Mata Gu Changdi menatap datar layar netbook di depannya. Ia memijat pelipis sejenak ketika menyadari mejanya sudah dipenuhi dengan berkas-berkas yang berserakan.
"Hhhh ...."
Gu Changdi menyandarkan punggungnya, merasa lelah dengan rutinitas pekerjaan setiap hari. Dia beralih memandangi jam digital di atas meja. "Waktunya jam makan siang."
DRRT! DRRT!
Ponsel Gu Changdi berdering keras. Wajah lelah Gu Changdi berubah cerah ketika melihat nama kontak yang tertera di layar.
"Halo?"
["Changdi!"]
Gu Changdi menjauhkan ponselnya karena terkejut dengan suara keras Lin Xiang. "Ada apa, Sayang?"
["Kau sudah makan siang?"]
Senyum sumringah kembali menghiasi wajah Gu Changdi mendengar Lin Xiang sangat perhatian padanya. "Belum, aku masih menyelesaikan pekerjaanku."
["Jangan terlalu sibuk bekerja. Kau juga harus memperhatikan kesehatanmu. Aku tidak mau kau jatuh sakit."]
"Kekasihku perhatian sekali."
["Sejak kapan aku menjadi kekasihmu?"]
"Oh, kalau begitu calon istriku." Gu Changdi tersenyum mendengar pekikan tertahan Lin Xiang. "Besok aku bisa meresmikan statusmu menjadi istriku. Bagaimana?"
["Gu Changdi!"]
Gu Changdi tergelak mendengar teriakan Lin Xiang. Dia bisa membayangkan bagaimana wajah Lin Xiang yang merah padam. Pasti imut sekali.
"Baiklah, aku akan mampir pulang sebentar untuk makan siang denganmu."
["Benarkah?"]
"Ya." Gu Changdi berdiri dari kursinya dan mulai membereskan meja. "Kau mau aku belikan apa?"
["Boneka bambi berukuran raksasa!"]
Gerakan tangan Gu Changdi terhenti. "Boneka bambi berukuran raksasa?"
["Eung! Aku mau itu, Changdi !"]
"Tapi ...," kalimat Gu Changdi menggantung. 'Memangnya ada boneka bambi berukuran raksasa?'
["Pokoknya kau harus pulang sambil membawa boneka itu. Awas kalau tidak!"]
Gu Changdi menggelengkan kepala. Sepertinya watak asli Lin Xiang mulai semakin terlihat sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal lebih dekat. Gu Changdi tidak akan menyerah untuk membuat Lin Xiang jatuh cinta padanya. "Baik, baik. Aku akan membelikannya untukmu."
["Hihi, terima kasih, Changdi. Sampai nanti."]
PIP!
Gu Changdi melongo menyadari Lin Xiang memutus obrolan secara sepihak. "Ck, padahal aku masih ingin mendengar suaranya. Mungkin sebaiknya aku segera pulang sekarang. Hanya beberapa jam tidak bertemu rasanya sudah rindu setengah mati," gerutunya kesal.
"Kau berlebihan, Gu Changdi."
Gu Changdi nyaris berteriak karena terlalu kaget mendengar suara lain di ruangannya. Pria itu melotot tajam ke arah Su Huangli yang sudah berdiri di dekat pintu. "Se-Sejak kapan kau di situ, Kak?"
"Sejak kau menerima telepon dari Lin Xiang." Su Huangli tertawa geli melihat ekspresi wajah Gu Changdi. "Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat kusut?"
"Aku akan pulang ke mansion sebentar untuk makan siang dengan Lin Xiang. Tapi dia justru menyuruhku untuk membelikan boneka bambi berukuran raksasa. Di mana aku harus membelinya, Kak?" tanya Gu Changdi frustasi.
"Serahkan saja padaku. Kau bisa pulang sekarang dan temui Lin Xiang," ucap Su Huangli.
"Kau yakin, Kak?"
Su Huangli mengangguk. "Apa kau meremehkan kemampuanku?" tanyanya dengan mata memicing tajam.
Gu Changdi tergelak. "Tidak, Kak. Aku percaya padamu. Baiklah, aku pulang sekarang," tuturnya.
"Katakan saja pada Lin Xiang. Boneka bambinya akan kukirim ke mansion," ucap Gu Changdi.
Gu Changdi mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. "Aku pergi dulu, Kak. Sampai jumpa nanti," pamitnya.
Su Huangli terkekeh melihat gelagat Gu Changdi. Benar-benar mirip seperti remaja tanggung yang sedang kasmaran. "Semoga ini awal kebahagiaanmu bersama Lin Xiang," gumamnya. Ia terdiam kala teringat seseorang yang kembali dalam kehidupan mereka.
"Kira-kira apa yang direncanakan pria itu?" Su Huangli mendesah pelan. "Kuharap kedatangannya tidak akan merusak kebahagiaan Gu Changdi dan Lin Xiang."
***
Feng Yan dan Wu Yifeng hanya bisa tersenyum geli melihat wajah cemberut Lin Xiang. Nona muda mereka itu terus saja melempar kerikil kecil ke arah kolam air mancur yang berada di tengah kebun bunga.
"Hmph! Gu Changdi lama sekali!"
Dua pria berseragam jas lengkap di belakangnya terkikik kompak. Padahal baru 15 menit berlalu semenjak gadis itu menelepon Gu Changdi.
Memang orang yang sedang jatuh cinta akan selalu bersikap di luar logika.
"Nona?" Huang Chuan kembali usai menemui Su Rongyuan. "Nyonya baru saja memberitahu jika makan siang sudah siap."
"Apa Gu Changdi sudah pulang?" tanya Lin Xiang dengan sorot mata penuh harap.
Huang Chuan mengusap tengkuknya. "Tuan belum pulang, Nona," jawabnya. Sedikit merasa bersalah karena kembali membuat wajah Lin Xiang tertekuk.
"Gu Changdi menyebalkan!"
Huang Chuan menatap Feng Yan dan Wu Yifeng secara bergantian. Dua pria itu kompak mengedikkan bahu, namun tertawa kecil sembari melirik Lin Xiang yang masih bertahan dengan wajah kusutnya.
"Tak ada yang berubah di sini ...."
Samar-samar keempat orang itu mendengar suara lain dari arah belakang. Mereka menoleh kompak, hingga menemukan sosok pria berperawakan jangkung berdiri tak jauh dari posisi mereka.
Wu Yifeng menyikut pelan lengan Feng Yan. "Kau mengenalnya?" tanyanya penasaran.
Feng Yan terdiam sejenak. Dia berusaha mengenali tamu yang datang di mansion keluarga Gu.
"Beruntung aku mempunyai daya ingat yang bagus, Kak. Aku baru bertemu dengannya tiga kali sekitar 4 tahun yang lalu," jawab Feng Yan disertai cengiran lebar. "Beliau adalah kakak sepupu Tuan Gu Changdi dari pihak mendiang Tuan Gu Jiangzen."
Wu Yifeng berusaha mencerna penjelasan Feng Yan. Membiarkan rekan kerjanya itu berjalan menghampiri tamu yang sedang mereka bicarakan. Ia melihat Feng Yan membungkuk sopan di hadapan pria yang baru saja datang.
"Saya tidak tahu Anda sudah kembali." Feng Yan tersenyum. "Selamat datang, Tuan Li Heinan."
"Senang bertemu lagi denganmu, Feng Yan." Li Heinan tersenyum senang kedatangannya disambut oleh salah satu orang kepercayaan Gu Changdi. "Bagaimana kabarmu?"
"Kabar saya baik, Tuan. Bagaimana dengan Anda?"
"Aku juga baik." Li Heinan memandangi sekeliling. "Aku senang bisa kembali ke sini. Sepertinya tidak ada yang berubah."
Feng Yan mengangguk sependapat. "Kapan Anda tiba, Tuan?" tanyanya.
"Kurang lebih satu jam yang lalu. Aku langsung mampir ke sini tanpa memberitahu yang lainnya," jawab Li Heinan. Ia melirik gadis di belakang Feng Yan yang sedari tadi menatapnya dengan raut penasaran. Tanpa ragu, ia melangkah pelan mendekati Lin Xiang yang memasang sikap waspada.
"Jangan takut, aku bukan orang asing." Li Heinan berjongkok di depan Lin Xiang yang masih memakai kursi roda. "Perkenalkan, aku kakak sepupu Gu Changdi. Namaku Li Heinan."
"Kakak sepupu Gu Changdi?" Lin Xiang melirik Feng Yan untuk memastikan.
"Beliau kakak sepupu Tuan Gu Changdi, Nona. Ibu Tuan Li Heinan adalah kakak kandung mendiang ayah Tuan Gu Changdi," jawab Feng Yan membenarkan pengakuan Li Heinan.
"Oh, begitu rupanya." Lin Xiang mengangguk-anggukan kepalanya. "Senang bertemu denganmu, Tuan Li Heinan."
Selama beberapa detik, Li Heinan terdiam melihat senyuman Lin Xiang yang begitu mempesona. 'Cantik sekali ....'
"Tuan Li?" Lin Xiang melambaikan tangannya di depan wajah Li Heinan karena pria itu menatapnya dengan ekspresi kosong.
"Oh, maafkan aku." Li Heinan berdeham pelan. "Jangan bersikap terlalu formal padaku. Panggil aku Kakak?"
Lin Xiang mengangguk. "Baik, Kak," balasnya kembali tersenyum dan membuat Li Heinan kembali tak berkutik.
Perhatian Lin Xiang beralih pada sosok lain yang berjalan dari arah belakang Li Heinan dan Feng Yan. Seketika mata gadis itu berbinar terang mendapati kedatangan pria yang sedari tadi dia tunggu.
"Gu Changdi!" teriaknya sambil melambaikan tangan dan sukses membuat Li Heinan terkesiap.
Gu Changdi yang belum menyadari keberadaan Li Heinan terus melangkah mendekati Lin Xiang. Hingga pria bermarga Li itu berdiri, lalu berbalik menghadap ke arahnya. Tepat saat tatapan mata mereka bertemu, langkah Gu Changdi terhenti.
"Kak Heinan?"
Mendengar suara Gu Changdi yang dipenuhi rasa kaget, Li Heinan melangkah mendekati adik sepupunya. "Lama tidak bertemu, Gu Changdi."
Dua pria berstatus saudara sepupu itu saling menatap satu sama lain dengan ekspresi yang berbeda. Jika Gu Changdi terlihat sangat kaget, lain dengan Li Heinan yang tampak santai dan tenang. Namun bagi keempat orang yang melihatnya, mereka mulai menyadari aura gelap yang menguar di sekitar mereka.
Dada Lin Xiang sedikit nyeri melihat pemandangan di depannya. Ia mencengkeram kuat bagian bawah gaun santai yang ia kenakan. Lin Xiang tiba-tiba memiliki firasat buruk dengan kedatangan kakak sepupu Gu Changdi itu.
'Semoga hanya perasaanku saja.'
TO BE CONTINUED