah kau bilang kau jatuh cinta padaku sejak dulu? Lagi pula, kakek sudah melamarmu untukku. Sekarang giliranku melamarmu," jawabnya polos.
Lin Xiang tertawa mendengar penuturan Gu Changdi, membuat pria itu menatapnya bingung.
"Ada yang lucu?"
Lin Xiang menghentikan tawanya, lantas berdeham pelan, "Itu perasaanku waktu masih kecil, Kakak. Lagi pula, dalam ingatanku kita hanya pernah bertemu satu kali. Beda denganmu yang selalu mengawasiku."
Gu Changdi mencerna jawaban Lin Xiang, lalu menggeleng frustrasi. "Aku tidak mengerti."
Lin Xiang tersenyum, kemudian mengusap lembut wajah Gu Changdi yang tampak frustrasi.
"Aku masih ragu dengan perasaanku. Jika kau ingin aku menikah denganmu, yakinkan aku sekali lagi."
Gu Changdi terdiam. Matanya bergerak gelisah untuk memahami sorot mata Lin Xiang.
"Buat aku mencintaimu." Lin Xiang memberanikan diri mencium pipi Gu Changdi, "Jika kau berhasil, aku bersedia menikah denganmu."
Ah, Gu Changdi paham sekarang. Lin Xiang tidak sepenuhnya menolak lamarannya, melainkan butuh diyakinkan pada perasaannya.
Ini bukan perkara yang sulit bagi Gu Changdi. Sebab, ia tahu perubahan sikap Lin Xiang kali ini telah menunjukkan jika gadis itu mulai membuka hati untuknya.
"Tentu."
Tanpa ragu Gu Changdi mencium bibir Lin Xiang. "Ini bukan perkara yang sulit bagiku, Sayang. Aku hanya membutuhkan waktu sebentar untuk membuatmu mencintaiku," ucapnya penuh percaya diri.
Lin Xiang mencibir. Ia ingin membalas ucapan Gu Changdi tapi suara aneh kembali terdengar. Membuat pria itu tertawa terbahak-bahak.
"Cacing di perutmu berdemo."
Dan teriakan Gu Changdi selanjutnya terdengar karena dia kembali mendapat cubitan manis dari Lin Xiang.
Poor Gu Changdi.
TO BE CONTINUED