"Yang saya tahu, Tuan Li Heinan usianya 3 tahun lebih tua dari Tuan Gu Changdi. Beliau merupakan putra tunggal dari Nyonya Gu Jiangmei, kakak kandung mendiang Tuan Gu Jiangzen. Ayahnya bernama Tuan Li Hanzhou dan beliau memiliki perusahaan besar di bidang real estate," ujar Meimei menjawab pertanyaan Lin Xiang.
"Ada lagi?"
"Menurut pengalaman saya selama beberapa kali bertemu dengan Tuan Li Heinan sebelumnya, beliau merupakan orang yang sangat ramah kepada siapa saja, Nona."
"Hanya itu?" tanya Lin Xiang merasa belum puas dengan jawaban Meimei.
"Maafkan saya, Nona. Hanya ini yang saya tahu," jawab Meimei penuh sesal. "Mungkin Nona bisa bertanya lebih detail pada Feng Yan."
"Benar juga." Wajah murung Lin Xiang seketika berubah cerah. "Lain kali aku akan bertanya padanya."
Meimei sudah bersiap mendorong kursi roda yang dipakai Lin Xiang, hingga sentuhan tangan gadis itu menghentikan tindakannya.
"Ada apa, Nona?" tanya Meimei panik karena menemukan sinar keraguan pada sorot mata Lin Xiang.
Kepala Lin Xiang tertunduk dalam. "Apa menurutmu aku pantas bersanding dengan Gu Changdi?"
Bola mata Meimei membelalak lebar. "Kenapa Nona bertanya seperti itu?"
"Kami bagaikan bumi dan langit. Status Changdi sebagai pewaris utama Royal Group, sementara aku anak yatim piatu. Aku hanya lulusan SMA, pekerja serabutan mulai dari pelayan kafe, hingga pelayan di kelab malam. Orang-orang pasti akan tahu dan menilai bagaimana latar belakangku sebelumnya. Aku khawatir itu bisa mempengaruhi citra Gu Changdi di kalangan publik."
"Nona ...."
"Satu lagi, apa kau menyadari perubahan sikapku pada Gu Changdi dibandingkan sebelumnya?"
"Ya, Nona. Saya lihat, sekarang Anda lebih sering bersikap manja kepada Tuan Gu Changdi. Padahal sebelumnya Anda sangat liar dan sulit diatur karena selalu melawan perintah beliau," jawab Meimei kemudian menutup mulut karena sadar baru saja kelepasan bicara. "Maafkan saya, Nona. Saya pantas dihukum."
Bukannya marah, Lin Xiang justru tertawa mendengar jawaban jujur Meimei.
"Apa yang kau katakan memang benar, Meimei." Lin Xiang memandangi taman belakang mansion. "Awalnya aku memang selalu melawan Gu Changdi karena menurutku dia sudah bersikap seenaknya. Siapa yang tidak marah, kau bertemu dengan orang asing yang tiba-tiba mengaku sebagai calon suamimu?"
Meimei tidak menjawab, hanya menunduk seraya tersenyum mendengar penuturan Lin Xiang.
"Tapi, setelah tahu siapa dia sebenarnya, aku tidak bisa mengendalikan sikap kekanakkan yang kembali muncul dalam diriku. Rasanya aku ingin sekali selalu bersikap manja pada Gu Changdi. Aku senang mencari perhatiannya. Aku juga sangat gembira saat dia memberikan perhatian penuh padaku."
Meimei tersenyum. "Itu tandanya, Nona mulai jatuh cinta pada Tuan Gu Changdi."
Mata Lin Xiang berkedip-kedip. "Aku ... jatuh cinta padanya?"
"Iya, Nona." Meimei terkekeh geli melihat wajah Lin Xiang semakin memerah. "Jika boleh memberikan pendapat, saya lebih suka melihat Nona Lin Xiang bersikap apa adanya. Sebelum kedatangan Nona Lin Xiang, banyak wanita yang ingin mendekati Tuan Gu Changdi. kebanyakan dari mereka selalu menjaga image, dan cenderung hanya mengincar latar belakang keluarga beliau."
"Benarkah?"
Meimei mengangguk lagi. "Jangan pikirkan apa yang dikatakan orang-orang di luar sana tentang Nona. Saya percaya, kebaikan hati Anda akan membuat semua orang menyukai keberadaan Anda. Jadilah diri sendiri."
Perlahan senyum Lin Xiang mengembang. Ia menggenggam tangan Meimei dengan erat. "Terima kasih."
Setelah Shen Wanwan dan Zhang Yiyi, ia menemukan teman terbaik untuk diajak bertukar pendapat.
***
Gu Jinglei memejamkan matanya. Ia abaikan Gu Changdi selama beberapa menit, semenjak cucunya itu datang ke ruangannya. Setelah kepergian Li Heinan, Gu Changdi memilih bertahan di mansion dan kini menemui Gu Jinglei untuk menanyakan sesuatu.
Apalagi jika bukan terkait rencananya memperkenalkan Lin Xiang kepada publik dan kepulangan Li Heinan yang terkesan mendadak.
"Kakek ...."
"Sebentar, Changdi. Aku sedang berpikir," tutur Gu Jinglei seraya mengangkat tangannya.
"Ck, kau sudah terlalu lama mendiamkanku, Kakek," decak Gu Changdi mulai kehabisan kesaraban.
Gu Jinglei terkekeh pelan. "Katakan apa pendapatmu soal kepulangan Li Heinan?"
"Aku hanya terlalu kaget, Kakek. Kak Heinan tiba-tiba pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu," jawab Gu Changdi jujur.
"Ya, aku pun juga sama kagetnya denganmu, Gu Changdi." Gu Jinglei bersedekap sambil menyandarkan punggungnya. "Kita sudah lama tidak bertemu dengannya semenjak dia pindah ke London. Kita tidak tahu apakah Li Heinan yang sekarang, masih sama seperti Li Heinan yang kita kenal sebelumnya."
"Apa maksudmu, Kakek?"
"Aku hanya ingin mengingatkan padamu untuk berhati-hati terhadap Li Heinan," lanjut Gu Jinglei. "Jaga Lin Xiang baik-baik. Siapa tahu Li Heinan akan merebutnya darimu."
Wajah tenang Gu Changdi seketika berubah marah. "Kenapa Kakek berkata seperti itu? Kak Heinan tidak mungkin merebut Lin Xiang dariku."
Gu Jinglei tersenyum penuh arti. "Siapa saja bisa tertarik pada gadis secantik Lin Xiang, bahkan kakak sepupumu sendiri, Gu Changdi."
Gu Changdi terdiam. Ia masih menyelami saran yang diberikan Gu Jinglei.
"Apa hanya soal Lin Xiang saja?"
Giliran Gu Jinglei yang menatap heran ke arah Gu Changdi.
"Apakah ada hal lain yang ingin Kakek sampaikan padaku selain soal Lin Xiang?" tanya Gu Changdi lagi.
"Belum saatnya," jawab Gu Jinglei lalu memutar kursinya, hingga ia berada di posisi membelakangi Gu Changdi. "Nanti bila waktunya tiba, aku akan memberitahumu, Gu Changdi."
Tangan Gu Changdi mengepal kuat, tetapi perlahan melemas seiring sorot matanya yang berubah sendu. "Rupanya Kakek masih belum bisa mempercayaiku. Aku bukan anak kecil lagi, Kakek."
Gu Jinglei tidak menjawab.
"Jika memang Kakek tidak ingin menceritakannya padaku, tidak apa-apa. Aku bisa mencari tahu sendiri dengan kemampuan yang kumiliki," Gu Changdi bersiap pergi meninggalkan ruangan Gu Jinglei. "Aku tahu, Kakek selama ini terus mencari tahu siapa dalang di balik kecelakaan yang dialami Ayah. Aku yakin kau sudah menemukan beberapa petunjuk yang mengarah pada pelaku. Jika benar, aku merasa sangat senang."
Tangan Gu Jinglei mengepal kuat.
"Tapi kau juga membuatku kecewa, Kakek. Kau lebih memilih melibatkan Kak Huangli dibandingkan aku yang jelas-jelas putra kandung Gu Jiangzen. Kau tak pernah melibatkanku dalam penyelidikan kasus kecelakaan yang menewaskan Ayah ...."
Gu Jinglei bisa mendengar suara pintu ruangan yang dibuka dan akhirnya ditutup cukup keras. Ia menghembuskan napas panjang. Kepalan tangannya perlahan mengendur.
"Maafkan aku, Changdi." Gu Jinglei mendesah pelan, "Meski belum sepenuhnya terungkap, instingku tidak pernah salah. Aku hanya tidak ingin membuatmu semakin terluka setelah tahu siapa yang sudah membuat ayahmu pergi untuk selamanya."
Setelah menenangkan diri, Gu Jinglei berjalan keluar dari ruangannya. Ia pergi menuju kamar Su Rongyuan.
"Rongyuan?" Gu Jinglei memanggil menantunya dengan lembut, tetapi dia hanya menemukan wanita itu tengah memeluk bingkai foto sambil menangis. Gu Jinglei tahu, foto tersebut adalah foto Gu Jiangzen.
Cengkeraman tangan pada ujung tongkatnya pun menguat. Gu Jinglei memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
TO BE CONTINUED