Seumur hidup, baru kali ini Lin Xiang menjumpai pria paling aneh sedunia.
Lin Xiang jelas tidak mengenal Gu Changdi. Menurutnya, mereka baru bertemu dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Akan tetapi, pria berkulit pucat itu bersikap seolah mereka sudah lama saling mengenal.
Seperti sosok penguasa yang otoriter, Gu Changdi dengan seenaknya menyuruh Lin Xiang tinggal di mansion keluarga Gu. Bukan hanya itu, ucapan Gu Changdi yang mengaku sebagai calon suami Lin Xiang tak ayal membuatnya semakin emosi.
'Orang ini benar-benar tidak waras,' pikir Lin Xiang.
"Jangan gunakan otakmu untuk berpikir terlalu keras," tegur Gu Changdi. "Lebih baik kau makan bubur ini. Setelah itu minum obat penurun demam dan beristirahat."
Lin Xiang hendak mengeluarkan protes, tetapi Gu Changdi membungkamnya lebih dulu dengan sesendok bubur yang langsung memenuhi mulut. Mata rusa itu melotot lucu, ditambah dengusan panjang yang membuat Lin Xiang tampak imut dan menggemaskan.
"Kau ... tidak bisa mengaturku." Napas Lin Xiang sedikit tersengal. "Aku ... mmmph—"
"Bicara nanti saja. Sekarang habiskan buburmu dan minum obat." Gu Changdi berdecak kesal. "Jika kondisimu sudah membaik sepenuhnya, kau bebas bicara apa saja padaku."
Masih dengan mulut penuh bubur, Lin Xiang menatap tajam kepada Gu Changdi. Namun seolah tak terpengaruh, pria itu terus menyuapi bubur ke mulut Lin Xiang sampai habis. Ia tersenyum puas melihat Lin Xiang mau menghabiskan bubur buatan Su Rongyuan.
Gu Changdi sadar bahwa dia telah bersikap seenaknya pada Lin Xiang. Ia menyuruh gadis itu tinggal di mansion keluarganya secara paksa.
Akan tetapi, Gu Changdi memiliki alasan untuk bersikap demikian. Ia sudah berjanji akan menjelaskan semuanya pada Lin Xiang, setelah kondisi gadis itu pulih seperti semula.
"Kau masih kuat bangun?" tanya Gu Changdi memastikan. Anggukan lemah Lin Xiang mendorong pria itu membantunya bangun dari posisi berbaring.
Tangan kiri Gu Changdi merangkul Lin Xiang, menahan beban tubuh gadis itu yang bersandar lemah di dadanya. Gu Changdi mengambil obat penurun demam, juga segelas air minum untuk Lin Xiang. Usai meminum obatnya, Lin Xiang kembali berbaring.
Diam-diam Lin Xiang memandangi Gu Changdi yang sedang merapikan selimutnya. Sikap pria itu yang sebentar baik sebentar menjengkelkan membuat Lin Xiang semakin bingung.
"Sebenarnya kau ini siapa?"
"Bukankah aku sudah bilang kalau namaku Gu Changdi?"
Lin Xiang mengatupkan bibirnya rapat. Kalau saja tidak sedang terbaring lemah seperti ini, sudah sejak tadi dia mendaratkan pukulan telak di kepala Gu Changdi.
"Aku tidak sedang membicarakan namamu, tapi ucapanmu yang mengaku sebagai calon suamiku!"
Sudut bibir Gu Changdi sedikit tertarik. "Itu memang benar, Sayang. Aku adalah calon suamimu, dan kau adalah calon istriku," tuturnya santai dan sukses membuat mata Lin Xiang mendelik tajam.
"Ugh, susah berbicara dengan orang yang tidak waras sepertimu!" geram Lin Xiang frustrasi.
"Aku sudah bilang kalau kita masih punya banyak waktu untuk berkenalan." Gu Changdi lagi-lagi bereaksi tenang, tak terpengaruh dengan umpatan kesal yang meluncur dari bibir Lin Xiang. "Sudahlah, sebaiknya kau beristirahat untuk memulihkan kondisimu."
"Kau—"
"Kalau kondisimu sudah pulih, aku janji akan memberimu kesempatan untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Kau puas?"
Bibir Lin Xiang mencebil imut. Gadis itu tidak menyadari bahwa tindakannya barusan adalah kebiasaan lama yang sudah jarang sekali dia lakukan ketika sedang merajuk.
"Kupegang janjimu!"
"Hn." Gu Changdi menarik selimut Lin Xiang hingga menutupi dada. "Tidurlah."
Lantarab masih lemas dan obat mulai bereaksi, perlahan kesadaran Lin Xiang mulai berkurang. Hingga terdengar dengkuran halus, pertanda gadis itu sudah pergi ke alam mimpi.
Beberapa menit sudah berlalu semenjak Lin Xiang tertidur, tetapi Gu Changdi masih betah berada di kamar. Ia menyamankan posisi duduk di tepian ranjang. Tangannya terulur, mengusap lembut kepala Lin Xiang sambil memandangi wajah tenang gadis itu dengan sorot mata mendamba.
"Aku tidak peduli dengan pertemuan kedua kita yang terkesan terburu-buru." Gu Changdi tersenyum lemah. "Kau tahu, aku sudah menunggumu dalam waktu yang sangat lama."
Gu Changdi beralih menggenggam tangan kanan Lin Xiang, menempelkannya di wajah, lalu mengecupnya dengan penuh kelembutan.
Setelah puas memandangi Lin Xiang, barulah Gu Changdi pergi, membiarkan gadis itu beristirahat di kamarnya.
***
Pintu ruang kerja baru saja ditutup. Gu Changdi melangkah pelan mendekati meja, lantas duduk pada sebuah kursi berukuran besar di baliknya. Ia membuka laci meja, mengambil beberapa album foto dari dalam sana.
Senyuman terukir di bibir tipis Gu Changdi, ketika lembar demi lembar album memperlihatkan potret kehidupan seorang gadis mungil berusia 8 tahun, hingga tumbuh menjadi gadis yang cantik di usianya yang menginjak 19 tahun.
Itu adalah foto Lin Xiang, dengan ekspresi bahagia yang berhasil diabadikan oleh kamera orang suruhan Gu Changdi. Sebut saja Gu Changdi seperti seorang stalker, mengawasi sosok gadisnya selama 11 tahun tanpa kenal waktu.
Perhatian Gu Changdi beralih pada amplop warna cokelat. Ia mengambil isi yang ada di dalamnya, ratusan lembar foto yang tidak kalah banyak dengan foto yang dipasang dalam album tersebut. Hanya yang membedakan adalah ekspresi wajah Lin Xiang.
Kesedihan tampak begitu jelas dari raut wajah Lin Xiang. Sorot mata rusa itu tidak bersinar terang seperti kebanyakan foto yang disimpan di dalam album.
Gu Changdi memandangi foto-foto itu dengan tatapan penuh kebencian, juga terluka. Ia kecewa atas sikap Su Huangli selama ini yang menyembunyikan kenyataan pahit tentang Lin Xiang darinya.
CKLEK!
Lamunan Gu Changdi buyar bersamaan dengan suara pintu yang dibuka. Ia mendapati Su Rongyuan melangkah masuk setelah menutup pintu.
"Ibu ingin bertanya sesuatu?" tanya Gu Changdi seolah bisa membaca ekspresi wajah Su Rongyuan. Wanita itu tetap cantik meski usianya sudah memasuki setengah abad.
"Kau memang persis seperti ayahmu. Mudah sekali menebak apa yang ada di kepala Ibu," jawab Su Rongyuan diiringi gelak tawa. Gu Changdi hanya tersenyum sambil berjalan menuju sofa, diikuti Su Rongyuan yang langsung duduk di sampingnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu?"
Rasa penasaran Su Rongyuan kian bertambah ketika ekspresi wajah Gu Changdi berubah murung. Pria itu berbaring dengan kepala berada di atas pahanya.
Tangan Su Rongyuan bergerak lembut mengusap kepala Gu Changdi. Merapikan beberapa helaian rambut sang putra yang sedikit berantakan.
Ini sudah menjadi kebiasaan Gu Changdi yang akan berkeluh kesah pada ibunya ketika sedang ditimpa masalah. Sentuhan tangan Su Rongyuan yang begitu lembut selalu berhasil membuat emosi Gu Changdi yang mencapai ubun-ubun akan mereda dalam sekejap.
"Dia mendapat perlakuan tak menyenangkan dari paman dan bibinya, Ibu."
Su Rongyuan menautkan kedua alisnya, berusaha mencerna ucapan Gu Changdi. Gerakan tangannya bahkan tanpa sadar berhenti, melayang di udara karena terlalu terkejut dengan ucapan putranya.
"Kupikir aku sudah berbuat hal yang benar." Hembusan napas panjang keluar dari sela bibir Gu Changdi. "Tapi ternyata apa yang kulakukan hasilnya tidak sesuai dengan harapan."
Mata Su Rongyuan berkedip-kedip. Menunggu Gu Changdi untuk menjelaskan semuanya secara pelan-pelan.
"Uang yang seharusnya untuk kebutuhan Lin Xiang, ternyata disalahgunakan oleh paman dan bibinya. Mereka memakainya untuk diri mereka sendiri. Kak Huangli bilang, paman Lin Xiang gemar sekali berjudi dan mabuk-mabukan. Bbinya gemar berbelanja barang-barang mewah," lanjut Gu Changdi menjelaskan. "Sikap mereka membuat Lin Xiang mengalami kendala untuk biaya pendidikannya."
"Sebenarnya aku sudah memberikan biaya pendidikan untuk Lin Xiang hingga jenjang perguruan tinggi. Tapi karena keserakahan paman dan bibinya, uang itu cepat habis dan akhirnya mereka memaksa gadis itu bekerja. Lin Xiang bekerja keras bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan berfoya-foya mereka."
Emosi Su Rongyuan pun mulai terpancing. Sorot matanya yang semula tampak teduh perlahan memperlihatkan kilatan api kemarahan.
"Dan yang lebih membuatku kecewa adalah sikap mereka yang menyiksa Lin Xiang secara fisik," suara Gu Changdi bergetar. Perpaduan antara emosi dan terluka. "Selama 11 tahun ini aku berusaha menjaga Lin Xiang dari kejuahan, tapi mereka justru melukainya, Ibu. Mereka melukai gadisku."
Hati Su Rongyuan ikut tersayat mendengar nada kesedihan Gu Changdi. Ingatannya kembali pada ucapan Su Huangli 11 tahun silam, yang mengatakan bahwa hati Gu Changdi telah dicuri oleh seseorang.
Su Rongyuan awalnya tidak mempercayai ucapan Su Huangli, mengingat masih dalam suasana duka atas kepergian suaminya. Terlebih sosok gadis yang diceritakan Su Huangli berusia lebih muda 8 tahun dari Gu Changdi.
TO BE CONTINUED