Kepala Lin Xiang tertunduk. Ia baru saja memberikan kesaksian di hadapan hakim yang memimpin jalannya persidangan Mu Tiansu dan Dong Liwen, sebagai korban dalam kasus yang dialamatkan pada mereka.
Tangan mungil itu mencengkeram kuat bawahan rok yang dia kenakan. Lin Xiang mencoba bersikap tenang meskipun tak kunjung membuahkan hasil.
Bagaimana tidak?
Sejak proses sidang dimulai, Mu Tiansu yang duduk berdampingan dengan Dong Liwen—menempati area khusus untuk terdakwa—terus memberikan tatapan tajamnya kepada Lin Xiang.
Beruntung ada Gu Changdi yang setia mendampingi Lin Xiang. Pria itu mengamati jalannya persidangan dengan konsentrasi penuh.
Sesekali seringaian kecil terukir di bibir Gu Changdi. Ia puas sekali mendengar laporan dari pengacara dan juga jaksa penuntut umum yang melayangkan tuntutan hukuman sangat berat terhadap Mu Tiansu dan Dong Liwen.
Mau sekeras apapun membantah, pihak Gu Changdi telah menyerahkan semua bukti atas tindakan kejahatan yang sudah dilakukan pasangan suami-istri itu kepada Lin Xiang.
BRAK!
"GADIS TIDAK TAHU DIRI!"
Suasana ruang sidang yang semula tenang berubah ricuh setelah Mu Tiansu berseru lantang sembari menggebrak meja.
"Seharusnya aku dulu membuangmu ke jalanan! Kau benar-benar tidak tahu diuntung! Kau memang—HEI! LEPASKAN AKU!" Emosi Mu Tiansu semakin menjadi. Dong Liwen kesulitan menenangkan sang istri hingga memaksa petugas keamanan dalam ruang sidang ikut mengambil tindakan.
Nada-nada sumbang mulai terdengar di sekeliling Lin Xiang. Dia merasa tidak nyaman atas cibiran yang dilayangkan orang-orang terhadap Mu Tiansu, yang dinilai tidak bisa menjaga sikap selama jalannya proses persidangan.
GREP!
Sepasang lengan kekar memeluk tubuh Lin Xiang dari belakang.
"Tidak apa-apa. Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik ...."
Seharusnya Lin Xiang merasa tenang setelah mendengar suara khas milik Gu Changdi. Namun, hari ini dia justru merasa sangat cengeng. Air matanya mengalir dengan mudah membasahi kedua pipinya.
Lin Xiang memutar posisi tubuh agar menghadap Gu Changdi, dan segera menenggelamkan wajahnya pada dada bidang pria itu. "Jangan menyuruhku melakukannya lagi, Gu Changdi ...," cicitnya dalam isak tangis.
Jujur saja, Lin Xiang merasa keberatan saat Gu Changdi memintanya hadir dalam persidangan kasus Mu Tiansu dan Dong Liwen. Kendati telah melakukan kesalahan fatal, sampai detik ini Lin Xiang masih menganggap Mu Tiansu dan Dong Liwen sebagai keluarga.
Bagaimanapun pasangan suami-istri itu telah merawat Lin Xiang semenjak orang tuanya meninggal.
Tangan Gu Changdi terus mengusap punggung sempit Lin Xiang, membisikkan kalimat-kalimat menenangkan untuk gadis itu. Sesekali Gu Changdi mencium pucuk kepala Lin Xiang. Mengabaikan tatapan beragam orang-orang di sekelilingnya.
Bahkan dengan adanya sinar dari kamera yang menyorot mereka, Gu Changdi tidak peduli. Pria itu memilih memusatkan seluruh perhatiannya kepada Lin Xiang.
"Aku berjanji akan terus selalu berada di sisimu, Lin Xiang ..."
***
Hanya berselang beberapa jam, wajah Gu Changdi dan Lin Xiang kembali memenuhi media masa. Mereka kembali menjadi perbincangan hangat, setelah menghadiri persidangan Mu Tiansu dan Dong Liwen. Namun, bukan kasus persidangan itu yang menarik perhatian mereka, melainkan latar belakang Lin Xiang yang terungkap di kalangan publik. Statusnya sebagai gadis yatim-piatu, lulusan SMA, pekerja serabutan mulai dari pengantar koran, pelayan kafe, hingga pelayan di sebuah klub malam.
Berita-berita tersebut sontak saja membuat publik terkejut. Tak sedikit yang mencibir status Lin Xiang. Mereka menganggap gadis itu sama sekali tidak pantas menjadi calon istri pewaris utama Royal Group.
Gu Changdi ingin sekali membanting ponsel ataupun layar komputer di depannya usai membaca komentar-komentar pedas para netizen yang dialamatkan untuk Lin Xiang.
"Aku akan menjahit mulut-mulut mereka!" seru Gu Changdi murka. Beruntung ia sekarang berada di mansion—ruang kerja pribadinya. Jika tidak, kemungkinan terburuk Gu Changdi akan melampiaskan segala emosinya kepada para staff di kantor.
CKLEK!
Pintu ruangan terbuka, memunculkan sosok Su Rongyuan yang datang dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Ada apa, Bu?" tanya Gu Changdi terheran melihat ekspresi wajah sang ibu.
Su Rongyuan menghela napas, "Kupikir Lin Xiang tidak mau turun karena memilih makan siang di kamarnya. Tapi setelah Meimei mengantarkan makan siang, ternyata Lin Xiang menolaknya. Aku sudah membantu Meimei membujuk Lin Xiang untuk makan siang, tapi gadis itu tetap menolak. Apa yang harus kita lakukan, Changdi?"
Pria berkulit pucat itu mengusap wajahnya frustasi.
"Changdi, apa menurutmu Lin Xiang sudah tahu tentang artikel-artikel itu?"
"Kurasa begitu, Ibu," jawab Gu Changdi sekenanya. Perhatian pria itu beralih pada Su Huangli yang menyusul ke ruangan. "Kak, aku butuh bantuanmu!"
Pria itu mengerjapkan matanya dengan ekspresi kebingungan. Ia baru saja datang, tapi segera dimintai bantuan oleh Gu Changdi.
"Lacak semua akun yang sudah berkomentar buruk tentang Lin Xiang, termasuk media yang menyebarkan artikel-artikel ini." Tatapan mata Gu Changdi menajam, giginya bergemelatuk, seiring tangannya yang mengepal kuat. "Bila perlu, bawa masalah ini ke ranah hukum."
Su Huangli menghela napas. Ia merasa ini bukan keputusan yang bijak.
"Aku tahu kau kesal dengan mereka, tapi tidakkah masalah yang kau urusi sudah terlalu banyak, Gu Changdi?" Su Huangli mencoba menenangkan Gu Changdi. "Lebih baik kau fokus saja dengan persiapan konferensi pers lusa nanti."
"Aku tidak peduli!" Gu Changdi mengabaikan saran Su Huangli. "Aku paling benci saat orang lain berkomentar seenaknya. Hanya sekedar melihat dari luar, tanpa pernah mencari tahu fakta yang ada."
Su Huangli dan Su Rongyuan terdiam.
"Yang menjalankan kehidupan pernikahan ini aku, bukan mereka. Hanya aku yang tahu apa yang terbaik untukku, dan itu adalah Lin Xiang." Perlahan nada bicara Gu Changdi mulai normal, kendati masih terdengar serak. "Aku hanya ingin menikah dengan Lin Xiang, bukan perempuan lain."
Sempat terkejut dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap emosi Gu Changdi yang meledak, Su Huangli akhirnya tersenyum simpul. Sebagai orang terdekat yang menjadi saksi atas cinta Gu Changdi pada Lin Xiang, Su Huangli sangat mengerti perasaan adik sepupunya itu.
"Baiklah, aku akan menuruti perintahmu." Su Huangli berkata dengan tulus.
Gu Changdi tersenyum. "Terima kasih, Kak. Selama ini kau sudah banyak membantu dan selalu berada di sisiku."
Su Huangli menepuk bahu Gu Changdi. "Bukankah aku sudah berjanji akan selalu berada di sisimu?" ucapnya diakhiri gelak tawa. Setidaknya berhasil menenangkan perasaan Gu Changdi yang sedang tak menentu karena berita menghebohkan hari ini.
"Ibu tidak perlu khawatir. Biar aku yang membujuk Lin Xiang. Sekalian aku ingin memeriksa kondisinya," kata Gu Changdi seraya mengusap bahu Su Rongyuan.
"Baiklah, Ibu serahkan padamu." Su Rongyuan tersenyum lega. "Bujuk dia dengan penuh kelembutan. Kau juga harus membicarakan masalah artikel-artikel itu dengan tenang. Ibu tidak mau, emosimu nanti justru membuat pikiran Lin Xiang semakin kalut. Dia sedang tidak dalam kondisi baik, Gu Changdi ..."
Gu Changdi mengangguk, kemudian berjalan cepat meninggalkan ruang kerjanya. Menyisakan Su Huangli dan Su Rongyuan yang masih bertahan di sana.
"Terima kasih sudah selalu menemani putraku, Su Huangli ..."
Su Huangli terkekeh, "Bibi berlebihan. Ini memang sudah tugasku," balasnya sambil tersenyum lebar.
Su Rongyuan tak kuasa menahan air matanya. Kadang ia berpikir, bagaimana jadinya Gu Changdi jika tidak ada Su Huangli yang senantiasa mendampingi putranya sejak kepergian Yunho. Ia bersyukur memiliki keponakan sebaik Su Huangli.
Pria itu benar-benar memiliki hati seperti malaikat.
TO BE CONTINUED