"Gu Changdi menambah dua pengawal baru untuk Lin Xiang?" tanya Gu Jinglei pada Su Huangli. Mereka sedang berada di ruangan pribadi Gu Jinglei yang ada di mansion keluarga Gu.
Su Huangli mengangguk. "Kurasa itu pilihan yang bagus. Feng Yan akan kesulitan bila harus menjaga Lin Xiang sendirian dalam situasi seperti sekarang. Ke mana pun dia pergi, Lin Xiang menjadi pusat perhatian sekitarnya," jawabnya menjelaskan.
Gu Jinglei mengangguk-angguk. Ia hendak menanyakan sesuatu pada Su Huangli, tetapi pintu ruangan terlanjur terbuka.
"Kau belum selesai?" tanya Gu Changdi. "Sebenarnya apa yang sedang kalian rencanakan di belakangku? Akhir-akhir ini Kakek sering sekali meminjam Kak Huangli dariku."
Gu Jinglei terkekeh mendengar kalimat protes Gu Changdi. "Bersabarlah. Kakek belum bisa menjelaskan sekarang, Gu Changdi," balas Gu Jinglei memberitahu.
"Ck, terserah Kakek saja. Kuharap bukan hal yang aneh-aneh," tukas Gu Changdi. "Ayo, Kak. Kita harus berangkat ke kantor sekarang."
Su Huangli mengangguk paham, kemudian menyodorkan secarik kertas kepada Gu Jinglei. "Semoga Kakek tidak terkejut."
Gu Jinglei menautkan kedua alisnya, secara perlahan mulai membuka kertas yang dilipat Su Huangli, hingga menemukan sederet kalimat yang membuat matanya membulat sempurna.
'Cucumu yang lain sudah kembali, Kakek.'
Perhatian Gu Jinglei beralih pada foto berukuran besar yang terpampang di sudut dinding. Ia mengamati sosok pria berperawakan jangkung dalam foto yang berdiri di belakang putri sulungnya. Ekspresi wajah Gu Jinglei sulit diartikan ketika dia menggumamkan nama pria itu.
"Li Heinan ...."
***
Beijing International Airport
Suasana di bandara internasional Beijing selalu ramai seperti biasa. Pesawat dengan keberangkatan dari London baru saja mendarat dengan selamat. Penumpang terlihat berhamburan keluar melewati pintu kedatangan.
Beberapa orang tampak melirik pria berperawakan jangkung dengan baju turtleneck warna abu-abu yang dibalut jas warna hitam. Ia berjalan tegap layaknya model papan atas. Kacamata hitam yang dia kenakan, membuat penampilannya terkesan elegan dan berkelas. Di sampingnya, terlihat sang sekretaris ikut setia mendampingi.
"Anda pasti senang bisa kembali ke sini, Tuan Li Heinan."
Li Heinan tersenyum, kemudian menghampiri seseorang yang membawa banner atas namanya. Ia mendekat dan membuka kacamatanya ketika pria paruh baya itu membungkuk sopan kepadanya.
"Selamat datang, Tuan Li Heinan."
"Terima kasih sudah menjemput kami." Li Heinan melirik sekretarisnya. "Huo Shen, apa kau sudah memastikan barang bawaanku sudah lengkap semua?"
Huo Shen mengangguk penuh keyakinan. "Sudah, Tuan. Termasuk oleh-oleh untuk keluarga Anda, Saya sudah memastikan semuanya."
"Bagus. Li Heinan tersenyum senang. "Ayo, kita pergi sekarang."
"Anda mau menemui Nyonya Gu Jiangmei terlebih dahulu, Tuan?" tanya Huo Shen memastikan.
"Tidak, Ibu akan bersabar menunggu. Aku ingin berkunjung ke mansion kakekku." Li Heinan tersenyum penuh arti, "Sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka. Ah, aku juga ingin melihat calon istri sepupuku."
"Baik, Tuan."
***
"Jadi di mana kota kelahiran Kak Yifeng?" tanya Lin Xiang pada Wu Yifeng. Saat ini mereka tengah bersantai di kebun bunga yang berada di belakang mansion. Lin Xiang dengan penuh semangat mewawancarai Wu Yifeng dan Huang Chuan sebagai pengawal pribadinya yang baru. Gadis itu benar-benar senang mengetahui mereka berasal dari tanah kelahiran mendiang ayahnya.
"Saya lahir di kota Deyang, Nona," jawab Wu Yifeng.
"Kak Chuan?" tanya Lin Xiang beralih pada Huang Chuan.
"Saya lahir di kota Chengdu," tutur Huang Chuan.
"Chengdu?!" Lin Xiang berseru semangat. "Itu kota kelahiran Ayah!"
"Benarkah? Kebetulan sekali Nona," sahut Huang Chuan ikut gembira.
Lin Xiang menatap Huang Chuan dengan mata berbinar. "Bagaimana suasana di kota Chengdu?"
"Memangnya Nona belum pernah datang ke sana?" tanya Huang Chuan terheran.
Wajah Lin Xiang mendadak berubah mendung. "Aku lahir di Beijing. Ayah dan Ibu belum pernah mengajakku pulang ke Sichuan, khususnya ke kota Chengdu. Setiap kali aku bertanya pada Ayah kapan kita akan ke sana, Ayah selalu menjawab besok, besok dan besok."
"Nona bisa meminta Tuan untuk mengajak Nona pergi ke Chengdu," usul Feng Yan yang tidak tega melihat kesedihan di wajah Lin Xiang.
"Apa dia mau?" tanya Lin Xiang sedikit ragu.
"Tentu saja. Tuan Gu Changdi pasti menyanggupi permintaan Nona," jawab Feng Yan lantas terkekeh pelan melihat perubahan ekspresi wajah Lin Xiang.
"Kau benar. Baiklah, nanti aku akan meminta Gu Changdi membawaku pergi ke Chengdu," seru Lin Xiang gembira, tetapi langsung bungkam ketika mendapati mata Huang Chuan basah. "Kakak kenapa menangis?"
Huang Chuan buru-buru mengusap wajahnya ketika menyadari pipinya sudah basah. "Ah, maafkan saya, Nona. Saat melihat Nona, saya teringat dengan mendiang adik perempuan saya."
Lin Xiang mengerjapkan matanya perlahan. "Mendiang adik perempuan? Kau punya adik perempuan?"
Huang Chuan tampak menggigit bibir bawahnya, lantas menunduk. "Iya, Nona. Tapi, dia sudah meninggal."
Lin Xiang terlihat sedih, kemudian menatap Huang Chuan penuh binar. "Kakak Chuan jangan bersedih. Anggap saja aku adik perempuanmu," ucapnya.
"Itu tidak pantas, Nona," tolak Huang Chuan merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, Kakak. Aku sama sekali tidak keberatan," sahut Lin Xiang. "Kakak boleh menganggapku seperti adik perempuan Kakak. Aku pun juga akan menganggap Kakak seperti kakak perempuanku sendiri. Sama seperti yang kulakukan pada Kak Yiyi."
Huang Chuan terharu mendengar penuturan Lin Xiang. Mereka jelas baru bertemu dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Namun Lin Xiang sudah memperlakukannya dengan begitu baik. "Bo-Bolehkah saya memeluk Anda sebentar saja?"
"Tentu saja!" Lin Xiang merentangkan tangannya.
Huang Chuan berjalan mendekat kemudian berjongkok di hadapan Lin Xiang, dan memeluk gadis itu. Lin Xiang sempat terheran merasakan pelukan Huang Chuan yang begitu erat. Wanita itu melepas pelukan mereka, lalu beralih menggenggam tangan Lin Xiang.
"Saya berjanji akan melindungi Nona dengan nyawa saya sendiri," tutur Huang Chuan.
"Itu terlalu berlebihan." Lin Xiang mengusap wajah Huang Chuan yang masih banjir air mata. "Tapi, terima kasih."
Melihat senyuman Lin Xiang, Huang Chuan ikut tersenyum. Pemandangan itu membuat Feng Yan terharu, sebelum dia menemukan ekspresi tak biasa dari wajah Wu Yifeng. "Kak?"
Wu Yifeng menoleh kaget dan buru-buru mengusap kedua matanya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Feng Yan terheran.
"Hm, aku baik-baik saja." Wu Yifeng tersenyum tipis. "Aku hanya terharu dengan apa yang baru saja kulihat. Nona Lin Xiang memiliki hati seperti malaikat."
"Kau benar, Kak." Feng Yan kembali memandangi interaksi Lin Xiang dan Huang Chuan. "Aku tidak tahu hatinya terbuat dari apa. Terkadang ada rasa khawatir karena menurutku Nona terlalu mudah percaya pada orang yang baru saja pertama kali dikenalnya."
"Kalau begitu, kita tidak boleh mengecewakan kepercayaannya," sahut Wu Yifeng sambil menepuk bahu Feng Yan. "Kami berdua masih baru di sini. Jangan sungkan untuk menegur kami jika kami melakukan kesalahan."
"Tentu, Kak." Feng Yan tersenyum. "Mohon kerjasamanya. Kita harus melindungi Nona Lin Xiang dengan nyawa kita sendiri."
Wu Yifeng mengangguk, kemudian mengajak Feng Yan untuk bergabung dengan Lin Xiang dan Huang Chuan. Mereka pun larut dalam obrolan penuh keceriaan bersama nona muda mereka.
Lin Xiang bersemangat menggoda Feng Yan tentang Shen Wanwan. Ia tertawa keras saat melihat wajah malu Feng Yan. Keduanya asyik berbicara, hingga tidak menyadari ekspresi wajah Huang Chuan berubah.
Huang Chuan terus memandangi Lin Xiang dengan ekspresi sulit diartikan. Hanya Wu Yifeng yang bisa melihatnya.
TO BE CONTINUED