Gu Changdi menutup pintu kamar Lin Xiang dengan hati-hati. Sorot matanya tampak sendu melihat sosok mungil yang berbaring di ranjang. Gu Changdi menggiring langkah kakinya mendekati posisi Lin Xiang. Ia terperanjat mendapati butir-butir keringat mulai memenuhi pelipis gadis itu.
Gu Changdi meraih tangan Lin Xiang, menggenggamnya dengan begitu erat karena meyakini gadis itu tengah bermimpi buruk. Bisa dilihat dari napas Lin Xiang yang memburu dan igauan yang terus keluar dari bibirnya yang tampak pucat.
"Tidak ... tidak ..."
"Lin Xiang?"
"TIDAK!" Mata rusa itu terbuka lebar bersamaan teriakan keras Lin Xiang.
"Hei, Sayang. Tenanglah, aku ada di sini," ujar Gu Changdi ketika menyadari tubuh Lin Xiang gemetar hebat.
Lin Xiang menoleh ragu. Menatap tidak percaya pada Gu Changdi yang tanpa ia ketahui sudah berada di sisinya. "Gu-Gu Changdi ...."
"Iya. Ini aku, Sayang." Gu Changdi mengusap kening Lin Xiang yang berkeringat, semakin mengeratkan genggaman tangan mereka.
Tatapan mata Lin Xiang berubah kosong. Suara-suara sumbang itu kembali memenuhi kepalanya.
'Dia memakai kursi roda. Apakah gadis itu cacat?'
'Mana mungkin pria sempurna seperti Gu Changdi menikahi gadis cacat seperti dia? Itu mustahil.'
Gu Changdi terkejut ketika Lin Xiang melepaskan tangan dari genggamannya. "Lin Xiang?"
"Tinggalkan aku sendiri," pinta Lin Xiang. Ia memalingkan wajahnya, ke mana saja asalkan bisa menghindari wajah Gu Changdi.
'Tidak!" Gu Changdi menolak dengan tegas.
"Pergilah. Aku mohon."
"Aku tidak akan pergi ke mana-mana! Aku akan tetap berada di sisimu!"
"UNTUK APA KAU TERUS BERADA DI SISI GADIS CACAT SEPERTI DIRIKU?!"
Hening.
Suara bentakan Lin Xiang membuat bibir Gu Changdi terkatup rapat bersamaan ekspresi wajahnya yang tampak kaget. Kini pria itu mengerti kenapa Lin Xiang bersikap aneh, seolah ingin menghindarinya.
Kemungkinan besar Lin Xiang masih dibayangi reaksi publik yang mencemooh kondisinya yang terpaksa memakai kursi roda untuk sementara waktu.
Hati Gu Changdi bagai tersayat pisau ketika ia melihat Lin Xiang membelakangi dirinya. Tubuh gadis itu gemetar, dan perlahan isak tangis mulai terdengar. Tanpa ragu, ia segera membaringkan tubuhnya di ranjang tanpa sepengetahuan Lin Xiang.
Mata Lin Xiang membelalak lebar kala merasakan tangan kekar Gu Changdi memeluk tubuhnya dengan penuh kehangatan.
"Jangan dengarkan apa yang mereka katakan tentang dirimu." Gu Changdi mengecup tengkuk Lin Xiang. "Mereka hanya bisa menilai dari luar, tanpa tahu bagaimana kondisimu yang sebenarnya. Kau sama sekali tidak cacat. Kau sedang menjalani terapi dan akan segera sembuh seperti semula. Jangan biarkan ucapan mereka mendoktrin pikiranmu, Sayang."
Rentetan kalimat yang diucapkan Gu Changdi seolah membuka jalan pikiran Lin Xiang. Dengan gerakan perlahan dan masih menahan rasa sakit di punggungnya, Lin Xiang memutar posisi tubuh hingga berhadapan dengan wajah Gu Changdi. Saat melihat senyuman Gu Changdi yang begitu tulus, Lin Xiang langsung memeluk pria itu dengan sangat erat.
"Ma-Maafkan aku sudah membentakmu," cicit Lin Xiang penuh sesal. "Aku ... aku ...."
"Sssh, tidak apa-apa." Gu Changdi mengusap lembut punggung Lin Xiang, "Aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Kau pasti tertekan dengan pemberitaan ini."
"Aku takut ...," Lin Xiang menumpahkan segala emosinya. Berita yang keluar di kalangan publik seolah menjadi momok yang menakutkan untuk Lin Xiang. Ia merasa takut bepergian keluar mansion, lantaran semua mata kini akan memandanginya dengan penuh penilaian.
Orang-orang pasti akan mencari tahu siapa Lin Xiang, bagaimana latar belakang pendidikan maupun keluarganya, apakah dirinya pantas bersama Gu Changdi atau tidak.
Semua pemikiran itu benar-benar membuat kepala Lin Xiang serasa mau pecah dan batinnya tertekan setiap kali mengingat cibiran publik mengenai kondisinya saat ini.
"Tenanglah, ada aku di sini." Gu Changdi terus menggumamkan kata-kata menenangkan untuk Lin Xiang. "Semua akan baik-baik saja."
Hampir 30 menit keduanya bertahan dalam posisi saling berpelukan di atas ranjang. Gu Changdi tidak peduli dengan kondisi kemejanya yang basah karena air mata Lin Xiang. Gadis itu membutuhkan sandaran untuk meluapkan segala emosinya.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Gu Changdi membelai lembut pipi Lin Xiang. "Tubuhmu hangat."
"Aku baik-baik saja," ucap Lin Xiang bermaksud menepis kekhawatiran Gu Changdi.
Gu Changdi menggeleng. "Tidak. Tunggu sampai Kak Guxian datang untuk memeriksa kondisimu," ucapnya memberitahu.
"Kau berlebihan," sahut Lin Xiang.
"Itu lebih baik daripada aku membiarkan kondisimu menurun. Aku tidak mau terjadi apa-apa padamu, Sayang."
Pipi Lin Xiang merona mendengar kalimat Gu Changdi.
"Lihat, bahkan wajahmu mulai memerah, Sayang," ucap Gu Changdi semakin panik.
"Ck, ini karena ucapanmu sendiri."
Gu Changdi terdiam, mencoba mencerna penuturan Lin Xiang dengan kedua alis tertaut sempurna. Ia mendapati gadis itu menyembunyikan wajah dalam pelukannya. "Ngg ... jadi gadisku ini malu dengan panggilan sayang, hm?" godanya yang disambut cubitan penuh cinta di pinggangnya.
Gu Changdi merintih kesakitan atas perbuatan Lin Xiang.
Lin Xiang terkekeh dengan reaksi Gu Changdi. Setelahnya, ia teringat situasi yang sedang terjadi sekarang. Lin Xiang menatap wajah Gu Changdi dengan raut penuh tanya. "Soal berita itu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya penasaran.
"Aku juga tidak tahu," kata Gu Changdi sembari mendesah pelan. "Kurasa Kakek yang berada di balik ini semua."
"Kakek?" Lin Xiang mengernyitkan dahinya, "Maksudmu, Kakek yang mengeluarkan berita tentang rencana pernikahan kita kepada publik?"
"Ya. Aku bahkan masih dalam perjalanan ke kantor saat Kak Huangli menelepon, menyuruhku tidak datang ke sana, dan melihat berita di internet." Gu Changdi terdiam selama beberapa menit. "Hah, aku sendiri juga tidak tahu kenapa Kakek mengeluarkan berita seperti itu kepada publik."
"Kakek pasti memiliki alasan tertentu," ujar Lin Xiang. Ia jadi teringat kembali permintaan Gu Jinglei yang mendesaknya agar segera menikah dengan Gu Changdi.
Mungkinkah ini termasuk taktik kakek berusia 70 tahun itu? Entahlah.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan." Gu Changdi mengecup kening Lin Xiang. "Biar nanti aku yang bicara pada Kakek dan mencari solusinya. Kau tidak boleh terlalu banyak pikiran, Sayang. Percayalah padaku, semua akan baik-baik saja."
Lin Xiang mengangguk, lantas menyamankan posisinya dalam pelukan Gu Changdi. "Ya, aku percaya padamu," ucapnya lirih sambil mencengkeram kuat kemeja pria itu.
Gu Changdi tersenyum lega. Setidaknya kondisi Lin Xiang sudah tenang. Hanya tinggal menunggu kedatangan Guxian untuk memeriksa kondisi gadis itu lebih lanjut.
***
Su Huangli berusaha mendengarkan penjelasan yang diberikan Feng Yan terkait situasi di mansion keluarga Gu. Atas perintah Gu Jinglei, ia menelepon pengawal pribadi Lin Xiang untuk memastikan gadis itu berada di tempat yang aman.
"Mereka masih bertahan di sana?" tanya Su Huangli tentang wartawan yang menunggu di luar mansion keluarga Gu. "Aku mengerti. Kami akan berhati-hati selama perjalanan pulang ke mansion. Perketat penjagaan di sekitar mansion."
PIP!
Gu Jinglei yang sedari tadi ikut mendengarkan obrolan Su Huangli bertanya. "Bagaimana?"
"Sesuai perkiraan, para wartawan langsung mendatangi mansion keluarga Gu," jawab Su Huangli.
Gu Jinglei mengangguk-angguk. "Lalu, bagaimana dengan Lin Xiang?"
Wajah tenang Su Huangli perlahan terlihat gusar. "Sedikit ada masalah saat mereka masih menikmati es krim, Kakek. Bersamaan dengan berita itu, orang-orang mulai menyadari keberadaan Lin Xiang dan mencecar kondisinya saat ini."
"Apa?!" Wajah Gu Jinglei tampak emosi. "Aku akan memberi pelajaran kepada mereka yang sudah menghina calon cucu menantuku."
Su Huangli tidak berkomentar apapun. Baru kali ini ia melihat ekspresi wajah Gu Jinglei tampak berbeda dari biasanya.
"Sampai sekarang aku masih terkejut dengan kedatangan Kakek di kantor pagi tadi." Su Huangli tersenyum tipis. "Aku bahkan lebih terkejut lagi dengan rencana yang sudah Kakek susun bersama Paman Wang Chen. Apa tidak sebaiknya Kakek memberi penjelasan kepada Gu Changdi dan Bibi Su Rongyuan?"
"Nanti aku pasti menjelaskan semuanya pada mereka." Gu Jinglei menepuk-nepuk bahu Su Huangli. "Berjanjilah, kau harus selalu membantuku. Aku melakukan ini bukan hanya untuk mendapatkan kebahagiaan menantu dan juga cucuku. Aku juga ingin mendiang putraku tenang di alam sana, Su Huangli."
"Aku mengerti, Kakek." Su Huangli menggenggam tangan Gu Jinglei. "Jangan khawatir, aku berjanji akan selalu membantumu."
Gu Jinglei tersenyum penuh kelegaan. "Terima kasih. Aku tidak salah menunjukmu sebagai orang kepercayaan Gu Changdi."
Pujian yang dilontarkan Gu Jinglei hanya disambut senyuman penuh haru oleh Su Huangli. Dalam hati, ia bertekad akan membantu Gu Jinglei untuk mengungkap siapa dalang di balik kematian Gu Jiangzen.
TO BE CONTINUED