Lin Xiang baru saja keluar dari kamar mandi dengan bantuan Meimei. Ia terkejut saat menemukan Gu Changdi sudah berbaring di ranjang. Semula dia ingin memanggil Gu Changdi, tetapi melihat lengan pria itu menutupi wajahnya, Lin Xiang pun memilih diam.
"Nona ...."
"Kau boleh kembali melanjutkan pekerjaanmu. Terima kasih sudah membantuku mandi, Meimei," ucap Lin Xiang tulus. "Sudah ada Gu Changdi di sini. Kau tidak perlu khawatir."
Meimei mengangguk paham.
"Oh iya, tolong kau buatkan teh herbal untuknya," pinta Lin Xiang.
"Baik, Nona."
Meimei undur diri hadapan Lin Xiang. Perlahan gadis itu memutar kursi rodanya mendekati ranjang. Tangannya terulur dan mengusap lembut kepala Gu Changdi. Aksinya itu membuat mata Gu Changdi yang terpejam perlahan terbuka sempurna.
"Changdi?"
Gu Changdi menoleh dan tersenyum mendapati Lin Xiang sudah berada di tepi ranjang. "Oh, kau sudah selesai mandi?"
Lin Xiang mengangguk. "Kau tidak kembali ke kantormu?"
"Aku lelah. Aku ingin beristirahat sebentar." Gu Changdi memijat pelipisnya sambil melirik Lin Xiang. "Sekaligus ingin berduaan denganmu."
Pipi Lin Xiang bersemu merah. Ia memalingkan wajah ke arah lain, sebelum kembali fokus pada Gu Changdi karena mendengar lenguhan pria itu. Lin Xiang mendapati Gu Changdi terus saja memijat kepalanya.
'Dia pasti kelelahan,' batin Lin Xiang. "Changdi, kau mau aku pijat?"
Mendengar tawaran Lin Xiang, wajah Gu Changdi berubah cerah. "Kau tidak keberatan melakukannya untukku?" tanyanya tak percaya.
"Iya. Aku tahu kau pasti sedang kelelahan, Changdi," ujar Lin Xiang tulus.
Lin Xiang mencoba berdiri dari kursi rodanya untuk pindah ke atas ranjang. Gu Changdi buru-buru bangun dan membantu Lin Xiang dengan hati-hati.
"Jangan memaksakan dirimu," kata Gu Changdi mengingatkan.
"Tidak apa-apa. Kak Sichan bilang aku sudah boleh mencoba berjalan sedikit demi sedikit." Lin Xiang tersenyum lebar. "Lagi pula, jaraknya dari ranjang juga sudah sangat dekat. Aku tidak mungkin terjatuh."
"Tetap saja aku khawatir, Lin Xiang."
Melihat wajah penuh kekhawatiran milik Gu Changdi, Lin Xiang tersenyum haru. Ia tahu, Gu Changdi masih tidak bisa melupakan kejadian saat dirinya nyaris meregang nyawa selama perawatan intensif di rumah sakit.
Setelah menyandarkan punggungnya pada headboard ranjang, Lin Xiang menyuruh Gu Changdi membaringkan kepalanya di atas paha gadis itu.
Awalnya Gu Changdi ragu dan sempat menolak, lantaran tak ingin membuat Lin Xiang kelelahan. Namun, Lin Xiang terus meyakinkan bahwa kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Gu Changdi pun akhirnya menurut dan mengikuti kemauan Lin Xiang.
Jemari lentik Lin Xiang mulai menyentuh bagian pelipis Gu Changdi. Memberi pijatan dengan penuh kelembutan. Bibir Lin Xiang melengkung sempurna melihat Gu Changdi tampak menikmati pijatan yang ia berikan. Mata pria itu terpejam, dan sepertinya tak lama lagi Gu Changdi akan pergi tidur.
Setelah merasa cukup, Lin Xiang memandangi wajah Gu Changdi yang tampak damai dalam pangkuannya. Jari tangannya mulai bergerak menelusuri setiap inci bagian wajah pria itu. Mengagumi pesona ketampanan yang dimiliki oleh Gu Changdi.
Senyuman yang sempat menghiasi wajah Lin Xiang mendadak sirna. Sorot mata gadis itu perlahan berubah sendu.
"Apa aku benar-benar pantas bersanding denganmu, Gu Changdi?"
Lin Xiang kembali menundukkan kepala, hingga tidak menyadari jika Gu Changdi belum sepenuhnya terlelap dan pria itu mendengar suaranya.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
Suara Gu Changdi membuat Lin Xiang terkesiap. "Changdi, kau belum tidur?" tanyanya kaget.
Bukannya menjawab, Gu Changdi justru terbangun dari posisinya. Kini mereka duduk saling berhadapan. Gu Changdi dengan wajah serius, sementara Lin Xiang tampak gugup.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Lin Xiang? Kenapa kau berpikir apakah kau pantas bersanding denganku atau tidak?" cecar Gu Changdi.
Lin Xiang menggigit bibir bawahnya, "Itu karena kita bagaikan bumi dan langit. Kau adalah pewaris utama Royal Group, sementara aku seorang yatim piatu. Aku hanya lulusan SMA, pekerja serabutan dari pelayan kafe, bahkan pernah bekerja di kelab malam."
"Siapa yang membuatmu berpikir seperti itu?"
Lin Xiang mulai ketakutan mendengar nada penuh amarah dari Gu Changdi.
"Pikiran itu muncul dalam diriku sendiri. Tapi, aku yakin orang-orang di luar sana juga akan berpikiran serupa setelah tahu latar belakangku yang sebenarnya," tutur Lin Xiang.
"Jangan dengarkan apa kata mereka. Abaikan saja," sahut Gu Changdi memberi pengertian. "Beberapa hari lagi kita akan mengadakan konferensi pers. Kau akan kuperkenalkan di hadapan publik sebagai calon istriku secara resmi."
Mata Lin Xiang membulat sempurna. "Kau ingin memperkenalkan aku di hadapan publik?"
"Ya."
"Kau yakin?"
Gu Changdi menautkan kedua alisnya. "Tentu saja. Dunia harus tahu siapa calon pendamping hidup Gu Changdi," jelasnya dengan senyuman lebar.
"Ta-Tapi ..."
Gu Changdi menggenggam tangan Lin Xiang dengan erat. "Percayalah padaku, Lin Xiang. Semua akan baik-baik saja."
Lin Xiang menatap Gu Changdi dengan penuh keharuan. Melihat kesungguhan dari sorot mata pria itu, perlahan keyakinan Lin Xiang kembali. "Maafkan aku, Gu Changdi. Sampai sekarang aku belum bisa mengatakan apa yang kau inginkan."
Gu Changdi terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk paham. "Tak apa. Kau tidak perlu terburu-buru. Kita masih punya banyak waktu. Lagi pula, aku sudah berjanji padamu akan membuat perasaan cinta itu tumbuh dalam hatimu, melalui cinta yang kuberikan padamu."
Mata Lin Xiang berkedip-kedip merasakan benda kenyal yang menyentuh lembut bibirnya.
"Aku mencintaimu."
"Changdi ...."
Gu Changdi tersenyum lebar saat Lin Xiang langsung memeluk tubuhnya dengan erat. Kendati belum mendapat balasan cinta dari Lin Xiang, sikap gadis itu secara tidak langsung memperlihatkan jika Lin Xiang sudah menerima statusnya sebagai calon istri Gu Changdi.
Gu Changdi merasa sangat bahagia. Mulai sekarang, dia tidak akan terburu-buru memaksakan perasaannya kepada Lin Xiang. Ia masih memiliki banyak waktu untuk membuat Lin Xiang membalas cintanya.
***
Li Heinan memandangi bangunan rumah mewah dengan sentuhan tradisional khas China di depannya. Ia baru saja tiba di rumah orang tuanya yang terletak di daerah Dongcheng. Beberapa pelayan yang mengenalinya langsung bergegas menghampiri Li Heinan.
"Tuan Li Heinan, Anda sudah pulang?"
Li Heinan tersenyum ramah kepada pria paruh baya yang bekerja sebagai kepala pelayan di sana. "Lama tidak bertemu denganmu, Paman."
"Saya senang melihat Anda pulang, Tuan. Bagaimana kabar, Anda?"
"Kabarku baik, Paman. Bagaimana kabarmu? Semua baik-baik saja 'kan?" tanya Li Heinan sedikit berbasa-basi.
"Semua baik-baik saja, Tuan." Pria berkacamata itu tersenyum senang, "Apakah saya perlu menyampaikan berita kepulangan Anda pada Tuan dan Nyonya?"
"Tidak perlu, Paman. Kurasa ibuku sudah tahu kalau aku akan pulang hari ini," Li Heinan terkekeh, "Ah, jangan lupa tolong siapkan makanan kesukaanku untuk makan malam nanti."
"Baik, Tuan."
"Di mana ibuku?" tanya Li Heinan. "Dan apa ayahku sudah pulang dari kantor?"
"Belum, Tuan. Mungkin sebentar lagi Tuan Li akan pulang. Kalau Nyonya, beliau sedang bersantai di taman belakang rumah."
"Baiklah, aku akan ke sana menemui ibuku."
Li Heinan menggiring langkah kakinya menuju taman belakang rumah. Ia mendekati sebuah gazebo di taman belakang yang berdekatan dengan kolam renang. Senyum menghiasi wajahnya tat kala melihat sosok ibunya tampak asyik menikmati secangkir teh. Kebiasaan yang sangat dihafal oleh Li Heinan.
"Tidak ingin menyambut kepulangan anakmu, Ibu?"
Li Heinan terkekeh melihat wanita paruh baya di depannya menoleh dengan mata mengerjap kaget.
"Heinan?"
"Aku pulang, Bu." Li Heinan memeluk tubuh ibunya—Gu Jiangmei—setelah wanita itu berlari menjatuhkan diri ke pelukannya.
"Ibu senang sekali kau sudah pulang." Gu Jiangmei menangkup wajah Li Heinan, kemudian menghadiahi ciuman bertubi-tubi di setiap jengkal wajah pria itu. "Selamat datang kembali putra kebanggaanku."
Li Heinan terkekeh. "Astaga, Ibu. Aku bukan anak kecil lagi."
Gu Jiangmei ikut tertawa, lalu memeluk tubuh putranya. "Ayo, kita masuk ke dalam. Ibu akan menyuruh pelayan menyiapkan makanan kesukaanmu untuk makan malam nanti."
Li Heinan tersenyum dan bersama ibunya ikut berjalan memasuki rumah. Namun langkah keduanya terhenti saat melihat sosok pria paruh baya yang sudah berdiri tak jauh dari posisi mereka.
"Ayah?"
TO BE CONTINUED