Gu Changdi menatap layar yang berada di samping ranjang Lin Xiang, sementara tangannya terus menggenggam erat tangan gadis itu.
Perlahan Gu Changdi menempelkan tangan kanan Lin Xiang ke pipi dan menciumnya berulang kali. Ia berharap ada respon pergerakan secepatnya dari Lin Xiang.
Menunggu tanpa kepastian yang jelas adalah hal yang paling dibenci oleh Gu Changdi. Apalagi berhubungan dengan seseorang yang amat berharga baginya.
"Lin Xiang, bangunlah ...," suara putus asa Gu Changdi kembali terdengar, "Mau berapa lama lagi kau menyiksaku, hm?"
Mata Gu Changdi mulai memerah. Sekuat tenaga dia menahan cairan bening yang akhirnya turun secara dramatis.
Hening.
Tak ada suara yang menyahut ucapan Gu Changdi. Kecuali, suara mesin elektro-kardiograf yang membuat suasana ruang ICU kian terasa tegang.
Gu Changdi teringat kembali atas penjelasan dokter yang menangani kondisi Lin Xiang.
"Nona Lin Xiang dalam kondisi kritis. Pukulan benda keras pada punggungnya membuat tulang belakang Nona mengalami gangguan dan berimbas pada fungsi jaringan syaraf."
"Satu-satunya cara untuk mengobatinya hanya melalui operasi. Akan tetapi, kami tidak bisa memastikan kondisi Nona segera membaik pasca operasi. Kami menemukan bekas memar di beberapa titik bagian tubuh Nona yang kembali kambuh. Ini berpengaruh besar pada proses pemulihan kondisi Nona."
Kalau diizinkan, rasanya Gu Changdi ingin sekali menggantikan posisi Lin Xiang. Gadis itu terbaring lemah tak berdaya dengan beberapa peralatan medis yang menopang kehidupannya.
"Jika dalam kurun waktu 24 jam Nona tak kunjung sadar, dengan sangat menyesal kami mengatakan Nona dalam kondisi koma, Tuan Gu."
Mata Gu Changdi terpejam. Air mata itu mengalir deras membasahi pipinya.
Ini sudah memasuki hari ke-7 pasca Lin Xiang menjalani operasi pada tulang belakangnya. Akan tetapi, gadis itu tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda siuman.
Gu Changdi meremas kuat jemari tangannya. Ia sangat terpuruk melihat nasib yang dialami Lin Xiang.
Ia merasa gagal melindungi gadis itu.
"Seharusnya hari itu aku mengikatmu," gumam Gu Changdi penuh penyesalan. "Tetapi ... entah bagaimana akhirnya aku membiarkanmu pergi. Kupikir aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk menangkap mereka. Sayang, aku datang terlambat dan kau ... kau justru berakhir seperti ini ...."
Cengkeraman tangan Gu Changdi kembali mengerat. Seiring isak tangisnya yang kian kencang.
"Aku merasa kecolongan ... aku gagal melindungimu ...."
CKLEK!
Pintu ruang ICU terbuka, memunculkan sosok Su Rongyuan yang sudah mengenakan pakaian khusus. Ia bermaksud melihat perkembangan Lin Xiang, walau selalu berakhir menemukan pemandangan putranya jatuh terpuruk seperti sekarang.
Ini pertama kalinya bagi Su Rongyuan melihat Gu Changdi menangisi seseorang sedemikian rupa, setelah kematian Gu Jiangzen.
"Changdi ...."
Memori Su Rongyuan kembali saat melihat bagaimana ekspresi terpukul Gu Changdi setelah dokter memberitahu kondisi Lin Xiang. Bukan hanya Gu Changdi, ia turut menangis mendengar penjelasan dari mereka.
"Ibu ...." Gu Changdi tak mengalihkan perhatiannya sedetik pun dari Lin Xiang. "Ini sudah 1 minggu, tapi kenapa Lin Xiang belum membuka matanya?"
Tidak tega melihat beban kesedihan yang ditanggung putra semata wayangnya, Su Rongyuan buru-buru memeluk Gu Changdi dari belakang. Mencoba menyalurkan kekuatan pada pria itu. "Dia akan baik-baik saja. Serahkan semuanya pada Tuhan, Changdi."
Gu Changdi menggeleng tak yakin, "Aku takut, Bu ...."
Pelukan Su Rongyuan semakin mengerat. Seumur hidupnya, baru pertama kali dia melihat Gu Changdi tampak ketakutan luar biasa.
Hanya dari ekspresi wajah, Su Rongyuan bisa melihat seberapa besar cinta Gu Changdi kepada Lin Xiang. Pria itu sangat ketakutan jika Lin Xiang sampai pergi dari kehidupannya.
***
Suasana tegang mendominasi salah satu ruang khusus yang ada dalam gedung kantor kepolisian wilayah Beijing.
Dua orang tahanan sementara yang berstatus sebagai pasangan suami istri itu hanya bisa menundukkan kepala. Menolak untuk bertatap muka dengan sosok pria baya yang duduk di hadapan mereka.
"Dong Liwen dan Mu Tiansu."
"Apa maumu?" Mu Tiansu memandang sengit, "Kami sama sekali tidak punya urusan denganmu, Tuan Gu Jinglei."
Gu Jinglei tergelak. "Senang sekali kalian masih mempunyai etika saat berbicara denganku," tuturnya santai. Mengabaikan ketegangan yang sempat menghiasi wajah Dong Liwen maupun Mu Tiansu.
Wang Chen yang sedari tadi mendampingi Gu Jinglei hanya terdiam. Ia sendiri ikut mengamati perubahan ekspresi wajah Dong Liwen dan Mu Tiansu.
"Kalian memang tidak ada urusan denganku, tapi ..." Gu Jinglei mengubah raut wajahnya dengan tatapan mata yang berkilau tajam, "kalian sudah mengusik kehidupan cucu dan calon cucu menantuku."
Giliran Mu Tiansu yang tertawa layaknya iblis.
"Bukan kami yang mengusik kehidupan cucumu. Salahkan saja cucumu yang sudah ikut campur dalam urusan keluarga kami."
Mu Tiansu masih bertahan dengan wajah pongah. "Lin Xiang adalah keponakan kami. Sejak orang tuanya meninggal, kami yang membesarkannya. Terserah kami ingin memperlakukan dia seperti apa. Itu sudah menjadi hak kami sepenuhnya."
Gu Jinglei mengeraskan rahangnya.
"Bahkan jika aku ingin membunuhnya, kalian tidak punya hak untuk menghentikanku!"
"MU TIANSU!"
Teriakan Dong Liwen membuat suasana kian memanas. Mu Tiansu tak gentar sedikit pun dengan peringatan yang diserukan suaminya.
"Apa? Kau menyuruhku untuk diam saja sementara mereka datang menghina kita?" Mu Tiansu menatap Dong Liwen tajam. "Tidak! Aku tidak bisa terima! Mereka pikir mereka itu siapa? Seenaknya saja menjebloskan kita ke penjara!"
"Sayangnya ini memang hadiah yang pantas kalian terima." Gu Jinglei tidak bisa lagi meredam emosinya. "Kalian sudah membuat calon cucu menantuku kritis."
"Benarkah?" Mu Tiansu tergelak tanpa rasa bersalah, "Bagus jika dia mati menyusul orang tuanya yang bodoh itu."
"Kau—" Gu Jinglei sudah berdiri dari kursi, namun segera dicegah oleh Wang Chen. Pria yang menjadi orang kepercayaan sekaligus sahabat mendiang putranya itu ikut berdiri di sampingnya.
"Tuan tidak perlu membalas perkataannya," Wang Chen melirik sekilas pada Dong Liwen dan Mu Tiansu, "Biar hukum yang membalas mereka, sesuai hasil penyelidikan dan pengadilan nanti."
Gu Jinglei menarik napas panjang-panjang, kemudian mengusap wajahnya dengan sedikit kasar.
"Kau benar." Gu Jinglei tersenyum penuh arti, "Aku seharusnya tidak lupa tujuanku datang ke sini. Aku hanya datang untuk memastikan mereka membusuk di penjara."
Kalimat terakhir Gu Jinglei memancing kemarahan Mu Tiansu. Wanita itu sontak berlari dan mencengkeram kuat kerah kemeja yang dipakai Gu Jinglei.
"Cucumu itu sudah menghancurkan kehidupan kami. Dia bahkan sudah memukul suamiku. Seharusnya dia yang dipenjara bukan kami!"
Gu Jinglei tak mengindahkan ancaman yang diberikan Mu Tiansu. Ia tetap bersikap tenang, meski Wang Chen dan Dong Liwen sama-sama berusaha melepaskan Mu Tiansu darinya.
Suasana di dalam ruangan berubah ricuh karena Mu Tiansu terus mengamuk tanpa henti, bahkan memberikan perlawanan saat beberapa petugas kepolisian mulai berdatangan dan membawa mereka pergi meninggalkan Gu Jinglei dan Wang Chen.
"Tuan baik-baik saja?" Wang Chen memastikan dengan wajahnya yang berubah khawatir.
Gu Jinglei mengangguk kecil. Pandangannya beralih pada sosok pria berbalut seragam khas kepolisian yang datang diikuti beberapa bawahannya.
"Aku ingin kalian menangani kasus hukum mereka dengan teliti," titah Gu Jinglei pada kepala kepolisan tersebut. "Perketat penjagaan untuk mereka. Jangan sampai ada celah bagi mereka untuk melarikan diri."
"Baik, serahkan pada kami."
Gu Jinglei melirik Wang Chen yang sudah bersiap. "Kita pergi. Aku ingin melihat keadaan Lin Xiang," ucapnya.
Wang Chen mengangguk sembari memberi jalan pada Gu Jinglei, kemudian mengikutinya dari belakang dengan langkahnya yang tegap. Namun saat mereka sampai di depan gedung kantor kepolisan, Wang Chen mendapat satu pesan yang membuat langkahnya terhenti.
"Ada apa?"
Wang Chen terkesiap mendengar panggilan Gu Jinglei, "Tuan ...."
Raut wajah tenang Gu Jinglei perlahan memudar. Hanya melihat sorot mata Wang Chen, Gu Jinglei menyadari sesuatu yang buruk telah terjadi.
TO BE CONTINUED